Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Setelah sholat istikharah, Medina merasa lebih lega. Tapi dia harus menunggu waktu dan takdir yang akan menjawab semua dari gelisah hatinya.
Dalam pikirannya, mungkin dia harus menghindari Halim untuk sementara waktu ini. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Apakah mereka memang berjodoh atau tidak.
Tapi mana mungkin berjodoh! ‘Kan Halim sudah punya jodoh. Dan Medina tidak mau jadi yang kedua. Tidak akan ada namanya pengkhianatan dalam hidupnya. Walaupun dia belum tahu pasti, apakah Halim memang sudah punya Istri atau punya pacar. Hah!
.....**.....
Bukan Halim namanya kalau tidak tahu ada yang berbeda dari Medina.
Setiap kali mereka berpapasan, Medina enggan untuk menatapnya. Saat Halim memandangi dari jauh, Medina langsung membuang muka.
Ketika Halim mengajar di kelas Medina pun, sikap Medina benar-benar cuek dan berbeda.
Dengan sabar dan intens Halim mengirimi pesan WhatsApp pada Medina. Padahal dia tahu hal yang di lakukannya hanya sia-sia. Medina tidak akan membalas pesannya.
Rasa takut mulai hinggap di hati Halim. Apa yang sedang terjadi? Apa yang salah hingga Medina bersikap berbeda?
Lagi-lagi Halim mencoba mencari jawaban melalui sepertiga malam. Semoga Allah menjawab dan melegakan kegelisahan hatinya.
.......****.......
“Haaaah.” Medina menghela nafas melihat pesan masuk di hp-nya. Dia menidurkan kepalanya ke atas meja.
Saat ini dia dan Nona sedang ada di cafe dekat dengan taman kota.
“Napa, Me?” Nona bertanya dengan lembut. Dia baru saja mendengarkan curhatan Medina. Rasa kecewa dan sakit juga menjalar ke hatinya. Gimana, ya? Medina ini sahabat dia dari SD, kalau ada yang menyakiti Medina, dia juga ketularan rasa sakitnya.
“Gue harus gimana, Na? Pak Halim nge-chat gue terus. Entah apa maksudnya! Padahal gue udah berusaha banget buat jauh dari dia.”
“Memang Pak Halim nge-chat apa?”
“Dia pesan brownies. Dan minta diantar ke rumah.”
Nona manggut-manggut. “Kalau memang gitu, terima aja orderannya.”
Medina tersentak, dia langsung mendongak. “Hah? Gue terima orderannya?”
Nona manggut-manggut lagi. “Iya! Nanti kita lihat bareng, Pak Halim itu memang udah nikah atau gak.”
Medina mengerjap, dia tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk.
“Oke, deh. Nanti antar brownies-nya sama elu, ya?”
Nona mengacungkan jempol. “Gak lu suruh juga gue akan ikut!”
“Hem, oke!”
Nona menyentuh tangan Medina. “Tapi, kalau memang seandainya semuanya betul, lu harus kuat ya, Me? Berarti memang lu disuruh fokus sekolah dulu.”
Medina menghela nafas pelan dan mengangguk. “Iya, Na. Untung aja gue belum terlalu jauh buka hatinya.”
“Iya, Me.” Nona mengepalkan tangannya ke udara dan tersenyum. “semangat!!”
Medina tersenyum tipis dan mengangguk. ‘Ya Allah, berilah semua jawaban dari keraguan hamba.’
.......****.......
Di hari minggu yang cerah ini, Halim memilih rebahan saja di tempat tidur. Jangankan untuk nge-gym, beranjak dari tempat tidur saja dia sudah tak semangat.
Yang bisa dilakukan Halim hanya menekan tombol kunci hp sedari tadi. Hingga layar itu hidup dan mati terus menerus.
Halim berharap ada balasan Medina masuk ke hp-nya, dan dia takut melewatkan pesan balasan dari gadis tercintanya itu.
“Apa ‘sih yang salah dari Abang, Dek? Kenapa Adek ngejauhi Abang? Salah Abang apa?”
Halim bergumam sendiri. Dia meletakkan bantal ke atas wajahnya dan menekankan sedikit bantal itu, hingga dia kelabakan karena sesak nafas.
Dengan kesal Halim melempar bantal tak berdosa itu hingga jatuh ke lantai. Halim mendengus sebal. Ditambah semakin sebal karena Habibah sibuk menggedor pintu kamarnya.
“Apa ‘sih, Dek? Berisik, tahu! Abang lagi malas keluar!” teriaknya sambil menutup kedua telinganya dengan tangan.
“Bang! Bang Halim! Keluar, iiihh! Kalau gak, aku dobrak pintunya! Abang lupa kalau aku atlet taekwondo!”
Habibah tidak mau kalah. Dengan memulai hitungan, dia sudah mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar Halim.
“Kalau Abang gak keluar, aku dobrak! Waahidun! Itsnaani! Tsalasaaa__”
Halim membelalak. Dia khawatir kalau Habibah benar-benar akan mendobrak pintunya. Halim mendengus sebal.
Dengan terburu-buru dia melompat dari tempat tidur dan membuka pintu.
Habibah langsung nyengir ketika Halim menunjukkan mode sangarnya.
“Apa? Gangguin orang aja! Abang ‘kan udah bilang, kalau kamu mau jajan, beli sendiri sana naik motor!”
Habibah melipat tangan diatas perut. Muncungnya sudah merot kanan merot kiri memperhatikan Halim dari kepala hingga kaki.
“Abang kenapa ‘sih? Lagi gak niat untuk hidup, ya?”
“Iya!” balas Halim asal.
“APAAAA?” teriak Habibah tanpa pemberitahuan.
Halim terkejut, dia spontan mengelus dadanya. “Astaghfirullah! Bisa gak ‘sih jangan teriak-teriak, Bibah?”
Habibah cengengesan. “Gak bisa, Bang! Udah mendarah daging! Eh, tapi Abang bakalan semangat lagi. Soalnya—“
“Soalnya apa?” Halim mengusap wajahnya dengan tangan. Entah kenapa tiba-tiba dia mengantuk.
“Ish, Abang! Belum lagi selesai ngomong! Di bawah ada Mama ‘tuh!”
Halim tercengang. Bibirnya berkedut seperti ingin tersenyum. “Eh, betul ‘nih, Bah?”
Habibah mengangguk-angguk dengan mata terpejam. “He-em. Ada Bang Erik juga, tuh!”
Halim tersenyum. Dengan semangat menggebu dia berlari menuju ruang tamu. Meninggalkan Habibah yang geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
Ternyata benar yang dibilang si Bibah, di sana sudah ada Mama Aisyah dan Erik. Mereka terlihat sedang mengobrol santai.
Halim mendekati Mamanya. Dia menunduk dan hendak menyalim. “Assalammu’alaikum, Ma.”
Mama Aisyah menoleh dan membalas salaman Halim. “Wa’alaikumsalam, Bang,” ucap Mama Aisyah tersenyum dan mengusap kepala anak sulungnya itu.
Erik terkekeh memperhatikan interaksi anak dan Ibu di depannya. Dia malah berusaha menahan tawanya dengan menutup mulutnya.
Halim melirik Erik dengan sebal. “Apa Lo?”
Habibah datang dengan membawa nampan berisi gelas minuman.
Erik tak berkedip memandangi Habibah yang berhijab syar’i itu.
Halim yang tahu Erik curi-curi pandang pada Adiknya, langsung berdehem.
“Ehem!”
Erik mengerjapkan mata dan mengusap tengkuknya salah tingkah. Matanya kembali mengekori Habibah yang kembali ke dapur.
“Oh iya, tadi gimana, Rik? Coba jelaskan sama Halim. Kalau memang mendesak waktunya, biar Tante cepat siap-siap. Lagi pula, Tante udah siapin sebagian barang-barang untuk hantaran.”
Halim menoleh pada Mamanya. Rasa bahagia membuncah di dalam hatinya. Walaupun dia tidak tahu kapan Mamanya membeli barang-barang sebagai hantaran itu.
Ah! Itu gak penting! Yang penting itu nikah sama Medina!
“Tante, Papa Cuma punya waktu di hari Jumat ini untuk nikahkan Halim. Gimana, Lim? Biar gue bilang sama Papa untuk nyatat tanggal nikahnya di hari Jumat ini.”
Mama Aisyah menoleh pada Halim. “Gimana, Lim?”
Halim tersenyum. Ada gunanya juga punya teman Pengacara yang orang tuanya kepala KUA. Dia jadi tidak sabar untuk segera menikahi Medina.
Kalau bisa pun, besok saja nikahnya, tidak perlu menunggu hingga hari Jumat.
“Kenapa harus Jumat, sih? Kok gak besok aja, Rik?”
Erik mendengus. “Dasar manusia sebijik ini! Ngebet banget! Ini aja udah hari Selasa! Tinggal Rabu, Kamis, abis itu udah masuk hari-H! Dasar oon!”
Halim bukannya marah, malah tertawa lebar.
Erik jadi merasa tidak enak pada Mama Aisyah karena sudah mengatai anaknya oon.
“Maaf, Tante. Erik keceplosan bilang Halim oon. Hehe.”
Mama Aisyah malah terkekeh. “Gapapa, Rik. Biasa aja kali! Kalau Tante setuju hari Jumat diadakan pernikahannya. Insya Allah besok kami akan ke rumah calonnya Halim.”
Erik mengangguk. Dia kemudian bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, Erik permisi pulang dulu ya, Tante?”
“Iya. Makasih banyak ya, Rik.”
Halim dan Mama Aisyah mengantar Erik hingga pintu depan. Setelah Erik melajukan mobilnya. Mama Aisyah langsung mengajak Halim untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Di tengah mereka sibuk, tiba-tiba suara bel di gerbang berbunyi.
“Bibah! Bibah! Coba lihat ke depan! Kayaknya ada yang datang!”
Habibah keluar dari kamar sambil membenarkan hijab syar’i instannya.
“Siapa, Bang?”
Halim mengedikkan bahu. “Paling kurir! Kamu ‘kan biasa belanja online semenjak di sini!”
Habibah manyun. Perasaan dia belum ada belanja online lagi. Terakhir kali dua hari yang lalu kayaknya.
Habibah keluar dari pintu rumah, memakai sandal dan agak berlari kecil menghampiri seorang gadis yang berdiri di gerbang rumah Halim.
“Iya, ada apa, ya?”
Habibah menelisik penampilan gadis cantik di hadapannya ini. Dia mengenakan hijab syar’i dan baju gamis panjang, penampilannya mirip dengan Habibah.
Habibah mengerutkan alis ketika gadis itu hanya diam dengan tatapan yang tidak bisa Habibah mengerti.
“Egh, ada apa ya?” Habibah kembali bertanya.
Dengan tangan gemetar, gadis itu menyerahkan sebuah brownies yang terbungkus mika di dalam plastik.
“I—ini, Kak. Pesanan brownies Pak Halim.”
Habibah tersenyum tipis sambil menerima plastik itu. “Ini udah dibayar, Dek?”
Gadis itu menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Belum, Kak. Nanti aja pas di sekolah. Egh, assalamualaikum.”
Gadis itu langsung berlari menuju temannya yang menunggu duduk di atas motor.
Habibah mengernyit. “Wa’alaikumsalam. Dia kenapa?”
.......****.......
Selamat membaca para Pembaca akoh yang manis2.
Please ringankan tangannya untuk kasih like ya. ☺️💐❤️