Siapa sangka niatnya merantau ke kota besar akan membuatnya bertemu dengan tunangan saudara kembarnya sendiri.
Dalam pandangan Adam, Emilia yang berdiri mematung seolah sedang merentangkan tangan memintanya untuk segera memeluknya.
"Aku datang untukmu, Adam."
Begitulah pendengaran Adam di saat Emilia berkata, "Tuan, apa Tuan baik-baik saja?".
Adam segera berdiri lalu mendekat ke arah Emilia. Bukan hanya berdiri bahkan ia sekarang malah memeluk Emilia dengan erat seolah melepas rasa rindu yang sangat menyiksanya.
Lalu bagaimana reaksi tunangan kembaran nya itu saat tau yang ia peluk adalah Emilia?
Bagaimana pula reaksi Emilia diperlakukan seperti itu oleh pria asing yang baru ia temui?
Ikuti terus kisah nya dalam novel "My Name is Emilia".
***
Hai semua 🤗
ini karya pertamaku di NT, dukung aku dengan baca terus kisah nya ya.
Thank you 🤗
ig : @tulisan.jiwaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hary As Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pulang ke Apartemen
Besoknya Adam benar-benar membawa Emilia pulang ke apartemen nya. Tentunya setelah melakukan perdebatan panjang sampai Ian pun lelah mendengarnya. Yang satu sukanya mengatur, yang satu tak mau diatur-atur. Ian yang menjadi penengah kewalahan menghadapi mereka berdua.
Sesampainya di apartemen Emilia dibuat takjub melihat apartemen Adam yang sangat luas dengan perabotan yang serba mewah. Mimpi apa dia bisa tinggal di apartemen semewah itu. Nuansa putih mendominasi setiap sudut ruangan. Kebetulan sekali warna kesukaannya adalah warna putih. Tak heran baju-baju nya hampir semua berwarna putih.
“Wahhh, besar sekali apartemen ini.” Kata Emilia sambil memandang takjub di sekelilingnya.
“Kau suka?” tanya Adam.
Emilia pun mengangguk.
“Baguslah kalau kau suka. Kau akan tinggal disini sekarang.” Kata Adam lagi.
“Iya, tapi hanya sementara. Ingat ya, kau tadi sudah janji aku boleh kembali ke kontrakan ku kalau jahitan ku sudah sembuh.” Kata Emilia
“Katanya kau suka, kenapa tidak seterusnya tinggal disini saja?”
“Tidak. Aku tidak mau. Kita kan bukan saudara. Bahkan kita baru saja kenal. Aku tidak mau lama-lama tinggal satu atap denganmu.”
“Siapa bilang aku tinggal disini?”
“Haaah?”
Emilia menggigit bibirnya. Dia pikir Adam juga tinggal disitu bersamanya. Lalu Adam tinggal dimana lagi kalau bukan di apartemen itu, pikirnya.
“Rupanya kau mau tinggal denganku ya?” goda Adam.
“Aku? Tidak. Tidak kok. Aku pikir ini tempat tinggal mu. Memangnya kau tinggal dimana kalau bukan disini?” tanya Emilia menutupi rasa malunya.
“Aku tinggal di rumah bersama ibu ku. Aku biasa menginap disini kalau lagi ada banyak pekerjaan. Atau kalau aku lagi ingin menyendiri.” Jawab Adam.
“Oh begitu. Aku bahkan tidak tau kau masih punya ibu. Tapi beberapa hari ini kau menemaniku di rumah sakit. Apa ibumu tidak mencarimu?”
“Ayah ku sudah lama meninggal. Aku hanya punya ibu sekarang. Aku sudah bilang padanya aku ada urusan jadi tidak pulang ke rumah.”
“Sepertinya kau anak yang baik, sangat berbakti sama ibumu.”
“Iya, kau saja yang menganggapku jahat.”
“Tidak. Aku tidak bilang begitu.”
“Ekhem, maaf Tuan, Nona, kamar kalian sudah siap. Barang-barang juga sudah ada di kamar.” Kata Ian yang baru datang dari kamar setelah memasukkan barang-barang mereka.
“Kamar kalian?” tanya Emilia keheranan. Bukannya tadi Adam bilang dia tidak tinggal disana?
“Aku akan menginap dua atau tiga hari disini, sambil menunggu pelayan yang akan menemanimu datang kesini. Kau jangan takut, kita beda kamar.” Jawab Adam seolah dapat membaca pikiran Emilia.
“Tapi kalau malam-malam saat aku tidur kau masuk ke kamarku bagaimana? Kenapa kau tidak pulang saja ke rumah mu?”
“Padahal aku tidak berpikir seperti itu. Tapi karna kau sudah kasih ide begitu, ku rasa aku akan melakukannya.”
“Hey, jangan begitu! Aku akan memukulmu kalau kau berani macam-macam padaku.”
Adam berjalan mendekati Emilia yang sedang berkacak pinggang. Lalu jari telunjuk nya mendorong kening Emilia.
“Makanya jangan berpikir yang bukan-bukan. Lagipula kau itu masih sakit. Yang harus kau pikirkan itu kesembuhanmu.” Kata Adam
Belum sempat Emilia menjawab, Adam sudah berbicara lagi, “Sudah, ayo aku antar ke kamarmu. Kau harus banyak istirahat, bukan banyak bicara.”
Ian hanya tersenyum melihat Adam dan Emilia. Sepertinya keputusanku untuk memanggil Nona Emilia waktu itu tidak salah. Semoga saja dengan begini Tuan Adam bisa melupakan Nona Emelda dan membuka hatinya untuk Nona Emilia, batin Ian.
Adam membawa Emilia ke kamar tamu. Kamar yang cukup luas dengan kamar mandi di dalamnya. Tempat tidurnya cukup luas untuk tidur sendiri. Ada lemari pakaian dan juga sofa di dalam nya.
Lagi-lagi Emilia dibuat takjub dengan kamar yang menurutnya sangat mewah untuk dirinya. Bahkan kamar di rumahnya yang dulu saja tidak sebesar ini. Ini seperti kamar hotel saja pikirnya.
Emilia duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya terlihat mengusap-usap tempat tidur yang besar itu. Sprei nya terasa lembut sekali di kulit. Bisa-bisa tiap hari dia akan bangun kesiangan tidur di tempat seperti ini.
“Istirahat lah dulu. Kau pasti sangat lelah sekali. Lagipula kau butuh banyak istirahat biar cepat sembuh.” Kata Adam yang berdiri di depan Emilia.
“Aku tidak lelah. Di rumah sakit aku hanya tiduran saja kan.” Bantah Emilia.
“Kau ini, sekali saja tidak membantah bisa kan? Kau harus banyak istirahat.” Kata Adam mulai kesal.
“Iya, aku minta maaf. Tapi bolehkah aku jalan-jalan melihat apartemenmu ini? Aku sangat penasaran.” Pinta Emilia dengan wajah imut nya.
Adam menunduk mendekatkan wajah nya ke arah Emilia. Emilia mendadak membeku dan merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
“Aku bahkan akan mengajak mu jalan-jalan kemanapun kau mau, tapi pastikan kau harus sembuh dulu.” Kata Adam sambil menatap kedua bola mata Emilia.
“Itu...aku...”
“Atau jangan-jangan kau sengaja tidak mau sembuh supaya aku menjaga mu terus? Begitu?” potong Adam.
“Bukan. Bukan begitu. Baiklah aku mau tidur dulu sekarang. Aku sedikit mengantuk.” Kata Emilia sambil berpura-pura menguap, padahal dalam hati dia sangat salah tingkah bicara dengan jarak dekat seperti itu pada Adam.
Adam tersenyum lalu menjauhkan wajahnya. Dia tau Emilia pasti sedang salah tingkah.
“Ya sudah, istirahatlah. Aku akan istirahat juga di kamar sebelah. Kalau butuh apa-apa, panggil aku saja.” Kata Adam.
“Iya, baiklah.” Sahut Emilia.
Emilia naik ke tempat tidur lalu menarik selimut yang sudah tersedia disana. Adam melangkahkan kaki nya hendak keluar kamar. Baru saja Adam hendak menutup pintu kamar tiba-tiba Emilia kembali memanggilnya.
“Adam.” Panggil Emilia.
“Ada apa?” tanya Adam yang kembali membuka pintu sedikit, memberi celah untuk kepalanya menengok ke arah Emilia.
“Terimakasih.” Ucap Emilia sembari melempar senyuman manisnya. Entahlah rasanya hanya itu saja yang mampu ia ucapkan saat ini ke Adam.
Adam tidak menjawab apa-apa. Ia hanya membalas senyuman Emilia. Senyuman yang mampu membuat hati Emilia bergetar.
Adam pun menutup pintu dengan perlahan. Lalu ia bersandar di balik pintu. Ia kembali tersenyum sambil menyentuh dadanya dengan tangannya. Rasanya ada yang bergetar juga di hatinya.
“Tuan.” Panggil Ian membuyarkan lamunan Adam.
Huft, dia lagi, dia lagi. Kenapa dia selalu datang di saat begini, sih? Adam menggerutu dalam hati.
“Ada apa lagi?” tanya Adam yang menatap Ian dengan malas.
“Maaf Tuan, saya sudah menemukan pelayan yang bisa menemani Nona Emilia selama disini.”
Adam segera menarik Ian agar menjauh dari kamar Emilia. Dia tak mau Emilia mendengar pembicaraan mereka.
“Pelan-pelan bicaranya, jangan sampai Emilia dengar.”
“Oh maaf Tuan. Jadi bagaimana? Apakah disuruh bekerja hari ini?”
“Jangan. Suruh dia datang 2 hari lagi. Kalau tidak, Emilia tidak akan mengijinkanku menginap disini.”
“Baik, Tuan. Jadi, apa Tuan sudah...”
“Sudah jangan banyak tanya kalau masih mau kerja denganku.” Adam menyela dengan cepat.
“Baik, Tuan.” Sahut Ian dengan terkekeh pelan.
Sepertinya tebakan ku benar, batin Ian.
nana naannananaa