Cahaya dipaksa menikah dengan pria yang menabrak ayahnya hingga meninggal. Namun, siapa sangka jika pria itu memiliki seorang istri yang amat dicintainya yang saat ini sedang terbaring lemah tak berdaya. Sehari setelah pernikahan paksa itu dilakukan, pertemuan tak sengaja antara Cahaya dan istri pertama suaminya terjadi.
Akankah Cahaya diakui statusnya di hadapan keluarga suaminya? Atau malah Cahaya tetap disembunyikan? Dipaksa padam seolah tak pernah ada dalam kehidupan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pernikahan Kedua
Melihat Cahaya yang hanya diam saja, Fahri memutuskan kembali berkata. Namun, sebelum itu ia lebih dulu menetralkan deru napas yang tidak beraturan.
"Sa─saya ... saya ingin─"
"Kenapa?" tanya Cahaya menyela perkataan Fahri, "Kenapa Bang Fahri mau tanggungjawab?"
"Karena saya rasa, saya memang perlu melakukannya."
Cahaya tersenyum sinis. Tanpa mampu menyembunyikan sakit di hati, ia pun berkata, "Niat Bang Fahri memang baik. Tapi, itu semua seolah membuktikan bahwa kita memang melakukannya, Bang."
"Ada atau tidak kita melakukannya, saya memang berniat untuk menikahimu, Cahaya. Saya mencintaimu, dari dulu sampai detik ini. Gak masalah kalau suatu hari nanti terbukti anak ini darah daging saya atau bukan. Saya bisa menyayangi dia seperti saya menyanyangi ibunya."
Cahaya kehilangan semua kata. Perkataan dan tatapan tulus Fahri membuatnya seolah diperhatikan.
Di saat Arif menolaknya mentah-mentah, Fahri datang dan menawarkan dirinya dengan suka rela. Haruskah Cahaya menerimanya?
"Kalau menurut Mbok Tun, lebih baik Ibu terima saja lamarannya. Toh, Pak Arif juga gak mau tanggungjawab," ucap Mbok Tun setelah Cahaya menceritakan kejadian yang ia alami sore ini.
Cahaya tampak berpikir sebentar sambil memasukkan keripik tempe yang selesai digoreng Mbok Tun ke dalam kemasan khusus. Sesekali ia juga memperhatikan Zaif yang tampak asyik sendiri dengan mainan barunya.
"Tapi, aku yakin kalau ini beneran anak Pak Arif, Mbok. Kalau aku beneran nikah sama Bang Fahri, kasihan dia. Dia harus merawat anak yang bukan darah dagingnya."
"Lo, Pak Fahri aja gak keberatan. Jadi, kenapa harus dipikirkan? Niat Pak Fahri buat menikahi Ibu sudah ada jauh-jauh hari. Kalau Ibu menerimanya, artinya Ibu juga sudah membuat janin ini bahagia. Bukankah maknanya dia sudah mempunyai seseorang yang bisa dipanggil ayah nantinya?"
"Tapi, Mbok, apa gak aneh kalau aku nikah sama Bang Fahri? Dia itu abang iparnya Pak Arif, lo, Mbok."
Mbok Tun pun ikut memikirkan. "Iya juga, ya. Tapi, kalau Pak Fahri berani melamar Ibu, itu artinya sudah ia pikirkan bukan?"
Karena tak mau berlarut-larut dalam rasa penasaran, alhasil Cahaya menghubungi Fahri dan memintanya untuk bertamu ke rumah.
Malam itu juga, Fahri mendatanginya.
Sewaktu Cahaya menyampaikan kegusarannya, pria dewasa itu pun tersenyum pelan sambil menatap matanya dalam-dalam. Dia merasa, sesuatu yang baik akan terjadi malam ini.
"Saya dan Zahra bukan saudara kandung, Ya. Tidak ada ikatan darah antara kami berdua."
Pengakuan itu membuat Cahaya terkejut sekaligus penasaran. Tanpa perlu bertanya, Fahri menjelaskan dengan sendirinya.
"Saya adalah anak yang dibesarkan di panti asuhan. Saat usia enam tahun, saya diadopsi oleh sepasang suami istri yang kesulitan memiliki anak. Syukurnya beberapa bulan saya di keluarga mereka, Mama saya akhirnya hamil. Dan, lahirlah Zahra, adik saya."
Cahaya mengangguk mengerti. Keraguannya untuk menerima Fahri hilang sudah.
"Jadi, bagaimana soal lamaran saya?"
"Em, itu ... aku menerimanya."
Fahri tersenyum lebar bersama napas yang berembus panjang. "Alhamdulillah. Terima kasih banyak, ya, Cahaya."
Kabar pernikahan Cahaya juga sampai ke telinga Arif. Sebelum berangkat ke toko, Arif memutuskan untuk singgah. Kebetulan Cahaya terlihat tengah menyiram tanaman. Jadi, Arif langsung masuk dan berdiri dengan sebelah alis dinaikkan.
"Benar kamu mau menikah dengan Fahri?"
Cahaya yang sempat terkejut segera menguasai dirinya kembali. "Iya. Kenapa? Ada masalah?"
Arif tertawa rendah. Terkesan mengejek memang, tetapi Cahaya berusaha untuk tidak memedulikan. "Gak ada masalah, sih. Saya cuma mau ucapin selamat doang. Setelah ini, kalian gak perlu lagi menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi."
"Maksud Bapak apa?! Bapak nuduh aku selingkuh?" tanya Cahaya termakan amarah. Ia menatap Arif tajam-tajam. Namun, sialnya, Arif membalasnya dengan ekspresi yang sangat santai.
"Memang begitu kenyataannya, 'kan? Kalau tidak, mana mungkin kalian berdua bisa tidur bersama?"
Cahaya menggertakkan gigi. Hidungnya kembang kempis menahan makian.
"Dan, walaupun nanti kalian udah menikah, saya tetap akan menafkahi Zaif seperti biasa. Tapi, jangan harap saya akan memperlakukan 'dia' seperti saya memperlakukan Zaif. Ingat, dia bukan anak saya. Dia bukan darah daging saya. Dia hanyalah anak haram. Anak yang dihasilkan dari hubungan gelap kalian."
"Sekarang aku paham kenapa Allah tidak memberikan kalian anak," Cahaya berkata dengan suara tajam, "Itu dikarenakan Bapak yang enggan menghargai sebuah kehidupan."
Arif melotot marah lalu selangkah maju untuk balas mengatai Cahaya.
Namun, Cahaya lebih dulu berucap, "Sekarang Bapak bebas berkata apa. Tapi, jika nanti terbukti 'dia' darah daging Bapak, aku harap Bapak gak akan menyesal."
"Dia bukan anak saya!" teriak Arif.
"Terserah apa kata Bapak."
Setelah itu, Cahaya pun masuk ke dalam. Meninggalkan Arif dengan segudang amarah di wajahnya.
Beberapa hari berikutnya, Cahaya mendapat kabar bahwa persiapan pernikahan mereka hampir sepenuhnya jadi. Walaupun acara itu akan dilakukan secara sederhana, tetapi Cahaya akui jika Fahri mempersiapkannya dengan sangat baik.
Malah saat ini Cahaya tengah bersedih. Sejak tadi, ia berusaha menghubungi Bahar. Namun, ternyata nomornya sudah diblokir. Lantas, bagaimana bisa Cahaya memberitahukan tentang rencana pernikahannya itu?
Alhasil, tanpa kehadiran Bahar, pernikahan Cahaya dan Fahri tetap dilaksanakan. Keduanya menyelenggarakan acara tersebut di KUA setempat. Itu pun atas permintaan Cahaya juga.
Setelah resmi menikah, Arif dan Zahra kompak mendatangi Cahaya dan Fahri.
"Selamat, ya, Abang, Cahaya," ucap Zahra memeluk pasangan di hadapannya bergantian, "Semoga kalian bahagia hingga hari tua."
"Makasih, ya, Zahra."
"Makasih, Kak Zahra."
Namun, Arif tidak seperti itu. Jangankan memberi selamat, tersenyum saja ia tak mau. Sejak tadi, ia terus-terusan menekuk wajahnya. Ia bahkan refleks mengepalkan kedua tangan sewaktu Fahri memeluk pinggang Cahaya dengan mesra.
Arif akui, Cahaya tampak begitu cantik dalam balutan gaun pengantin dan make up di wajahnya. Karena ini adalah kali pertama, Cahaya dirias sedemikian rupa. Dan, Arif juga sadar bahwa dirinya membenci Cahaya. Namun, mengapa ada rasa tak rela di sudut hatinya? Masihkah ada rasa yang tertinggal untuk mantan istrinya?
"Em, malam ini Zaif nginap di rumah kita aja, ya? Boleh, 'kan?"
"Eh, emang gak ngerepotin Kak Zahra nanti? Zaif ini bisa rewel banget kadang-kadang," ungkap Cahaya cemas.
"Kamu lupa, malam saat kamu bersama Fahri, Zaif juga tidur bareng kita. Dan, walaupun dia rewel, Zahra bisa menanganinya dengan baik."
Semua terdiam saat Arif selesai berkata.
Sementara itu, Arif tertawa senang dalam hati. Puas sudah ia membuat Cahaya marah dan Fahri merasa bersalah.
"Em, kita pamit dulu kalau gitu. Sekali lagi, selamat, ya."
Sambil menarik lengan Arif, keduanya pun hengkang dari sana.
Fahri yang menyadari suasana hati Cahaya berubah, lantas merangkul bahunya dengan hangat. Ia menyentuh ujung hidung Cahaya. Membuat wanita itu kaget dan menatap ke arahnya.
"Jalan-jalan, yuk!"
"Dengan gaun ini?"
"Kenapa enggak? Sekalian kita cari fotograger buat fotoin kita."
"Tadi, kan, udah ada yang foto-fotoin kita pas di dalam. Emang belum cukup?"
Fahri tertawa. Apa yang Cahaya katakan memang benar. "Em, kalau gitu ada tempat yang ingin kamu kunjungi gak? Kita bisa ke sana sekarang."
Cahaya berpikir sebentar. Mendadak ekspresi wajahnya berubah muram.
Fahri yang melihatnya seketika merasa khawatir. "Kenapa, Ya?"
"Aku mau pulang ke kampung halaman. Mau ke makam Ibu dan Bapak. Abang mau menemin aku ke sana gak?"
"Apa pun demi istriku."
semangat up nya Kaka 💪
tapi masih harus waspada, pak Arif masih kelayaban susun rencana licik