"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Kamar
Begitu tahu Om Lino memperpanjang deadline tugas, aku langsung nyusul ke ruang makan sambil menahan senyum. Nggak mau geer, sih … tapi feeling-ku kuat banget kalau dia ngelakuin ini gara-gara aku.
Dan memikirkan itu bikin aku nggak bisa berhenti baper. Salting brutal pokoknya.
Saat sampai di ruang makan, Om Lino yang sudah duduk lebih dulu menatapku sekilas.
“Jihan, ayo duduk,” katanya, menunjuk kursi di seberangnya.
Aku langsung menurut dan mendudukkan diri di kursi yang biasa kupakai. Begitu melihat menu makan malam hari ini, mataku berbinar.
Chicken katsu!
Kemarin-kemarin masakan Thailand, sekarang Jepang. Udah berasa makan di resto aku.
Aku menyendok nasi, lalu menatap Om Lino yang makan dengan tenang. Mendadak, ide random muncul di kepalaku.
“Om,” panggilku.
“Hm?”
Aku menyandarkan lengan ke meja dan menatapnya penuh arti. “Om serius nggak mau buka restoran aja?”
Alisnya sedikit berkerut. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Aku mengangkat bahu. “Soalnya Om pinter masak.”
Dia diam, menunggu aku melanjutkan.
“Daripada capek-capek jadi dosen, mending buka restoran aja, Om. Pasti lebih santai.”
Om Lino berhenti mengunyah, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Lebih santai bagaimana?” tanyanya. “Saya rasa membuka usaha seperti itu justru lebih banyak menyita waktu dan tenaga.”
Aku memiringkan kepala. “Kok gitu?”
“Memasak untuk orang banyak pasti merepotkan,” jawabnya ringan sebelum mengambil sumpitnya lagi.
“Iya, sih ....” Aku menopang dagu. “Tapi kayaknya lebih ribet jadi dosen nggak, sih?”
Om Lino tersenyum tipis. “Tidak juga.”
“Lho?”
“Semua pekerjaan itu sulit, Jihan. Tapi kalau kamu menyukainya, kamu tidak akan berpikir itu merepotkan.”
Aku mengerjap, memperhatikan ekspresinya yang tetap santai tapi penuh keyakinan.
“Bahkan mungkin saja menjalani pekerjaan yang sesuai dengan kemauan sendiri akan terasa menyenangkan,” lanjutnya. “Kamu akan merasakannya nanti. Kamu sangat ingin menjadi perawat, kan?”
Seketika aku sumringah. “Iya, ih!” sahutku semangat. “Tapi masih lama, sih ....”
Aku menghela napas, tapi tetap tersenyum. “Tapi nggak papa, sampai saat ini saya enjoy aja menikmati prosesnya.”
Om Lino tidak berkomentar, hanya tersenyum kecil lalu kembali fokus pada makanannya.
Sementara itu, aku malah masih memperhatikannya.
Duh … aku pengen ngajak ngobrol lagi, tapi nggak tahu harus bahas apa.
Tiba-tiba, Om Lino mengangkat wajah. “Kamu tidak suka makanannya?”
“H-hah?” Aku tersentak.
Dia menatapku heran. “Kenapa dari tadi kamu tidak makan juga?”
O-oh … iya, ya?
Astaga, sampai lupa aku.
Aku buru-buru meraih sendok dan mulai menyantap chicken katsu di piringku.
Mending makan aja sebelum Om Lino beneran ngira masakannya kali ini nggak enak.
“Besok ada kelas, Jihan?”
Aku yang sedang memainkan sendok di piring menoleh ke Om Lino. “Ada, sih. Tapi cuma satu mata kuliah.”
“Pagi?” tanyanya lagi.
“Iya. Jam delapan sampai jam sepuluh.”
Dia mengangguk pelan. “Siangnya ada kegiatan lain?”
Aku menggeleng. “Nggak ada. Kenapa, Om?”
Om Lino terdiam sejenak. Aku bisa melihat ekspresinya sedikit berubah, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Tapi, ujung-ujungnya dia cuma menggeleng. “Tidak apa-apa, saya hanya bertanya.”
Aku mengerutkan kening. “Dih? Om Lino nggak jelas, ih.”
Serius, deh. Dari cara dia tadi ragu-ragu buat nanya, terus malah mundur sendiri, aku curiga dia sebenernya mau ngajak aku jalan. Mungkin dia beneran mau bikin hubungan kami lebih normal. Maksudku, kayak pasangan lain gitu, mengenal satu sama lain lebih dalam.
Tapi kayaknya dia terlalu ragu. Jadi, nggak jadi deh ngajaknya.
Hmm … kalau gitu, kenapa aku nggak inisiatif aja? Om Lino ini kayaknya terlalu kaku buat ngajak duluan.
“Om,” panggilku, mencoba terdengar santai. “Besok siang mau jalan-jalan nggak?”
Om Lino menatapku, tampak terkejut. Aku tersenyum meyakinkan.
“Ke mana aja boleh.” Aku melanjutkan sebelum dia sempat menolak. “Om besok sibuk nggak?”
Dia menatapku beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Sepertinya tidak.”
Aku berseru kecil, merasa menang. “Nah, kalau gitu ayo kita jalan-jalan!”
Om Lino menghela napas, tapi aku menangkap sedikit lengkungan di sudut bibirnya. “Sekali-kali gitu, Om. Katanya mau jadi suami-istri beneran?” godaku, meniru nada seriusnya waktu itu.
Seperti yang kuduga, dia mendengus geli. Reaksinya persis seperti yang kuduga—setengah malas menanggapi, tapi tetap mendengarkan. Akhirnya, dia mengangguk.
“Baiklah, terserah kamu saja.”
Aku mengulum senyum. Jadi … besok kencan pertama aku sama Om Lino, nih?
Aku masih menikmati euforia kecil ini saat tiba-tiba sebuah ide iseng melintas di kepalaku. Aku menatapnya dengan tatapan penuh arti.
“Oh iya, Om ....” Aku menahan tawa, pura-pura terlihat serius. “Ngomong-ngomong tentang menjalani hubungan suami-istri beneran, bukannya kalau suami-istri itu harus tidur sekamar terus, ya?”
Aku melihatnya mengerjap lambat, lalu…
Kupingnya langsung memerah.
Aku menahan tawa lebih keras. Astaga, lucu banget.
.........
Aku tadi tuh cuma bercanda!
Tapi … malah dikabulkan Om Lino beneran!
Dia bilang mulai sekarang aku tidur di kamarnya!
Huhu… Bunda, maksud Jihan tuh nggak gini.
Padahal tadi sudah dibilang aku cuma bercanda, tapi Om masih aja nyuruh aku ke kamarnya!
Aku malu banget, sumpah!
Ya ampun, Jihan. Mancing-mancing sih. Pas dikabulkan malah ketar-ketir sendiri!
Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri kaku di depan kamar Om Lino sambil memeluk bantal dan guling seperti anak kecil ingin meminta tidur di kamar orang tuanya.
Aku mengintip ke dalam. Om Lino sibuk merapikan seprai, gerakannya tenang seperti biasa. Tapi justru itu yang bikin aku makin salah tingkah. Kenapa harus dirapikan dulu? Seakan mau ngapain aja.
Aku menelan ludah, ragu-ragu melangkah masuk.
“Om ...,” panggilku pelan, nyaris berbisik.
Om Lino menoleh. Tatapannya datar seperti biasa, tapi ada sedikit kerutan di dahinya. “Sudah?”
Aku mengerjap. “Sudah apa?”
“Membawa barang-barangmu?” tanyanya lagi, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Aku mengangkat bantal dan guling yang kupeluk erat. “Barang yang saya bawa cuma ini.”
Om Lino mengangguk kecil. “Baiklah. Besok-besok saja memindahkan barang-barang yang lain ke sini.”
Duh … jadi aku beneran bakal pindah ke kamar Om Lino? Termasuk lemari pakaianku juga? Haduh ....
Om Lino menatapku lagi. “Kenapa masih berdiri di sana, Jihan?”
Aku tersenyum kikuk lalu melangkah mendekati ranjang. Tanganku perlahan meletakkan bantal dan guling di sisi kiri tempat tidur. Saat aku mengangkat kepala, Om Lino masih berdiri di sisi ranjang satunya. Kami saling bertatapan beberapa detik, lalu buru-buru membuang muka ke arah lain.
“Saya … mau ke toilet dulu,” ujar Om Lino tiba-tiba.
Aku mengangguk cepat. “I-iya.”
Kenapa pakai izin segala sih?!
Begitu dia masuk ke toilet, aku langsung naik ke ranjang dan menarik selimut sampai menutupi tubuhku.
Padahal ini bukan pertama kalinya aku sekamar dengan Om Lino, tapi tetap saja jantungku berdebar tidak karuan. Rasanya seperti mau meledak!
Beberapa menit kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Aku pura-pura diam, membelakangi sisi tempat tidur yang dia tempati.
Ranjang berderit pelan saat dia ikut berbaring di sampingku. Jarak kami terasa begitu dekat, tapi aku tetap bersembunyi di dalam selimut. Bahkan tanpa sadar menahan napas saking gugupnya.
Om Lino tiba-tiba membuka suara, “Kamu memangnya tidak kesulitan bernapas memakai selimut sampai kepala begitu?”
MALAH DIAJAK NGOMONG!
Makin grogi nih aku jadinya!
Tapi … benar juga sih kata Om Lino. Jangan-jangan aku ngerasa sesak gara-gara terlalu lama ngumpet di balik selimut. Pelan-pelan aku menurunkannya sampai batas leher. Sekarang hanya kepalaku yang terlihat.
Om Lino menoleh sedikit ke arahku. “Kamu merasa tidak nyaman, Jihan? Mau saya pindah ke—”
“Nggak!” sahutku cepat. “Nyaman kok, nyaman!”
Refleks aku membalikkan badan, sekarang wajah kami saling berhadapan.
Aku menggigit bibir sebelum akhirnya berucap pelan, “Saya cuma gugup aja, Om. Deg-degan, grogi, ketar-ketir. Makanya jadi begini.”
Om Lino mendengus kecil, terdengar geli. “Lalu? Tidak bisa tidur lagi?”
Aku menghela napas. “Iya ....”
Dia menatapku sekilas sebelum bertanya, “Mau bercerita sebelum tidur seperti waktu itu?”
“Umm … boleh.”
Aku berbaring miring menghadapnya, begitu pun dia yang ikut memiringkan tubuhnya. Sekarang kami saling menatap, menunggu siapa yang akan mulai bicara lebih dulu.
Satu menit berlalu. Hening. Kami hanya diam, masih saling menatap tanpa ada yang membuka mulut.
Keningku mengerut. “Om cerita pakai bahasa kalbu, ya?” tanyaku akhirnya.
Om Lino menyesap napas ringan. “Saya dari tadi menunggu kamu bicara.”
Aku mendesis. “Hadeh … Om nggak mau cerita gitu?”
“Sudah saya bilang, tidak ada yang menarik dari hidup saya.”
Aku memutar bola mata. “Ya sudah kalau gitu, Om tanyain sesuatu ke saya. Biar saya nggak bingung harus ngomong apa.”
Om Lino terdiam beberapa detik, seolah mempertimbangkan. Kemudian dia bertanya, “Kamu tadi kenapa?”
Aku mengerjap. “Maksudnya?”
“Kamu menangis sambil marah-marah tadi, benar-benar karena sedih tidak bisa menjawab pertanyaan saya di kelas?”
Aku mendengus pelan. “Nggak sepenuhnya karena itu, sih.”
Om Lino menunggu, ekspresinya tetap datar, tapi matanya memperhatikanku dengan saksama.
Aku menggigit bibir, ragu-ragu sebelum akhirnya mengakui, “Saya sebenarnya juga kesal karena hal lain.”
“Apa?”
“Ya habis ....” Aku menggigit bibir lagi.
Duh, bilang nggak ya?
Ah, bilang aja kali ya. Lagian aku ‘kan juga sudah jujur kalau suka sama dia.
Aku menarik napas dalam. “Saya tuh cemburu sama Yara ....”
Om Lino mengangkat alis. “Karena kamu merasa dia lebih pintar dari kamu di mata kuliah bahasa Indonesia?”
Aku mengembuskan napas kasar. “Aish, bukan, Ooom!”
Om Lino masih menatapku dengan ekspresi tak terbaca. “Sebenarnya bukan itu alasan yang bikin saya uring-uringan tadi.”
“Lalu?”
Aku menatapnya lekat. “Saya cemburu sama Yara, tapi bukan karena dia lebih pintar dari saya.”
Om Lino diam, menunggu kelanjutannya.
Aku menelan ludah. “Itu karena Om.”
Om Lino tampak sedikit terkejut. “Saya?”
“Iya!” Aku mengangguk mantap, lalu merajuk, “Ih, saya ‘kan sudah bilang suka sama Om Lino. Jadi wajar dong kalau saya cemburu lihat Om puji-puji cewek lain?”
Om Lino seketika terdiam. Dia masih menatapku, tapi tak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Jantungku berdebar makin kencang. Aku menunggu reaksinya, tapi dia hanya tetap diam.