NovelToon NovelToon
Antara Takdir Dan Pilihan

Antara Takdir Dan Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.

Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.

Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.

mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

di pondok pesantren

Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyusup di antara dedaunan, menyambut kedatangan mereka di lingkungan pesantren Al-Ihsan.

Haifa duduk di dalam mobil, merapikan pakaian hitam elegannya dengan raut wajah yang mencoba menenangkan diri.

Matanya yang tajam berwarna kebiruan memantulkan sinar matahari pagi, membuatnya terlihat seperti lukisan hidup yang memukau.

Kulit putih bersihnya semakin bercahaya, membuat siapa saja yang melihat terpesona, meski ia sendiri tengah berusaha meredakan kegugupan yang mendesak dadanya.

“Haifa, ayo keluar. Lihat itu, santri-santri sudah ramai menunggu. Banyak yang cowok, lho,” goda Hamzah, ayahnya, sambil tersenyum penuh arti.

“Abi, ih! Jangan kayak gitu, dong,” sahut Haifa, suaranya setengah protes, setengah malu.

Pipinya memerah ketika ia melirik sekilas keluar jendela. Puluhan, mungkin ratusan pasang mata sudah tertuju pada mobil mereka, menanti dengan penuh antusias.

Hamzah tertawa kecil, lalu membuka pintu mobil. Dengan menarik napas panjang, Haifa akhirnya mengikuti, melangkah keluar dari Alphard putih itu dengan langkah perlahan.

Di sekelilingnya, suara gendang rebana menggema, diiringi Qasidah yang mengalun syahdu. Para santri berdiri rapi di kedua sisi jalan masuk, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat dan penuh hormat.

Haifa, yang berjalan di belakang ayahnya, menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan yang terasa terlalu banyak dan terlalu intens. “Ya Allah, kenapa harus semeriah ini sih… Malu banget,” gumamnya pelan, hanya untuk dirinya sendiri.

Namun, setiap langkah yang diambilnya membawa gemuruh tepuk tangan dan tatapan kagum yang semakin membuatnya merasa kecil.

Dalam hati, ia hanya bisa berdoa agar perjalanan ini segera berakhir. Tetapi ada sesuatu yang tak bisa ia pungkiri perasaan campur aduk antara bangga dan gugup, antara hormat dan rasa ingin bersembunyi dari dunia.

Sementara itu, Hamzah melangkah tegap di depannya, senyum bijaksana menghiasi wajahnya.

Kehadirannya di tempat itu membawa wibawa yang tak terbantahkan, membuat setiap orang membungkuk hormat.

Di belakangnya, Haifa berusaha mengikuti langkah itu, meski hatinya masih penuh kegelisahan.

Dan di tengah semua sorotan itu, Haifa tetap menunduk, menyembunyikan perasaan gugup di balik wajah yang dingin.

Hanya sinar matanya yang kebiruan yang sesekali berkilau, memberi tanda bahwa gadis itu tengah berjuang keras untuk terlihat tenang di tengah sorak-sorai sambutan yang begitu meriah.

Di ujung jalan yang dipadati santri, terlihat Kiyai Ibrahim berdiri dengan kharismanya yang tenang.

Di sampingnya, seorang lelaki muda berwajah teduh berdiri dengan senyuman tipis, mengenakan baju koko putih yang bersih. Itulah Gus Zayn Ibrahim, anak sulung Kiyai Ibrahim yang dikenal banyak orang sebagai sosok berwibawa sekaligus rendah hati.

Pandangan Haifa tak sengaja terhenti pada Gus Zayn.

Matanya yang kebiruan melebar, dan detak jantungnya seolah melompat. “Ya Allah, itu beneran Gus Zayn? Kok tiba-tiba aku ngerasa salah kostum gini… Mau taruh di mana mukaku?” gumamnya dalam hati, berusaha menguasai kegugupan yang tiba-tiba melanda.

Sementara itu, Abiy Hamzah melangkah maju dengan santai dan menjabat tangan Kiyai Ibrahim dengan erat.

Setelah berbasa-basi, Kiyai Ibrahim mempersilakan mereka masuk ke kediamannya.

Haifa mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat di tengah rasa malu yang masih menyelimuti.

Di ruang tamu, percakapan berlangsung hangat.

Suasana penuh keakraban membuat Haifa merasa sedikit lega, meski pandangannya tetap mencuri-curi ke arah Gus Zayn yang duduk di sudut ruangan.

“Jadi ini Haifa? Wah, sudah besar juga, ya. Terakhir kali lihat, kamu masih kecil banget,” ujar Kiyai Ibrahim, menatap Haifa dengan senyum penuh kebapakan.

Haifa tersentak kecil, wajahnya memerah. “Hehe, iya, Kiyai,” jawabnya gugup, sambil memainkan ujung kerudungnya.

Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar. Gus Zayn menahan senyum sambil menatap Haifa dengan pandangan yang sulit diartikan.

Haifa semakin salah tingkah, dan rasanya ingin menghilang dari ruangan itu.

“Eh, jangan panggil Kiyai dong. Panggil saja Abi, seperti Zayn memanggil Abi mu,” ucap Kiyai Ibrahim santai, membuat Haifa semakin tercengang.

Ia melirik ayahnya, penuh tanda tanya. “Abi? Apa maksudnya ini?” pikir Haifa, bingung dengan hubungan yang tiba-tiba terasa lebih dekat dari yang ia bayangkan.

“Hmm, pasti bingung, ya,” ujar Abi Hamzah, seolah bisa membaca pikiran Haifa.

“Sebenarnya, Zayn ini sudah sering ke Kalimantan, ke rumah kita. Tapi karena kamu lama mondok, kamu nggak tahu kalau dia biasa datang,” tambah Hamzah sambil tertawa kecil.

Haifa hanya tersenyum kaku, menyembunyikan semua pikiran yang berseliweran di kepalanya.

Matanya sekali lagi melirik ke arah Gus Zayn, yang tampaknya masih menyembunyikan senyum kecilnya.

Sesuatu di dalam dada Haifa terasa bergetar seperti firasat bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.

“Haifa, mau lihat-lihat pondok putrinya?” tanya Kiyai Ibrahim dengan nada lembut, memecah suasana.

Haifa yang masih berusaha menenangkan diri hanya tersenyum kaku. “Hehe, boleh, Kiyai... eh maksudnya, Abi Ibrahim,” ucapnya dengan nada sedikit gugup, membetulkan ucapannya dengan cepat.

Hamzah yang duduk di sampingnya ikut tersenyum lebar. “Iya, sekalian ngawasin mereka, kalau ada yang macam-macam,” candanya sambil melirik ke arah Haifa.

“Haifa ini dulu terkenal galak di pondok lamanya. Saking garangnya, dia sampai ditunjuk jadi bagian keamanan pondok. Hahaha!”

Haifa hanya bisa menunduk, malu dengan cerita ayahnya. Ia tidak berani menatap siapa pun, terutama Gus Zayn yang sepertinya menahan tawa di sudut ruangan.

Kiyai Ibrahim tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, Zayn, ajak Haifa lihat-lihat pondok putri. Sekalian antar kitab Adab Suluk Al-Murid ke Umi kamu, ya.”

“Hah?” seru Haifa dan Gus Zayn hampir bersamaan, saling melirik dengan ekspresi terkejut.

“Maksudnya Zayn nganterin Haifa ke sana?” tanya Gus Zayn, seolah tak percaya dengan instruksi tersebut.

“Iya, kalian itu saudara juga, kan? Jadi nggak usah ribet,” ucap Hamzah santai.

Haifa semakin salah tingkah. “Saudara?” pikirnya dalam hati, bingung dengan hubungan yang mendadak terasa begitu dekat.

Belum sempat keduanya melontarkan protes, Kiyai Ibrahim melambaikan tangan santai. “Sudah, sana berangkat. Nanti kalau kelamaan, makin panas loh harinya,” ujarnya dengan nada menggoda.

Dengan sedikit enggan, Haifa dan Gus Zayn akhirnya keluar dari rumah. Namun, di luar, sambutan yang mereka dapatkan jauh dari tenang.

Puluhan, bahkan ratusan santri yang tengah beraktivitas di halaman pondok segera menghentikan apa pun yang mereka lakukan, menatap keduanya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Siapa cewek itu? Jangan-jangan dia tunangan Gus Zayn?” bisik seorang santri kepada temannya.

“Oh, aku tahu dia! Bukannya dia brand ambassador pakaian muslimah Az-Zahra?” tambah yang lain dengan nada tak kalah heboh.

Haifa yang memiliki pendengaran tajam langsung mendengar setiap bisikan itu. Wajahnya memerah, dan ia semakin menunduk, merasa sangat tidak nyaman.

Di depan, Gus Zayn berjalan dengan langkah cepat, berusaha tak memedulikan tatapan santri yang tertuju pada mereka. Meski begitu, Haifa tahu, lelaki itu pun merasakan hal yang sama.

“Kenapa jadi begini sih?” gumam Haifa dalam hati, masih menunduk mengikuti Gus Zayn dengan langkah hati-hati.

Hati mereka sama-sama diliputi rasa malu dan tak nyaman, sementara ratusan pasang mata terus mengawasi, seolah mencari jawaban dari keberadaan mereka bersama.

Setelah sampai di depan parkiran pondok, Haifa berdiri mematung, tubuhnya terasa kaku seperti tiang. Matanya menerawang kosong, pikirannya melayang entah ke mana.

“Ayo, silakan masuk,” suara Gus Zayn membuyarkan lamunannya. Nada suaranya datar namun tegas, membuat Haifa tersadar dari kebingungannya.

“Oh, iya, Gus. Maaf,” jawab Haifa terbata-bata. Ia segera melangkah masuk dan duduk di kursi tengah penumpang.

Gus Zayn hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara mesin dan sedikit deru angin dari luar.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mereka berdua. Haifa menunduk, memainkan ujung kerudungnya, sementara Gus Zayn fokus pada kemudi, meski sesekali melirik Haifa dari sudut matanya.

Ketika akhirnya sampai di pondok pesantren putri, dari kejauhan terlihat Ummi Zainab berdiri di depan gerbang, tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka.

Haifa turun lebih dulu. “Assalamu’alaikum, Ummi,” sapanya dengan lembut sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman.

“Wa’alaikumsalam, Nak. Hmm, Haifa, sudah besar saja, ya. Dan makin cantik, nih,” ujar Ummi Zainab dengan nada penuh sayang, lalu mencium kedua pipi Haifa.

“Hehehe, Ummi bisa saja,” balas Haifa, tersenyum malu-malu.

Gus Zayn yang baru turun dari sisi lain mobil ikut menyapa. “Assalamu’alaikum, Ummi.”

“Wa’alaikumsalam. Hmmm, mukanya dingin banget, Zayn. Ganteng-ganteng tapi serem, ya, mukanya?” canda Ummi Zainab sambil melirik ke arah Haifa. “Kan, Haifa?” tambahnya dengan nada menggoda.

“Hehehe, iya, Mi,” jawab Haifa dengan canggung, tidak tahu harus merespons seperti apa. Wajahnya sedikit memerah, merasa salah tingkah.

Ummi Zainab tertawa kecil, lalu melambaikan tangan ke arah mereka. “Zayn, Haifa, ayo kita masuk. Dari tadi banyak santri yang memperhatikan, penasaran mereka sama kamu, Ifa. Hahaha!” ucapnya penuh canda.

Haifa hanya bisa menunduk sambil tersenyum kecil, berusaha tetap tenang meskipun langkahnya terasa berat.

Sementara Gus Zayn berjalan di sampingnya dengan ekspresi datar seperti biasa, meski ada sedikit gerakan canggung di pundaknya. Perhatian para santri terasa seperti beban tak kasat mata yang terus mengikuti langkah mereka.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!