selingkuhan suamiku merampok semua hartaku dan papaku, suamiku berubah saat bertemu wanita iblis bernama Syifa, aku tidak menyangka perubahan sikap yang ditunjukkan oleh suamiku karena pengaruh guna-guna wanita iblis bernama Syifa itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Richard pergi ke rumah orang tua Alice untuk memberikan surat cerai
Beberapa hari berlalu dalam kesunyian yang menyesakkan. Richard, yang terbius oleh susuk dan pengaruh Syifa, menjalani hidupnya tanpa beban, atau setidaknya begitulah yang ia pikirkan. Kemewahan dan kekayaan yang diraihnya dengan cara yang tidak terpuji tidak mampu mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia hanya menjalani hari-harinya secara otomatis, mengikuti kemauan Syifa tanpa mempertanyakannya.
Kemudian, sebuah telepon berdering, memecah kesunyian di penthouse mewahnya. Itu adalah panggilan dari Pengadilan Agama. Suara formal dari petugas pengadilan yang terdengar dari seberang telepon memberitahukan Richard bahwa ia dipanggil untuk menjalani sidang perceraiannya dengan Alice.
Richard mengerutkan dahi. Ia merasa sedikit terkejut, namun tidak merasakan emosi yang berarti. Ia hanya menerima informasi itu dengan datar, tanpa ekspresi. Ia menanyakan rincian waktu dan tempat sidang, lalu menutup telepon tanpa sepatah kata pun kepada Syifa yang berada di sampingnya.
Syifa memperhatikan ekspresi Richard dengan tenang. Ia telah mempersiapkan semuanya dengan matang. Ia yakin bahwa dengan pengaruh susuk dan kekayaannya, ia akan memenangkan perceraian ini dengan mudah. Richard, yang pikirannya telah dikendalikan olehnya, tidak akan mampu melawannya.
Namun, beberapa hari sebelum sidang, telepon kembali berdering. Kali ini, panggilan tersebut berasal dari Ketua Pengadilan Agama. Suaranya ramah, namun tegas. Ketua Pengadilan menjelaskan bahwa sebelum sidang dimulai, Richard perlu menjalani meditasi terlebih dahulu.
"Bapak Richard," kata Ketua Pengadilan, "Sebelum kita memutuskan perkara ini, saya merasa perlu Bapak untuk merenungkan kembali semua tindakan Bapak. Meditasi ini bertujuan untuk menjernihkan pikiran Bapak dan semoga Bapak dapat mengambil keputusan yang bijak dan adil."
Richard terdiam. Permintaan untuk meditasi itu mengejutkannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa Pengadilan akan meminta hal seperti ini. Ia merasa sedikit gelisah, sebuah perasaan yang asing baginya belakangan ini. Untuk pertama kalinya sejak ia terpengaruh oleh susuk Syifa, ia merasa ada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Ia bertanya-tanya, apakah meditasi ini akan mengubah sesuatu, atau apakah ia hanya akan tetap menjadi boneka di tangan Syifa?
Ia harus segera memutuskan bagaimana ia akan menghadapi meditasi ini, dan bagaimana ia akan menghadapi dirinya sendiri.
Beberapa hari setelah Richard menerima telepon dari Pengadilan Agama, Alice juga menerima panggilan. Suara ramah namun tegas dari Ketua Pengadilan Agama terdengar dari seberang telepon. Beliau menyampaikan hal yang sama seperti yang disampaikan pada Richard: ajakan untuk menjalani meditasi sebelum sidang perceraian.
Namun, berbeda dengan Richard yang hanya menerima informasi dengan datar, Alice menanggapi ajakan tersebut dengan emosi yang campur aduk. Ia merasa lega karena Pengadilan memberikan kesempatan untuk merenung, namun di saat yang sama, hatinya masih dipenuhi luka yang mendalam.
"Pak Ketua," kata Alice, suaranya bergetar menahan air mata, "Saya mengerti maksud Bapak. Namun, jujur saja, saya… saya tidak ingin bertemu dengan Richard lagi."
Suaranya terisak, mengungkapkan kesedihan yang masih begitu terasa. Ingatan akan pengkhianatan dan perlakuan kejam Richard masih begitu segar dalam benaknya. Bayangan wajah Richard yang dingin dan tanpa ekspresi, membuat dadanya sesak.
"Saya tahu ini sulit, Nona Alice," kata Ketua Pengadilan dengan lembut, "Namun, meditasi ini penting untuk menjernihkan pikiran Anda sebelum sidang. Ini bukan tentang bertemu dengan Bapak Richard, melainkan untuk menemukan kedamaian dalam diri Anda sendiri. Keputusan ada di tangan Anda."
Alice terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Ketua Pengadilan. Ia menyadari bahwa beliau benar. Meditasi ini bukan hanya tentang Richard, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Ini adalah kesempatan untuk melepaskan semua rasa sakit dan amarah yang selama ini ia pendam. Untuk menemukan kedamaian batin dan kekuatan untuk menjalani hidup selanjutnya.
"Baiklah, Pak Ketua," kata Alice, suaranya terdengar lebih tenang. "Saya akan mengikuti meditasi tersebut. Tapi, saya mohon… selama meditasi, saya tidak ingin bertemu dengan Richard."
Ketua Pengadilan mengiyakan permintaan Alice. Beliau mengerti betapa sakitnya hati Alice, dan menghormati keinginannya untuk tidak berjumpa lagi dengan Richard. Beliau memastikan bahwa sesi meditasi akan dilakukan secara terpisah, memberikan ruang bagi Alice untuk menemukan kedamaian dan kekuatan untuk menghadapi masa depannya.
Alice menutup telepon dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa jalan menuju penyembuhan akan panjang dan sulit, namun ia yakin bahwa ia akan mampu melewatinya. Dengan dukungan dari keluarganya dan bantuan dari proses meditasi, ia berharap bisa menemukan kekuatan untuk memaafkan, melepaskan, dan memulai babak baru dalam hidupnya.
Gedung Pengadilan Agama tampak ramai. Alice memasuki ruang sidang dengan langkah tegap, meskipun hatinya masih bergetar. Ia mengenakan pakaian sederhana namun rapi, menunjukkan kesiapannya untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya. Ia duduk di kursi yang telah disediakan, mencoba untuk menenangkan diri.
Beberapa saat kemudian, Richard masuk. Ia terlihat tegang, wajahnya pucat dan matanya terlihat sembab. Berbeda dengan penampilannya yang selalu rapi dan percaya diri, kali ini ia tampak kusut dan tidak terawat. Alice memperhatikannya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Ia berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kehadiran Richard.
Ketua Pengadilan memasuki ruang sidang, menciptakan suasana yang lebih formal. Setelah mengucapkan salam dan beberapa kata pembuka, beliau menunjuk kepada Alice.
"Nona Alice," kata Ketua Pengadilan, "Apakah Anda siap untuk melanjutkan proses perceraian ini?"
Alice mengangguk, suaranya tenang, "Ya, Pak Ketua."
Ketua Pengadilan kemudian menoleh kepada Richard. "Bapak Richard," katanya, "Apakah Anda juga siap?"
Richard mengangguk, suaranya terbata-bata, "Ya, Pak Ketua."
Ketua Pengadilan melanjutkan proses sidang. Dokumen-dokumen perceraian diperiksa, pertanyaan-pertanyaan diajukan, dan kesaksian-kesaksian didengarkan. Alice menjawab semua pertanyaan dengan lugas dan tenang, menunjukkan sikapnya yang tegas.
Richard, di sisi lain, tampak ragu-ragu. Ia beberapa kali terdiam, menunjukkan tanda-tanda keraguan dan penyesalan. Ketika ditanya tentang alasan perceraian, ia hanya menjawab singkat dan tidak memberikan penjelasan yang detail. Ia terlihat menghindari kontak mata dengan Alice.
Pada suatu titik, Ketua Pengadilan bertanya kepada Richard tentang harta bersama. Richard terlihat tergagap, menunjukkan ketidakpastiannya. Ia menatap Alice, seakan mencari dukungan atau persetujuan. Namun, Alice hanya menatapnya dengan datar, tanpa menunjukkan sedikit pun belas kasihan.
"Bapak Richard," kata Ketua Pengadilan, "Apakah Bapak sudah mempersiapkan pembagian harta bersama sesuai kesepakatan?"
Richard terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, "Belum, Pak Ketua."
Alice langsung bersuara, "Saya sudah menyiapkan proposal pembagian harta bersama, Pak Ketua. Sesuai dengan kesepakatan yang telah saya ajukan sebelumnya."
Ketua Pengadilan mengangguk, menerima proposal dari Alice. Richard hanya tertunduk, tidak mampu membantah. Ia menyadari bahwa keputusannya untuk mengusir Alice dan memberikan semua hartanya kepada Syifa adalah sebuah kesalahan besar.
Sidang pun berlanjut, menuju pada keputusan akhir. Ekspresi Richard menunjukkan penyesalan yang dalam, sedangkan Alice menunjukkan kelegaan dan keteguhan hati. Proses perceraian mereka akhirnya selesai, menandai berakhirnya sebuah babak dalam kehidupan mereka, dan dimulainya babak baru yang penuh harapan.