Berangkat dari cinta manis di SMA, Daris dan Felicia duduk bersanding di pelaminan.
Perkawinan mereka hanya seumur jagung. Felicia merasa tertipu dengan status sosial Daris. Padahal Daris tidak pernah menipunya.
Dapatkah cinta mengalahkan kasta, sementara berbagai peristiwa menggiring mereka untuk menghapus jejak masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon grandpa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Dari Nol
"Jangan sentuh apapun sampai polisi datang."
Daris meminta teman-temannya untuk membiarkan kedai yang berantakan seperti diamuk massa.
Meja dan etalase hancur, perabotan berserakan di lantai, tak ada yang dapat dipakai.
Kerugian ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.
"Aku sangsi kalau si Ijang berani senekat ini," kata Hilda.
"Tapi orang gelap mata bisa saja," sahut Elsa.
Barangkali Ijang dendam Daris meminta bantuan PKL untuk memenangkan persaingan bisnis.
"Bagaimana kalau kita hancurkan kedainya?"
"Setuju!"
"Hayo...!"
Mereka bergerak ke kedai Ijang membawa alat pemukul woodball.
"Jangan menambah rumit keadaan," cegah Daris. "Kita belum tahu siapa pelakunya, biarlah menjadi urusan polisi."
Mereka terpaksa berkumpul lagi menunggu polisi datang.
Pengrusakan kedai sudah termasuk ranah pidana. Daris tidak mau berasumsi, hanya membiaskan masalah.
Kecurigaan pada Ijang bukan alasan untuk main hakim sendiri. Mereka tidak tahu siapa yang berbuat.
"Aku harus mulai dari awal lagi," kata Daris. "Usaha yang dibangun bertahun-tahun hancur dalam semalam tanpa aku mengerti."
"Yang sabar ya," hibur Hilda. "Barangkali cobaan di awal perkawinan."
Nasehat itu seakan menyulut emosi Daris.
Hilda telah berperan dalam kejadian ini dengan menggiring opini bahwa Ijang sakit hati cintanya ditolak gara-gara Daris.
Padahal semua baru praduga.
"Kau ingin mengatakan istriku pembawa sial?" pandang Daris dingin.
"Aku salah ya?"
Daris pergi. Ia perlu menenangkan diri. Kejadian ini cukup membuatnya syok.
"Kau mau pergi ke mana?" tanya Elsa. "Kalau polisi datang, bagaimana?"
"Kalian lebih tahu dari aku."
Daris mengambil beberapa kantong plastik besar di lantai dan menjinjingnya.
Bahan soto mie yang sudah dibeli menjadi mubazir.
Bahan itu tidak habis untuk persediaan makan keluarganya selama sebulan.
"Aku tidak tahu apa kesalahanku sampai kedaiku hancur begitu," keluh Daris sambil menaruh beberapa kantong plastik besar berisi bahan soto mie di bak pick up. "Jika perkawinan itu sebuah kesalahan, maka bukan kesalahanku."
Daris sulit mencurigai Felicia sebagai otak dari kejadian itu. Tidak ada bukti mengarah padanya.
Bahkan Ijang dan Mawar mempunyai alibi kuat, mereka menginap di Ciwidey dengan bukti check in dan check out di dalam rentang kejadian.
Polisi mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk bahan penyelidikan.
"Pelaku sangat profesional," kata polisi. "Tapi tidak ada aksi kriminal yang sempurna."
Hari itu yang viral bukan aksi brutal pada kedai Daris, kepergian Ijang bersama Mawar ke Ciwidey.
Padahal Ijang paling alergi liburan akhir pekan, pengunjung lagi ramai-ramainya.
"Ngapain mereka nginap di Ciwidey?"
"Denger-denger Mawar itu PSK."
"OMG...!"
"Masa sih?"
Daris jadi menyesal memberi tahu Elsa kalau kemudian menyebar luas.
Hal yang tak ada kaitannya dengan kasus ini.
Mereka mau main ular tangga atau congklak di Ciwidey, apa urusannya?
"Ada surat panggilan untuk saudari Hilda dan saudari Elsa," kata polisi esok harinya. "Saya harap kalian bisa berangkat sekarang untuk memberi keterangan di kantor."
"Keterangan apa lagi, Pak?" tanya Hilda heran. "Saya sudah memberi keterangan sejelas-jelasnya kemarin, bahkan kemungkinan pelaku adalah orang suruhan."
"Bukti rekaman kamera pengawas tidak mengarah pada saudara Ijang."
Bukti rekaman itu mengarah pada Hilda dan Elsa.
Pelaku mengenakan baju anti lebah sehingga sulit dikenali, mereka menghancurkan kedai Daris dengan alat pemukul woodball.
Ketika gambar diperbesar, pada alat pemukul terdapat nama Hilda dan Elsa.
"Saya pastikan bukan saya, Pak," bantah Hilda setelah melihat rekaman di kantor polisi. "Pelaku menggunakan alat pemukul itu untuk mengalihkan tersangka."
"Aku jadi yakin mereka suruhan si Ijang," geram Elsa. "Ia benar-benar sakit hati sama kita."
"Janganlah kalian berasumsi," kata polisi. "Tim forensik sudah memeriksa ponsel mereka, tidak ada komunikasi dengan orang luar kecuali mereka berdua."
"Tapi pelakunya bukan kami, Pak!" tegas Hilda. "Bapak tidak bisa menuduh kami dengan alat pemukul!"
"Janganlah berpikir terlalu jauh. Kasus ini baru tahap penyelidikan, bukti di TKP belum semuanya dianalisa."
Mereka biasa bermain woodball bersama PKL setiap Jumat sore, alat pemukul dan baju woodball disimpan di lemari meja dan dikunci.
Tidak ada keanehan sebenarnya karena mereka sudah biasa bermain woodball.
Tapi posisi mereka makin tersudut ketika dilakukan penggeledahan pada lemari meja ditemukan baju anti lebah.
"Bukankah kalian selalu mengunci laci dan lemari setiap selesai jualan?" tanya polisi.
"Kunci bisa saja diduplikat, Pak," sanggah Elsa.
"Jawab saja pertanyaan saya."
"Ya, saya selalu menguncinya."
"Saudari Hilda?"
"Saya juga."
Mereka syok melihat baju anti lebah ada di lemari mereka.
PKL berkumpul di kedai Elsa saat polisi pergi.
"Bagaimana pelaku sampai menduplikat kunci kalian?" tanya seorang PKL. "Bukankah kunci itu selalu ada pada kalian?"
"Aku curiga Ijang memfoto kunciku," sahut Hilda lesu. "Kemudian ia menduplikatnya."
Ingin rasanya Hilda mengobrak-abrik kedai Ijang kalau tidak kena pasal. Cowok itu lebih culas dari perkiraannya.
"Ijang belum jualan?" tanya Elsa. "Ia mesti bertanggung jawab."
"Ijang tutup sampai kasus ini terungkap. Ia merasa keselamatannya terancam."
"Lebay."
"Ijang kayaknya trauma kita sudah berlaku barbar."
Ijang bisa saja melaporkan mereka karena telah mengintimidasi tempo hari.
Ijang memegang kartu truf dan keterangannya menjadi kuat karena didukung alat bukti.
Daris paham betul itu. Mereka terlalu meremehkan Ijang.
"Kalian bermain api tapi tidak siap memadamkannya," kata Daris kepada Hilda dan Elsa. "Kalian menuduh Ijang pelakunya dengan motif sakit hati tapi bukti mengarah kepada kalian."
Polisi bekerja berdasarkan alat bukti, bukan asumsi.
Alat bukti itu ditemukan di lemari mereka, sedang Ijang bersih.
"Ijang sendiri ngomong sama Elsa kalau ia sakit hati cintanya ditolak."
"Lalu kenapa ia tidak merusak kedaimu?"
Logikanya kedai Hilda jadi target utama, kemudian Daris kena imbasnya, meski Ijang separuh berani.
"Ijang tahu aku jatuh hati sama kamu."
"Kau pikir logikamu dapat diterima polisi? Ijang ditolak cintanya gara-gara dirimu jatuh cinta padaku, lalu ia menghancurkan kedaiku!"
Padahal PKL tidak ada yang berani macam-macam dengannya.
Ijang melihat mukanya keruh saja tidak berani mendekat.
"Logika itu mungkin dapat diterima kalau bukti tidak mengarah padamu."
"Kamu kok jadi menyalahkan aku?"
"Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, polisi belum menentukan tersangka. Tapi motif kamu jauh lebih kuat untuk menghancurkan kedaiku, kamu jatuh hati padaku dan ditinggal menikah."
Polisi mengetahui motif itu dari Ijang karena ia mendapat serangan dari Hilda dan Elsa.
Ijang memberi keterangan secara proporsional bahwa mereka jatuh cinta kepada Daris dan ditinggal menikah.
Polisi mencoba mengkonfrontasi dengan mereka. Hilda dan Elsa jadi gelagapan.
"Jadi benar apa yang disampaikan saudara Ijang?"
Daris merasa kasus jadi bias karena pelaku demikian lihai memanfaatkan romantika di basement.
Pelaku kelihatannya sudah mempelajari secara matang situasi PKL.
"Saya lihat kasus jadi liar karena alat bukti yang nakal," kata Daris. "Saya cabut laporan, saya anggap tidak ada perusakan pada kedai saya."