Firnika, ataupun biasa di panggil Nika, dia dipaksakan harus menerima kenyataan, jika orang tuanya meninggal tepat, sehari sebelum lamarannya. Dan dihari itu juga, orang tua pasangannya membatalkan rencana tersebut.
Yuk ikuti kisah Firnika, dan ke tiga saudara-saudaranya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nisa Iri
Karena sedang berlangsungnya acara tujuh bulanan, otomatis Nika juga ada disana. Dan dia juga ikut mendengarkan perkataan serta pembelaan dari Reni.
Setidaknya dia sedikit lega, karena Safa mendapatkan pembelaan dari mertuanya.
Padahal jelas-jelas, jika sekarang Safa tidak bekerja. Dia hanya menerima uang nafkah dari suaminya.
Acara tujuh bulanan berjalan begitu lancar. Walaupun sepanjang acara, muka Nisa tetap saja masam.
"Ngapain sih Ibu, menghabiskan uang untuk acara ginian? Giliran anak sendiri dia gak buat acara kayak gini." cibir Nisa. Namun, sayang. Hardi mendengarkannya.
"Bukannya kakak sendiri yang menolak untuk pulang? Bahkan Ibu sempat memohon-mohon padamu, agar Kakak pulang untuk melakukan acara syukuran saat kamu hamil tujuh bulan, tapi apa? Kakak hanya pulang, saat hendak melahirkan. Dan saat umurmu anakmu sudah beberapa bulan, kakak langsung pergi, dengan suamimu itu." balas Hardi berdiri disamping Nisa.
"Dan jangan lupa, kakak juga gak mau memberikan alamat lengkap, saat Ibu hendak mengunjungimu." tekan Hardi.
"Cih ..." Nisa pun berdecak sebal. Karena percuma saja dia menjawab Hardi, sebab Hardi akan selalu menyerangnya dengan kenyataan.
Malamnya, setelah semua tamu undangan pulang, dan Nisa masih berada di kamarnya. Nisa malah mendatangi Nika yang sedang duduk bersama Kanaya dan juga Amar.
"Jadi, kamu kerja apa?" tanya Nisa.
"Cuma loudry." balas Nika tersenyum.
"Kerja sama orang? Atau punya sendiri?" tanya Nisa lagi.
"Usaha sendiri dari rumah." ujar Nika merendah. Padahal pendapatannya bisa mencapai ratusan ribu perhari, karena sekarang dia juga sudah menggunakan dua mesin cuci.
"Jadi, kalian termasuk keluarga yang merepotkan adikku lah, ya?" cibir Nisa, kemudian melenggang pergi.
"Mulutnya lemes sekali ya kak, untung aja dia ipar kak Safa. Kalo gak, mau aku gampar dia." ujar Kanaya emosi. Sedangkan Nika hanya menggelengkan kepalanya.
"Udahlah, sabar aja. Dia disini hanya beberapa hari." balas Nika.
Nisa keluar dari rumah Hardi. Dia menatap tidak suka pada mini market yang berada di seberang jalan. Apalagi, terlihat disana ada beberapa orang pembeli.
Kebetulan disana masih ada Arka yang menjaga kasir.
Karena risih dengan pencapaian adiknya, Nisa menelpon suaminya dan memberitahukan jika ia akan sedikit lebih lama di kampung, karena ada hal yang ingin dia selesaikan dulu.
Dulu, sebelum menikah, Nisa sangat menyayangi keluarganya. Namun, saat dia mengenal suami yang umurnya berbeda hampir lima belas tahun, membuat Nisa berbeda. Apalagi, saat cintanya tidak di restui oleh keluarganya. Dia sakit hati, karena keluarganya seperti tidak menghargai keputusannya.
Setelah menikah, sikap dan perilaku Nisa semakin berubah. Dia bahkan enggan menelpon Ibunya jika tidak Ibunya yang memulai.
kecuali, saat ada keperluan. Misalnya, saat dia meminta jatah bulanan dari Ibunya. Karena dia takut, jika seluruh gaji ibunya akan dihabiskan oleh Handi.
Karena saat dia telah menikah, Hardi masih kerja serabutan. Tidak seperti sekarang, yang sudah mampu membeli rumah sendiri.
Dengan rasa angkuh, Nisa menyebrang jalan untuk pergi ke mini market. Dia ingin melihat keadaan di dalam sana.
"Wah, lengkap juga ya barang-barang disini." gumam Nisa dengan senyuman anehnya.
Dia bahkan menghampiri Arka yang sibuk melayani pembeli.
"Jadi, kamu pekerja disini?" tanya Nisa sinis.
"I-iya Mbak ..." balas Arka. Dia tahu Nisa, karena saat siang tadi, dia juga ke rumah Hardi untuk makan siang. Dan Kanaya memberitahunya tentang Nisa.
"Berapa gajimu?" tanya Nisa lagi.
"Dua juta setengah kak ..." balas Arka.
"Wah, hebat ya dia. Mampu memberi uang untuk orang lain, dengan jumlah yang sangat banyak Tapi, lupa pada saudara sendiri." cibir Nisa. Kemudian berjalan di antara rak-rak untuk mengambil beberapa cemilan untuk anaknya.
Hardi mendapatkan pesan dadi Arka. Jika Nisa ke toko dan mengambil beberapa jajanan. Dan dia menolak untuk bayar. Bahkan hanya untuk di scan pada komputer, agar Hardi tahu jumlah harga barang yang hilang itu.
Dengan tenang, karena Safa berada di pangkuannya. Hardi membalas pesan Arka. Dan dia membiarkan itu. Dan apabila keesokan harinya kakaknya kembali melakukan hal yang sama, maka Arka harus kembali melapor padanya.
Begitu kembali dari mini market. Hati Nisa meradang, saat melihat Amar bermain dengan mainan anaknya.
"Hei, yatim. Kamu jangan pegang-pegang ini ya. Nanti jika rusak memangnya kamu mampu bayar?" tanya Nisa merebut remote kontrol dari tangan Amar.
Bahkan sempat-sempatnya Nisa mencubit tangan kecil Amar.
"Dia yang ajak aku main." sahut Amar gemetaran.
"Kamu juga, kenapa ajak orang lain main sih? Kan Ibu sudah bilang, mainannya di jaga. Nanti kalo rusak, emang dia mampu ganti? Gak, dia ini beban om kamu tahu gak." cerocos Nisa sembari menarik tangan anaknya dengan kasar.
Anaknya otomatis menangis dengan keras. Sampai-sampai Hardi dan lainnya berhamburan untuk melihat itu.
"Kenapa sih Nisa, apa yang kamu lakukan pada anakmu?" tanya Reni memeluk cucunya.
"Ini anakku, jadi terserah apa yang aku lakukan. Jadi, kalian semua jangan ikut campur." tekan Nisa kembali menarik tubuh anaknya.
"Cukup Nisa, kenapa kamu kasar begini sih? Kamu kenapa?" tanya Reni dengan suara yang keras.
"Ini, ini salah satu alasan aku malas ketemu Ibu. Ibu akan memanjakan anak-anakku sehingga tumbuh menjadi anak yang hanya mengandalkan orang tua." cerocos Nisa.
"Tuhan ... Kak, apa sih yang kakak bicarakan?" sambung Hardi jengah. Dia bahkan kasihan pada keponakannya yang sesenggukan.
"Lihat Bu, ini contohnya. Dia yang terlalu Ibu manjakan, sampai-sampai berani membentak kakaknya di depan istri dan ipar-iparnya." tunjuk Nisa.
"Udah bang, ayo kita masuk aja." lirih Safa mengelus lengan Hardi. Dan Nisa memutar mata malas.
Bersamaan dengan itu, Amar juga masuk dengan linangan air mata.
"Kamu kenapa Amar?" tanya Kanaya kaget.
"Aku mau pulang ..." lirih Amar dengan sesenggukan.
"Kenapa?" Safa dan Nika ikut panik.
Namun, Amar tetap diam. Dia takut apalagi saat melihat Nisa melotot ke arahnya.
"Ya udah, Safa, Hardi, Bu ... Kami pamit pulang aja." pinta Nika menuruti keinginan Amar.
"Bukannya mau nginap semalam lagi ya?" bantah Reni.
"Sepertinya gak jadi Bu, karena Amar kurang nyaman." mohon Nika. Dia memasuki kamar yang dihuninya bersama Amar dan Kanaya. Dan mengambil beberapa barangnya.
"Aku takut sama Ibu-ibu tadi, dia memarahiku Kak." adu Amar saat dia barada di kamar bersama ke tiga kakaknya.
Dan Amar menceritakan semuanya. Bagaimana dia di ajak sama anak Nisa untuk main bersama. Dan dia di mintai untuk memegangi remote sebentar, karena anak dari Nisa kebelet mau ke toilet.
Bahkan Amar sama sekali belum menekan satu tombol pun, pada remote itu.
Juga, Amar memperlihatkan cubitan Nisa yang mulai meninggalkan bekas.
tapi ini beneran udah selesai, kak... ?
padahal baru beberapa bab, kak...
saking bucinnya, Nisa sampe nda bisa bedain yang benar dan yang salah