menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 20
Berikut adalah perbaikan dan penyempurnaan dari teks yang kamu berikan. Saya mencoba menjaga suasana dan emosi asli sambil memperhalus narasi:
---
Kami memulai kembali pencarian di jalur yang telah kami lewati berkali-kali, berusaha memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin terlewat. Namun, setiap usaha selalu berakhir dengan keputusasaan. Suasana semakin menegangkan ketika berita buruk datang dari tim penyelamat.
“Mungkin kita perlu mempertimbangkan untuk melapor ke pihak berwenang,” ujar salah satu anggota tim penyelamat, wajahnya tampak serius. “Mungkin mereka bisa membantu mencari dengan cara yang lebih profesional.”
“Tidak! Kita tidak akan menyerah!” bantahku egois, merasakan kepanikan merayapi hatiku. “Aji dan Bimo pasti masih hidup! Aku tidak bisa melaporkan mereka hilang sebelum aku yakin.”
Tiara merasakan sakit yang dalam saat mendengar perkataanku. “Tapi, Ra, kita sudah mencari selama tiga hari! Apa lagi yang bisa kita lakukan?”
Rani menghela napas, keputusasaannya semakin mendalam. “Jika kita tidak menemukan mereka dalam waktu dekat, kita harus mempertimbangkan semua kemungkinan.”
Hatiku seketika hancur. Aku ingin percaya pada Aji dan Bimo, ingin menguatkan Tiara dan Rani, tetapi perasaan cemas dan putus asa mulai menggerogoti pikiranku. “Kita akan temukan mereka. Aku percaya itu,” ucapku pelan, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
Mereka melanjutkan pencarian dengan harapan yang semakin menipis, mengenang setiap kenangan indah bersama Aji dan Bimo. Dalam kesunyian yang menggelapkan, aku bertekad untuk terus berjuang, tidak peduli seberapa sulit perjalanan ini.
Dengan hati penuh harapan dan keputusasaan, aku, Rani, dan Tiara memutuskan untuk turun dari Gunung Lawu dan mencari bantuan. Kami tahu bahwa melibatkan lebih banyak orang akan meningkatkan harapan untuk menemukan Aji dan Bimo.
Setelah berkemas cepat, kami mulai menuruni jalur berliku. Setiap langkah terasa berat, namun kami saling menguatkan. Suara pepohonan berdesir dan burung-burung berkicau seolah mengingatkan kami pada kebahagiaan saat mendaki gunung bersama.
Sesampainya di base camp, kami langsung mencari petugas yang mengurus pendakian. Aku dengan napas terengah-engah mendekati petugas yang sedang berbincang di meja informasi. “Maaf, Pak. Kami perlu bantuan,” kataku, suaraku bergetar.
Petugas itu menatapku penuh perhatian. “Ada apa? Apa kalian membutuhkan informasi tentang pendakian?”
“Ada dua teman kami yang hilang. Namanya Aji dan Bimo. Mereka menghilang setelah badai kemarin,” aku menjelaskan, mataku mulai berkaca-kaca.
Petugas itu mengerutkan dahi, terlihat khawatir. “Kapan mereka hilang?”
“Sekitar dua hari yang lalu. Kami berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukan jejak mereka. Kami sudah memanggil mereka, tetapi tidak ada jawaban,” Rani menambahkan, suaranya bergetar.
Tiara ikut menyela, “Kami sudah melibatkan tim penyelamat, tetapi kami rasa mereka butuh bantuan lebih banyak. Mungkin ada tim pencarian resmi yang bisa membantu?”
Petugas itu langsung beraksi. “Tentu, kita harus segera melaporkannya. Saya akan menghubungi tim pencari dan memberi tahu mereka tentang situasi ini. Mohon tunggu di sini.”
Dengan hati berdebar, kami menunggu sambil berharap mendengar kabar baik. Kami duduk di bangku dekat pos, saling menggenggam tangan untuk menguatkan.
Setelah beberapa waktu, petugas kembali dengan beberapa anggota tim pencari. “Kami sudah menghubungi tim SAR. Mereka akan segera berangkat untuk mencari teman-teman kalian. Minta semua orang untuk memberi tahu tentang ciri-ciri mereka,” katanya.
Aku mengangguk, merasa sedikit lega. “Aji bertubuh tinggi, berambut pendek, dan mengenakan jaket hijau. Bimo lebih pendek, dengan rambut keriting, dan mengenakan kaus berwarna merah.”
Anggota tim pencari mencatat semua informasi yang kami berikan, lalu bergegas mempersiapkan peralatan. “Kami akan melakukan pencarian secara menyeluruh. Tim kami terlatih untuk situasi seperti ini. Jangan khawatir, kami akan melakukan yang terbaik.”
Aku, Rani, dan Tiara menyaksikan tim tersebut beraksi dengan semangat. Kami merasa seolah ada secercah harapan baru yang muncul, meskipun rasa cemas masih menghantui hati kami.
Sebelum tim berangkat, aku bertanya, “Bisakah kami ikut mencari? Kami ingin membantu.”
“Saya menghargai semangat kalian, tetapi lebih baik kalian menunggu di sini. Ini akan lebih aman untuk kalian,” jawab salah satu anggota tim. “Kami akan memberi tahu kalian segera setelah kami menemukan sesuatu.”
Dengan berat hati, kami harus menunggu di base camp. Namun, rasa ingin tahu dan kekhawatiran membuatku tidak bisa duduk diam. Aku terus menatap ke arah hutan, berharap melihat bayangan Aji dan Bimo yang akan muncul.
Waktu berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti selamanya. Tiara menggigit kukunya, sementara Rani berusaha menenangkan dirinya dengan meremas tangan.
“Aku harap mereka baik-baik saja,” Rani berbisik, matanya menatap kosong ke arah hutan.
“Kita sudah melakukan segalanya. Mereka pasti berjuang untuk kembali, seperti kita,” jawabku.
Akhirnya, setelah berjam-jam menunggu, tim pencari kembali dengan wajah serius. Jantungku berdebar ketika salah satu anggota tim mendekati kami.
“Kami tidak menemukan jejak Aji dan Bimo di sepanjang jalur yang kami telusuri. Namun, kami akan melanjutkan pencarian ke daerah yang lebih dalam dan meminta bantuan dari pihak berwenang untuk menjangkau area yang lebih luas.”
“Jadi, mereka masih belum ditemukan?” Tiara menahan air mata, merasa harapannya mulai memudar.
“Betul. Namun, kami akan melakukan segala yang kami bisa. Jika kalian memiliki informasi lebih lanjut atau melihat tanda-tanda yang mungkin membantu, segera beri tahu kami,” kata anggota tim pencari itu dengan penuh pengertian.
Aku merasakan sakit, sakit yang menusuk hati. “Kami akan terus mencari. Kami tidak akan menyerah.”
Dengan semangat yang tersisa, kami memutuskan untuk tetap berada di base camp dan membantu mengorganisir pencarian lebih lanjut. Kami membagikan informasi tentang Aji dan Bimo kepada pendaki lain yang datang dan meminta bantuan.
Setiap hari, kami mendengar kabar dari tim pencari, tetapi selalu berakhir dengan keputusasaan. Merasa belum menemukan titik terang, tim pencari memutuskan untuk menjangkau lebih jauh ke area hutan yang lebih terpencil, berharap dapat menemukan jejak Aji dan Bimo.
Dalam hati, Nurra berdoa tanpa henti. “Aji, Bimo, di mana pun kalian berada, kami akan terus mencarimu. Kami tidak akan menyerah!”
---
Semoga perbaikan ini dapat meningkatkan kekuatan emosional dan ketegangan dalam cerita yang kamu buat! Jika ada yang ingin ditambahkan atau diubah lebih lanjut, silakan beri tahu!
Waktu terus berlalu dengan penuh harapan dan keputusasaan. Aku, Rani, dan Tiara terus menunggu kabar dari tim pencari, tetapi lagi-lagi tidak ada yang membawa berita baik. Kami mulai merasakan putus asa. Saat aku berjalan sendirian di sekitar base camp untuk mengusir rasa cemas, aku melihat seorang kakek tua dengan rambut putih panjang dan pakaian sederhana sedang duduk bersandar di bawah pohon besar.
Kakek itu terlihat seperti warga lokal. Tatapannya yang tajam seolah bisa melihat jauh ke dalam jiwa seseorang. Hatiku seakan terpanggil untuk mendekatinya; feelingku berkata, mungkin kakek tersebut bisa menuntunku menemukan Aji dan Bimo. Perlahan, aku mendekatinya dan bertanya, “Permisi, Kek. Bolehkah aku bertanya? Kedua temanku hilang, kami sudah mencarinya ke mana-mana, tapi belum juga ketemu. Apa kakek bisa membantu ku?” tanyaku tanpa basa-basi.
Kakek itu menatapku dengan serius, lalu tersenyum sinis. “Anak muda jaman sekarang sepertinya sudah kehilangan etika dan adab bertanya. Iya, aku tahu. Temanmu itu laki-laki berpakaian hijau dan merah, kan? Mereka sudah dibawa ke Pasar Setan,” jawabnya dengan ketus.
“Maafkan saya, Pak. Saya tidak bermaksud lancang,” ucapku sedikit gemetar. Lalu, aku kembali bertanya, “Maksudnya, Kek? Temanku ada di Pasar Setan? Dibawa sama siapa? Kenapa mereka membawa temanku?”
“Iya, kedua temanmu dibawa ke sana. Mereka sudah merusak batu kramat dan menantang penunggu hutan larangan,” ucap sang kakek. “Kamu harus tahu, siapa saja yang berani merusak batu tersebut, orang itu tidak akan selamat. Mereka harus membayarnya dengan sukma mereka.”
Seketika, aku terkejut mendengar penjelasan itu. “Tapi, kami tidak tahu mereka melakukan hal seperti itu. Aji dan Bimo tidak mungkin merusak sesuatu tanpa sengaja!”
Kakek itu kembali menatapku dengan tajam. “Ada banyak hal yang tidak kalian ketahui. Gunung ini memiliki kekuatan dan mistisnya sendiri. Jika kau ingin menyelamatkan mereka, coba saja kalian masuk, meskipun hasilnya sia-sia.”
“Bagaimana caranya kami bisa ke sana?” Rani, yang tiba-tiba muncul di sampingku, bertanya dengan nada cemas.
Kakek itu mengangkat tongkatnya, menunjuk pada dua buah pohon besar yang berjajar layaknya sebuah gerbang alami. “Kalian jalan saja ke sana. Perlu kalian ingat, Pasar Setan muncul saat malam menjelang dan akan hilang ketika fajar datang. Silakan bawa benda yang berarti bagi kedua temanmu itu. Itu akan membantu mereka mengenali kalian.”
Tiara yang baru saja bergabung di sebelah kami mengernyit. “Tapi Kek, kalau kami masuk ke sana, apa yang harus kami lakukan di sana?”
“Silakan ajak saja mereka pulang, itupun kalau mereka mau,” kata kakek itu dengan suara sinis. “Ingat, kalian harus bersatu dan tidak boleh terpisah. Sekali kalian terpisah, selamanya kalian tidak akan kembali.”
Aku yang masih heran bercampur takut mencoba memberanikan diri untuk bertanya. “Maaf Kek, apakah ada cara lain untuk menyelamatkan mereka tanpa pergi ke tempat itu?”
Kakek itu menggeleng. “Seseorang yang sudah dibawa ke dalam pasar hanya bisa dibawa kembali dengan cara transaksi jual beli di sana. Demi keselamatan kalian, saran kakek, lebih baik ikhlaskan saja kedua temanmu itu.”
Rani yang mendengar jawaban dari sang kakek merasa tidak terima jika harus mengikhlaskan kedua sahabat terbaiknya. Dengan lantang, ia berkata, “Saya ingin masuk. Kalian berdua tunggu di sini, biar aku yang menjemput Aji dan Bimo. Kek, kasih tahu aku gimana cara masuknya?” ucap Rani dengan wajah yang serius.
“Lu gila ya, enggak! Aku nggak setuju. Kalau kamu ikutan hilang gimana? Enggak, enggak. Kamu nggak boleh ke sana,” ucap Tiara menolak.
“Pokoknya aku akan ke sana. Tolong tunjukkan jalannya, Kek. Saya harus bawa apa saja untuk sampai ke sana?” ucap Rani bersikeras.
“Sudah, sudah. Aku mengerti perasaan kamu, Ran. Kita di sini pengen yang terbaik. Kalian tenang dulu ya,” ucapku mencoba menenangkan situasi. Aku pun kemudian bertanya pada sang kakek. “Maaf Kek, seandainya kami masuk, apa yang mesti kami bawa dari sini?”
“Bawa saja barang yang berhubungan dengan dua temanmu. Itu bisa membuat mereka mengenalimu,” ucap sang kakek dengan dingin.
Kami pun mengambil barang-barang yang berhubungan dengan Aji dan Bimo. Kami berlari ke tempat di mana kami menyimpan carrier. Aku mengambil gelang yang selalu dikenakan Aji, sementara Rani membawa foto kecil mereka bertiga, dan Tiara memegang kaus Bimo yang pernah dia pinjam.
Setelah persiapan selesai, kami kembali ke tempat sang kakek. “Kami sudah siap, Kek. Apa yang harus kami lakukan selanjutnya?” tanyaku dengan tekad di wajahku.
“Tunggu saja di sana. Ketika waktunya tiba, kalian akan melihat seekor monyet putih. Ikuti saja monyet itu; dia akan menuntun kalian sampai ke Pasar Setan. Ingat, jangan pernah sekali-kali kalian mencoba untuk berpisah,” ucap sang kakek menasehati.