Cahaya Yang Padam

Cahaya Yang Padam

1. Pernikahan Paksa

"Bu, apa ini enggak terlalu jahat? Bang Jamal baru aja meninggal. Masa kita malah menikahkan Cahaya dengan pria kota itu?"

"Jahat apanya, sih, Pak? Memang sudah seharusnya begitu, 'kan? Kalau kita gak menikahkan mereka, siapa lagi yang mau nanggung beban hidup Cahaya? Anak kita aja ada empat. Masa mau ditambah-tambahin sama gadis cacat itu lagi?"

Jamal mendesah, tangannya bergerak lembut menyentuh bahu Wati seraya berkata, "Kita yang akan menanggungnya, Bu. Cahaya itu ponakan kita satu-satunya. Cuma kita yang dia punya. Kasihan, Bu. Lagian pria kota itu juga udah punya istri. Dia juga memberikan uang ganti rugi sebanyak tiga ratus juta. Itu udah lebih cukup untuk membiayai kehidupan Cahaya."

"Enak aja Bapak ngomong gitu. Bapak lupa, selama tiga bulan belakangan ini, Bang Jamal dan Cahaya menumpang di rumah kita. Uang kita juga habis banyak, Pak. Banyak beban yang harus dikeluarkan. Uang tiga ratus juta itu cuma cukup untuk ganti rugi buat kita. Lagian Ibu gak mau nampung Cahaya selamanya. Dia itu cacat. Gak bisa bekerja. Mana mungkin bisa membalas semua kebaikan kita?"

"Tapi, Bu──"

"Gak ada tapi-tapian," Wati menyela ucapan Bahar, "Sore ini juga, Cahaya harus dinikahkan. Dia harus pergi dari kehidupan kita. Kalau Bapak tetap mau mempertahankan Cahaya, lebih baik Ibu aja yang pergi dari sini."

Di ambang pintu, Cahaya menatap nanar ke arah sepasang suami istri yang memperdebatkan dirinya. Air matanya mengalir deras. Membasahi wajah dan juga sudut hatinya yang terluka parah.

"Cahaya mau dinikahkan dengan pria kota itu? Pria yang sudah menabrak Bapak hingga meninggal?"

Baik Wati dan juga Bahar kompak memutar kepala. Ekspresi keduanya berbanding terbalik. Jika Bahar menatap penuh iba, Wati malah biasa-biasa saja.

"Baguslah kalau kamu sudah tau. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Karena setelah ijab kabul nanti, kamu akan dibawa pergi oleh suamimu itu."

"Tapi, Cahaya gak mau, Bibi. Pria itu sudah membuat Bapak meninggal. Seharusnya dia dipenjara, bukan malah dinikahkan sama Cahaya. Apa salah Cahaya sampai Bibi dan Paman tega melakukan ini ke Cahaya?"

"Karena kamu cacat! Enggak bekerja, gak bisa menghasilkan banyak uang. Menampung kamu di sini hanya menjadikan beban buat keluarga kami."

"Kalau Cahaya kalian anggap beban, Cahaya akan pergi dari sini. Cahaya akan hidup sendiri di luaran sana."

"Dengan kaki cacat seperti itu, hah?" tanya Wati membuat Cahaya terdiam dan Bahar yang refleks mengusap wajah. "Lihatlah dirimu sendiri, Cahaya. Kamu itu cacat. Kakimu gak bisa digunakan. Gak ada yang mau menerima kamu di dunia ini. Kalau kamu masih menganggap kami keluargamu, maka menurutlah."

Detik itu juga, tangisan Cahaya pecah tak tertahan. Kepalanya menunduk, sorot matanya memandangi kondisi kaki kirinya yang ditumpang oleh satu kruk kayu yang tampak usang.

Sepuluh tahun lalu, kecelakaan itu terjadi. Cahaya bukan hanya harus merelakan ibu tercinta pergi untuk selama-lamanya. Namun, dirinya juga harus mengikhlaskan kaki kirinya kehilangan fungsi.

Dan, sepuluh tahun kemudian──saat Cahaya sudah berbahagia dengan keadaan dirinya──Tuhan malah mengambil satu-satunya harta paling berharga yang Cahaya punya.

Bapak pergi menyusul Ibu. Saat dalam perjalanan berangkat kerja sebagai tukang ojek, sebuah mobil menabrak motor Jamal hingga membuatnya tewas di tempat. Di detik ini pula, kehidupan Cahaya kembali dibuat terancam. Sinar hidupnya padam. Cahaya tak tahu ke mana dirinya harus meminta bantuan.

Sore hari setelah jasad Jamal dikebumikan, ijab kabul dilaksanakan di dalam rumah pada ruang tengah milik keluarga Bahar. Akan tetapi, Cahaya malah bersembunyi di dalam kamar. Menangis, meratapi nasib dirinya yang dibuat hancur berantakan.

"Cahaya mau ikut Bapak sama Ibu aja. Cahaya gak mau di sini .... Ibu ... Bapak ... bawa Cahaya pergi ...."

"Cahaya."

Bahar masuk ke dalam kamar. Ia memposisikan tubuh agar sejajar dengan Cahaya. Bersama air mata yang nyaris menetes pada sudut sebelah kiri, Bahar memeluk Cahaya dengan erat. "Maafkan Paman. Semua ini Paman lakukan demi kebahagiaan kamu. Nak Arif sudah berjanji akan menjaga kamu dengan baik. Jangan bersedih, Cahaya. Berbahagialah di kota sana. Jangan lupakan Pamanmu yang tidak berdaya ini."

"Kenapa Paman tega? Apa karena Cahaya cacat makanya Paman seenaknya? Apa karena Cahaya gak punya Bapak dan Ibu? Cahaya punya hati, Paman. Cahaya punya perasaan. Menikah dengan orang yang menabrak Bapak bukanlah kebahagiaan. Itu malapetaka. Dan, kalian membuat Cahaya merasakan kepahitan ini semua."

Bruk!

"Drama apa lagi ini?" Wati masuk ke kamar sambil mendorong pintu cukup keras. Emosinya mendadak naik saat melihat Cahaya yang masih menangis di pelukan suaminya. "Hei, anak cacat. Berkemaslah! Suamimu menunggu di luar. Dia harus langsung pulang."

"Cahaya gak mau pergi, Paman. Cahaya gak mau ...." isak Cahaya makin merapatkan tubuh ringkihnya pada pelukan Bahar. Namun, percuma saja meminta bantuan. Bahar tidak bisa membantunya.

"Tapi, dia itu suamimu, Nak. Kamu harus ikut bersamanya. Jadilah istri yang baik dan patuh. Nak Arif itu pria yang baik. Paman yakin dia tidak akan menyakitimu."

Cahaya berharap jika ini hanyalah mimpi. Cahaya berharap, saat ia bangun nanti, semua akan membaik seperti sediakala. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada yang pergi. Tidak ada pernikahan. Tidak ada perjalanan meninggalkan desa kelahiran.

Namun, sekeras apa pun Cahaya melantunkan doa penuh harap, nyatanya tidak ada yang berubah dalam kehidupannya. Dirinya tetap menjadi seorang gadis yang baru saja ditinggalkan oleh Bapak tercinta. Dirinya tetap menjadi gadis yang dinikahkan secara paksa. Dirinya tetap menjadi gadis yang terbuang. Tanpa perasaan, tanpa belas kasihan.

Hujan turun sore itu. Cahaya menatap ke arah luar jendela sambil memeluk sebuah tas yang hanya berisi beberapa pakaian lusuh. Tidak ada yang istimewa selain foto keluarga dan sebuah kruk kayu yang membantunya berjalan jauh. Hingga pada detik kesekian, sebuah tangan yang memegang saputangan terulur ke arahnya secara perlahan.

Cahaya menoleh, menatap sekilas ke arah saputangan bermotif kotak-kotak itu. Tidak ada niatan sama sekali untuk mengambilnya.

"Hapus air matamu."

Saat Cahaya berharap pria ini akan meminta maaf kepadanya, saat itu juga amarah mendadak timbul dalam hatinya. Dengan gerakan kasar, Cahaya menepis tangan Arif.

Gerakan itu bukan hanya membuat tangan Arif menjauh, tetapi juga membuatnya menatap kesal ke arah Cahaya.

"Kenapa Bapak tidak menolak pernikahan ini, hah? Apa susahnya, sih, buat Bapak bertanggungjawab dengan cara yang lain? Kenapa harus menikah? Bapak punya banyak uang. Bapak kaya raya, punya kekuasaan. Seharusnya orang kota seperti Bapak mampu berpikir lebih logis dan masuk akal."

Arif menghela napas. Sesaat kemudian, kecepatan mobilnya tanpa sadar ia tingkatkan.

"Kalau saya bisa, saya juga gak mau terjebak dalam hubungan ini. Mati-matian saya menolaknya, tapi mati-matian juga Bu Wati mendesak saya."

"Bukan karena Bapak takut masalah ini dibawa ke kantor polisi makanya Bapak menerima pernikahan ini? Saya tau akal bulus orang kaya seperti Bapak. Kalian berani melakukan, tapi takut saat diminta pertanggungjawaban. Bapak takut dipenjara, kan, makanya Bapak mau-mau saja menikahi gadis cacat seperti saya?"

Kamu benar.

Sayangnya, dua kata itu hanya tertahan di tenggorokan.

"Saya bersumpah, tidak ada kebahagiaan untuk orang yang sudah merebut kebahagiaan saya. Bapak harus menderita. Bapak harus menyesal. Bapak harus merasakan kesakitan yang sama seperti yang saya rasakan."

Kepala Arif menoleh, memandangi Cahaya dari balik kacamata yang bertengger pada pangkal hidungnya. Gadis itu menangis. Sekali lagi, Arif meletakkan saputangan bermotif kotak-kotak ke atas pangkuannya dan berharap akan Cahaya gunakan untuk menghapus air matanya. Karena pada dasarnya, setetes air mata Cahaya hanya akan menambah rasa bersalahnya. 

Keheningan itu hanya bertahan selama sepuluh menit. Pada menit kesebelas, ponsel Arif berdering panjang.

"Iya, Ri. Kenapa?" tanya Arif sebagai pembuka kata. Sesaat setelah Fahri memberikan jawaban di seberang sana, eskpresi wajah Arif berubah total.

...* * *...

Arif berlari pada sepanjang koridor rumah sakit dengan kedua pipi dibasahi air mata. Berbagai kemungkinan berputar-putar cepat dalam pikirannya. Dirinya takut terjadi hal yang buruk pada istrinya.

"Zahra," panggil Arif saat pintu ruangan tersebut dibuka cukup kasar.

"Zahra udah tidur," celetuk Fahri dari sofa pada sudut ruangan. Di tangannya terdapat lembaran koran.

"Ke──kenapa Zahra bisa kejang-kejang, Ri? Apa yang terjadi sama dia?" tanya Arif tak sabaran.

"Aku juga gak tau kenapa. Tadi dia cuma ngeluh sakit kepala sama sakit perut. Pas mau aku panggil perawat, dia malah kejang-kejang."

Arif mendesah cemas. Kedua tangannya bergerak menyugar rambut ke belakang.

"Emang tadi kamu ke mana aja, sih? Ngecek peternakan, kok, bisa selama itu?"

"Tadi ada sedikit masalah di desa. Makanya aku terlambat balik," Arif memberikan penjelasan paling aman. Tidak mungkin juga, kan, dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Fahri?

"Karena udah ada kamu di sini, aku mau ke kantin dulu, ya. Dari siang belum makan soalnya."

Arif mengangguk sambil melepaskan kacamata dan meletakkan di atas nakas. Sesaat setelah Fahri keluar dari ruangan, Arif menarik kursi dan mengambil tempat tepat di sebelah ranjang Zahra.

"Bang .... Udah pulang?" Zahra membuka mata. Senyum manisnya terbit kala menyadari sosok Arif ada di sebelahnya.

"Udah. Baru aja sampai," jawab Arif sambil mengusap pipi Zahra yang terasa dingin di jarinya. "Udah makan?"

Zahra mengangguk. "Udah tadi sama Bang Fahri. Kalau Abang?"

"Bentar lagi. Abang belum laper soalnya."

"Abang jangan keseringan telat makan. Nanti bisa kena mag kayak Bang Fahri. Aku gak mau, ya, pas aku lahiran nanti, Abang malah sakit-sakitan," tutur Zahra dengan suara lemah. Namun, Arif meresponsnya hanya dengan senyum tipis saja.

Melihat gelagat yang tak biasa itu, seketika Zahra mengerutkan kening. Ia menyentuh rahang Arif, membuat tatapan yang sempat kosong itu memandanginya dengan heran. "Abang kenapa melamun? Lagi ada masalah?"

Arif membuang napas. Mau ditutup bagaimanapun, Zahra tetap tahu makna dari sorot matanya itu.

Namun, kondisi Zahra sedang tidak baik-baik saja. Di usia kehamilan yang terbilang cukup muda, wanita ini sudah sering kali masuk ke rumah sakit. Lagipula Arif juga harus mencari cara terlebih dahulu. Tidak semudah itu untuk mengatakan tentang apa yang terjadi padanya selama beberapa jam berada di desa.

"Abang cuma khawatir sama keadaan kamu dan anak kita. Padahal dari dulu dokter udah mengatakan kalau kondisi kamu terlalu rentan buat hamil. Tapi, Abang tetap memaksa. Apa sebaiknya dia kita──"

"Abang ...." Zahra menyela dengan ekspresi memelas. Dia bukannya tak tahu kalimat macam apa yang akan Arif katakan. "Ini bukan salah Abang. Gak ada yang memaksa di sini. Memang udah seharusnya, kan, Bang? Kita udah menundanya hampir delapan tahun. Dan, aku rasa, ini memang waktu yang tepat."

"Tapi, kamu jadi gak baik-baik aja, Sayang. Abang takut kamu kenapa-kenapa. Abang takut kehilangan kamu. Abang takut ...." Arif menunduk. Suaranya tercekat, terhenti di tenggorokan. Sedetik kemudian, air matanya menetes dan mengenai punggung tangan Zahra yang ditusuk jarum infus.

"Kita lewatin sama-sama, ya. Bahkan kalau suatu hari aku beneran harus pergi, setidaknya aku meninggalkan buah hati kita di sini."

"Gak mau .... Kamu gak boleh pergi ...."

Arif bangkit lalu memeluk Zahra yang tanpa sadar juga ikut meneteskan air mata. Kondisinya memang sakit. Namun, jika Arif terus ada dan setia bersamanya, Zahra yakin semua akan baik-baik aja.

"Maaf. Mau nyari siapa, ya?"

Cahaya tersentak. Tubuhnya otomatis berputar dan sedikit menjauh dari pintu ruangan yang diisi oleh Arif dan seorang wanita yang terbaring di atas ranjang. "Em, enggak. Kayaknya saya salah kamar, Pak."

Fahri mengangguk pelan. Manik matanya menekuri sosok gadis berpakaian sederhana dengan sebuah kruk kayu yang menopang tubuhnya. "Mau saya antar ke kamar ke kamar yang benar? Mungkin kamu butuh bantuan?" Fahri menawarkan, tetapi Cahaya menggelengkan kepala.

"Gak apa-apa, Pak. Saya permisi dulu. Terima kasih."

Gadis itu berlalu sambil membawa sebuah tas lusuh dengan susah payah. Langkah kaki yang memaksanya mengikuti Arif, nyatanya malah membawanya ke sebuah kenyataan yang menyakitkan.

Pria itu mempunyai istri yang tentu saja sangat dicintai olehnya. Lantas, akan dikemanakan dirinya nanti?

Terpopuler

Comments

🎀

🎀

Saya mampir thor, jangan lupa mampir juga hehe, follback ya thor

2024-05-30

1

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

kasian mati aja istrinya biar cahaya yang gantiin

2024-06-02

1

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

istrinya sakit apa 🤔

2024-06-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!