Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan dalam Keraguan
Sudah dua hari ini, aku disibukkan dengan kegiatan rutin mengurus anak-anak. Sejak subuh, aku memasak untuk sarapan dan bekal Aksa ke sekolah. Setelah itu, membereskan rumah dan menyapu halaman. Setiap kali kuayunkan sapu lidi untuk membersihkan dedaunan yang jatuh, aku merasa lebih lega, seperti dosa-dosa yang kuhapus pelan-pelan.
Di rumah ini, segala kebisingan yang biasa kudengar di Jakarta, lenyap seketika. Bukan hanya deru motor dan teriakan Riko yang lenyap, tapi juga hiruk pikuk masalah keluarga yang tidak ada habisnya, seakan selesai bersama angin pagi yang menggoyangkan daun-daun pisang.
Arkana, si kecil yang lucu dan semakin menggemaskan, tidur dengan pulas dan tenang. Bahkan anak sekecil itu bisa merasakan suasana hati ibunya. Tidak ada kerewelan lagi, tidak ada tangisan lagi.
Senyuman Aksa dan Ibu menyusul kebahagiaanku selama dua hari ini.
Perpisahan dengan Riko, tidak berarti tidak menyakitkan. Namun, aku merasa jiwaku lebih sehat sejak tinggal di sini. Sesekali ada rasa kasihan terhadap suamiku itu, tapi harus kutepis jika mengingat segala kebohongan yang sudah dia lakukan.
“Jadi gimana, Neng?” Ibu bertanya sambil menikmati nasi goreng yang kubuatkan tadi pagi.
“Kata Ibu sih, sebaiknya dipikirkan lagi. Bukannya kamu yang memilih menikah dengan Riko. Tapi ya kalau kamu merasa tersiksa, Ibu tidak dapat memaksa!”
Akhirnya, aku memang menceritakan persoalanku dengan Riko. Ibu tampak tidak terima, tapi sebagai orangtua, ia juga harus memberi saran yang bijaksana.
Aku hanya terdiam ketika Ibu bertanya soal rencanaku selanjutnya. Pernikahan ini sepertinya tak mampu aku pertahankan. Sudah terlalu lelah untuk memaklumi semua yang terjadi. Mungkin, di luar sana. Banyak perempuan yang jauh lebih sabar, tapi sayangnya kapasitasku tidak sama dengan mereka.
Keluarga Riko tak henti-hentinya mengirim pesan. Sudah kuduga, Riko tidak mungkin tidak mengadu pada orangtuanya. Pria itu belum mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Hari ini aku mengurus berkas-berkas perceraian ke pengadilan agama terdekat. Untung saja, semua dokumen seperti buku nikah dan kartu keluarga, sudah kuamankan sebelum aku pulang ke Bogor. Aku sudah tidak peduli dengan permohonan maaf dan rayuan dari Riko. Sudah saatnya aku egois dan mementingkan diri sendiri.
Di depan kantor pengadilan itu, sejenak aku terdiam. Bangunan yang baru saja di cat ulang, pegawai pengadilan berlalu-lalang, dan gerimis yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Kutanya pada diriku sekali lagi, benarkah ini jalan yang harus ketumpuh?
Sejenak aku beristirahat di bangku kayu depan teras kantor pengadilan agama. Dulu, saat aku bertanya pada Riko, alasan ia ingin menikahiku, ia menjawab,
“Aku ingin punya istri untuk menyayangiku.”
“Terus?” Tanyaku waktu itu.
“Untuk mengurus keperluanku, menyayangi keluargaku, memasak, dan mengurus anak kita nanti.”
“Selain itu?” tanyaku lagi.
“Selain itu ya untuk membimbingku!”
“Membimbing?” Ucapku heran.
“Gini loh, maksudnya, aku kan banyak kekurangan. Mungkin salah satunya dalam hal agama atau hal lain. Aku ingin kamu sabar membimbingku supaya aku lebih baik lagi.”
Waktu itu, aku tidak berpikir terlalu jauh. Mungkin yang dimaksud Riko adalah saling melengkapi kekurangan masing-masing. Namun, ingatan soal keinginan memiliki istri untuk ‘mengurus’ sesuatu itulah yang baru kusadari saat ini. Ini sebenarnya, butuh istri atau pembantu? Lalu soal membimbing, bukankah imam itu ada pada laki-laki?
Riko tidak sepenuhnya salah. Aku yang bodoh. Maka tidak heran, jika selama ini aku memang tidak pernah berperan menjadi istri sesungguhnya. Aku hanya pembantu rumah tangga yang sejak pagi bergaul dengan baju kotor, piring kotor, dan rumah besar yang harus dibersihkan seorang diri. Belum lagi, memasak dan menyiapkannya. Setelah itu urusan anak dan pekerjaan kantor. Aku hampir tidak memiliki waktu untuk diri sendiri. Ah ya, kalau peranku sebagai pembantu, harusnya aku mendapat gaji. Sayang sekali aku hanya diberi makan. Itu pun, kadang-kadang aku masih menutupi jika… bukan jikaa.. memang banyak yang kurang.
Seharusnya, sebagai istri yang mencari pahala, aku harus ikhlas. Bukankah pernikahan itu bertujuan untuk ibadah? Tapi mengapa aku sulit sekali mencapai titik ikhlas tersebut. Sulit sekali menjadi rela dalam melakukan kewajiban sebagai istri. Bukankah ketika kita mencuci pakaian suami, pahalanya begitu besar?
Ya Tuhan, kenapa tidak ada keikhlasan dalam hatiku.
“Bu, silakan sebelah sini daftarnya!” seorang petugas menyadarkanku dari lamunan panjang. Ia memanggil karena tadi aku sempat bertanya, dimana tempat pendaftaran. Tak lama kemudian, aku menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan.
“Silakan ditulis di sini kronologisnya. Maaf sebelumnya, Ibu menggunakan pengacara atau tidak?” Petugas berseragam itu kembali bertanya sambil menatap mataku yang sembab.
“Tidak Pak, sendiri aja.”
“Baik kalau begitu. Silakan ditulis di sini. Jika sudah, silakan Ibu tunggu sebentar. Saya akan pelajari kronologisnya.
Aku menulis penyebab gugatan cerai di atas selembar kertas yang diberikan petugas. Kutuliskan bagaimana kewajiban suami yang tidak dipenuhi, ketidakcocokan dalam mendidik anak, dan kebohongan mengenai judi online yang dilakukan Riko selama ini. Setelah selesai, kuserahkan kertas itu kepada petugas.
"Ibu, saat ini Ibu tinggal di mana?" Petugas itu menatapku sambil sesekali melihat kembali lembar kertas yang kuberikan.
"Di Parung Pak, di rumah orangtua saya."
"Bapak Riko, tinggal di mana?" Matanya menyelidiki jawaban-jawabanku.
"Tinggal di rumahnya, di Jakarta."
"Ooh." Petugas itu kembali membaca kertas yang masih digenggamnya.
"Sudah berapa lama Ibu berpisah rumah dengan Bapak Riko?" Aku mencoba menjawab dengan ekspresi yang baik.
"Sekitar dua bulan," jawabku lagi.
"Begini, Bu. Aturan gugat cerai itu tahun ini sudah berubah. Aturan sebelumnya, jika sudah berpisah tempat tinggal minimal 3 bulan, maka boleh mengajukan gugatan. Namun, aturan saat ini berubah menjadi minimal 6 bulan. Jadi, pengajuan gugatan Ibu belum bisa kami proses. Lagipula, baru berpisah 2 bulan masih banyak kesempatan dan harapan untuk rujuk kembali. Sebaiknya, Ibu melakukan mediasi dulu bersama keluarga."
Aku tertegun. Kenapa begitu bodoh diriku ini, kenapa aku tidak mencari tahu lebih dulu soal aturan pengadilan agama. Ah, aku merasa malu.
"Oh ya, satu lagi Bu. KTP Ibu kan masih KTP Jakarta, jadi sebaiknya Ibu membuat surat keterangan domisili dari kelurahan tempat Ibu tinggal. Karena alamatnya tidak boleh sama dengan tergugat."
"Baik, Pak! Terima kasih atas penjelasannya."
Segera aku berdiri dari kursi yang terasa panas itu. Aku pamit dan pulang menggunakan angkutan umum.
Arkana sudah kutitipkan bersama Ibu di rumah. Sebelum pulang, aku sempatkan mampir ke kantor dan melihat pekerjaanku yang beberapa hari terbengkalai.
“Siang Bu!” Suara satpam kantor kami menyapaku dengan ramah. Aku bergegas ke dalam, sebuah ruangan kecil yang disekat dengan partisi kayu. Kubuka laptop dan membaca beberapa note kuning yang ditempel di dinding.
Rupanya, banyak sekali yang belum selesai. Kubuka surel dan membacanya satu persatu. Perlahan-lahan kukerjakan tugas-tugas itu sampai selesai.
“Raina, sudah jam lima loh, belum kelar?” Pak Suryadi, atasanku itu melihat dengan heran ke arahku.
“Oh iya Pak, tanggung nih sedikit lagi. Kenapa?” Tanyaku tanpa melihat wajahnya. Mataku tetap fokus menghadap layar segi empat itu.
“Tumben aja. Biasanya jam tiga udah pamit, bawa kerjaan ke rumah. Kamu kan nggak mesti kerja di kantor, kecuali ada meeting!” Langkah Pak Suryadi mendekat. Padahal, sekilas aku melihatnya akan menuju pintu luar, tapi mengapa berbelok ke mejaku.
“Hemm.. kayaknya lebih fokus kerja di kantor deh Pak!”
“Memangnya suami kamu nggak nunggu di luar?”
“Enggak, aku pulang ke rumah Ibu!”
Laki-laki itu kemudian menggeser kursi lalu duduk di depanku. Seolah dia membaca ada yang tidak beres dalam kehidupan pernikahanku. Beberapa kali aku memang sempat minta maaf karena tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai target.