NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ayo Kembali!

Pagi ini, sebelum menuju gedung, aku menyempatkan diri bertamu ke rumah Mama dan Rindu. Membawa rangkaian bunga yang semalam ku beli. Berharap nyeri di hati ini segera menghilang. Aku mempersiapkan hati untuk hal ini. Benar kata Piga, ternyata aku tak baik-baik saja. Aku menepis bayangan Mas Dwi, dan fokus pada dua orang yang telah beristirahat damai dibawah gundukan tanah ini. Usai berdoa, aku kembali merasa sedikit kosong.

"Kamu tahu, Rin? Rasanya ternyata sakit. Padahal dulu aku selalu berteriak akan baik-baik saja bila waktu itu datang. Pada akhirnya, ketika semua terjadi, mengapa terasa sakit? Kamu yang selalu mengatakan agar aku menyelam lebih dalam lagi, jauh ke dasar hati. Aku rindu kamu, dek. Bahagia banget ya disana? Sampe menghampiriku lewat mimpi pun, kamu enggan."

"Hai, Ma... Apa kabar? Aya disini baik, tapi kayanya yang ga baik tuh hati Aya, Ma. Mama ingat Mas Uwik? Sepertinya ingin Mama buat bikin dia jadi jodoh Aya bakal sirna. Dia udah ketemu orang lain yang bikin di bahagia. Ga kaya Aya, cuma bisa norehin luka. Aya terlambat, Ma. Tapi ga masalah, perlahan Aya pasti bisa meninggalkan masa lalu, seperti semestinya. Oiya, Ma, ntar siang Aya udah balik rantau, Aya bakal tetep doain mama kok dari sini, sama Rindu juga. Aya pergi dulu ya, hari ini Byan nikah lho, Ma. Anak cengeng itu akhirnya menikah."

"Assalamualaikum yaa ahlil kubur ...."

Aku beranjak keluar dari area pemakaman umum. Melajukan motor menuju gedung dengan debaran yang membuat nyeri ulu hati. Aku bertekad, jika nanti kami harus berbicara, akan ku hadapi. Bagaimanapun, aku memang harus meminta maaf. Lima belas menit kemudian, aku telah berada di halaman gedung, memindai lokasi acara. Aku bertemu Gellen dan Eddy.

"Ngapa disini? Udah macem anak ilang bae. Kamu lagi marahan sama Byan? Biasanya kalian bertiga ga pernah terpisah." Eddy menatapku tajam.

"Mau kasi surprise, dah jan bawel!" sergahku.

"Ikan kali bawel."

"Itu bawal ya, BAWAL!"

"Dih ngegas, gih sana kalo mau ngegas ke sirkuit mandalika aja, free."

"Ribut mulu ni tutup panci dua! Yoklah masuk, lo mau sumbang suara?" tawar Gellen.

"Boleh, tapi liat sikon dulu ya, dahlah yuk masuk. Oiya, aku nitip ransel yak!" pintaku, Gellen mengambil alih ransel yang ku titipkan.

Kami berpisah di pintu masuk, mereka berdua menuju sayap kiri, arah stage yang akan menjadi wilayah mereka hari ini. Sedang aku duduk di bangku yang telah disediakan. Ku bidikkan kameraku menuju pelaminan, ah, disana ada Wulan, ada apa dengannya? matanya tampak sembab, pun Byan dan Rahma. Mungkin terbawa suasana haru menjelang akad. Aku mengambil banyak foto pada prosesi ini. Sungguh, aku rindu mereka.

Aku semakin merapatkan masker yang ku kenakan kala melihat gerombolan limas dan pasangan mereka datang. Beruntung, aku mengenakan pakaian dengan warna yang sama dengan seragam keluarga, jadi tak akan ada yang menyadarinya. Belum saatnya aku muncul, nanti saja jika Byan dan Rahma kembali di pelaminan . Acara yang cukup meriah, mengingat Byan dan Papa Benny adalah seorang angkatan bersenjata.

Dua puluh menit kemudian, kedua mempelai sudah kembali ke pelaminan. Acara selanjutnya adalah acara yang biasanya terdapat pada acara pernikahan anggota militer, pedang pora. Aku masih awas dengan lima orang lelaki yang tampak memindai keramaian, seperti mencari sesuatu, atau seseorang? Tak lama, tampak Wena datang dari tengah keramaian dan menghampiri mereka. Ah, ternyata mereka sedang menunggunya. Sempat terpikir, mungkin mereka tengah mencariku. Lantas, mengapa kecewa? Bukankah ini yang aku inginkan? Menghilang tanpa jejak, tak terdeteksi, biarkan semua melupakanku dengan perlahan tapi pasti.

Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku, 12.32. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Aku menghampiri Byan dan Rahma di pelaminan setelah menitipkan kamera di belakang panggung musik.

"Hai sayang-sayangku. Akhirnya, kalian dipersatukan dalam ikatan suci. Langgeng sampe maut memisahkan ya! Kalian harus saling menjaga, saling mengingatkan, semoga rumah tangga kalian selalu di rahmati Allah ya, By, Ma. Jangan heboh, gue ga mau pesta kalian jadi berantakan, cukup kalian yang tau gue dateng kemari. Ntar gue telpon ya, dibelakang masih antre." Gegas ku tinggalkan pelaminan, dapat ku lihat Byan melotot padaku, seakan berkata tunggu. Aku melambaikan tangan dan bersiap pergi, namun lenganku di tarik Eddy.

"Di tungguin dari tadi juga, buru ke panggung! Kalo ga mau, ku sita itu kamera!" ancamnya. Ku lihat pergelangan tanganku lagi, mengecek waktu.

"Oke, satu lagu aja, aku buru-buru ini, takut ketinggalan pesawat."

"Lagakmu, emang mau kemana?"

"Besok aku ada jam ngajar, bebek! Udah ah, ayo cepet!"

Sesampai di panggung, aku berbisik pada MC tentang judul lagu yang akan ku bawakan, Kak Ilda selaku MC mengernyit,

"Kamu mah aneh, temen nikah bukannya lagu yang bikin semangat, malah mellow."

"Udah sih, nurut aja. Bikin narasi apa kek, aku harus balik cepet ini!"

"Buru-buru bener, belum juga di samper itu anak lima, aku panggilin Ryan, mau? Duet sekalian," tawarnya. Ia memang mengenal lima sekawan, mereka satu angkatan semasa SMA, bahkan satu kelas dengan Ian.

"Ih, Kak Ilda nih, gausah!"

"Roman-roman lagi berantem ini. Okelah, gih."

Aku menghampiri Gellen dan team, membisikkan judul lagu. Mengabaikan muka heran mereka, aku memangku gitar. Berharap tak terjadi keributan setelah ini. Perlahan jariku mulai bermain diatas senar gitar.

"Kita pernah sangat dekat, layaknya sepasang kekasih

Selalu bersama, menghabiskan waktu pun slalu berdua

Hingga datang saat,

Kita layaknya orang asing yang tak saling mengenal

Hingga akhirnya, perlahan saling melupakan "

Mataku masih awas untuk melihat kemungkinan yang terjadi. Penampilanku boleh berubah, namun untuk suara, orang terdekatku pasti mengenali.

"Kita pernah mendengarkan, dan menyanyikan lagu yang sama

Bercanda dan bercerita

Tertawa karena hal yang tak berguna

Hingga datang saat,

Kita layaknya orang asing yang tak saling mengenal

Hingga akhirnya, perlahan saling melupakan"

Benar saja, mataku bertemu pandang dengan lelaki itu, lelaki yang ku rindukan, namun tak kuasa ku hampiri. Aku tersenyum dan mengangguk padanya, dapat ku lihat ia mematung. Entah apa yang di rasakannya, kini, tak ada lagi kita.

"Bahagialah tanpa aku

Bahagialah dengan pilihanmu

Kisah ini, hanya pantas untuk di kenang

Bahagialah tanpa aku

Bahagialah dan lupakan aku

Kisah ini, hanya pantas untuk di kenang"

Kali ini dapat ku lihat Wulan berlari dari tempat duduknya, ku tebak ia akan menghadangku di belakang panggung ini. Namun lelaki itu masih mematung, disana, ditempat yang sama, hingga aku menyelesaikan laguku. Aku mengucapkan terima kasih, dan menyambar kamera dan ransel yang tadi ku titip.

"Aku balik dulu, gaes. Thanks yak. Kapan-kapan kita sambung lagi. Aku beneran buru-buru nih." Aku melambai pada mereka, membiarkan mereka menyelesaikan lagu yang memang milik Gellen itu.

Seperti tebakanku, Wulan. Dia disana, dengan tangis yang selalu membuatku lemah. Aku memeluk tubuhnya yang terlihat sedikit berisi.

"Apa kabar?"

"Kamu kemana aja? Kenapa ngilang gitu aja? Aku sama Byan nyariin kamu kemana-mana. Aku minta maaf kalo ternyata selama ini ngerahasiain apa yang terjadi beberapa tahun lalu bikin kamu sakit. Kamu ga salah, Ra, kamu ga perlu minta maaf. Aku sama Bang Ojik yang harusnya minta maaf sama kamu. Oiya, Ra, kamu udah mau jadi aunty," ujarnya sembari mengelus perutnya yang datar. Aku terbelalak senang, akhirnya setelah penantian selama tiga tahun, mereka di beri amanah juga.

"Oya? Selamat sayangku. Udah, ga ada yang salah kok, Lan. Aku aja yang terlalu sensitif. Eh, tapi maaf nih, aku lagi buru-buru banget. Takut telat, ntar ku telpon ya?"

"Kamu mau kemana? Harusnya kamu temuin yang lain dulu, mereka nyariin kamu kemana-mana. Minimal, ketemu Byan."

"Aku tadi udah ketemu Byan, aku beneran ga ada waktu, Lan. Ntar lewat telpon aja ya?"

"Emang kamu udah ambil ponselmu di Bang Dwi?" tanyanya.

"Eh, belom sih, ntar lah gampang. Aku hafal nomer kamu kok. Dah yaa, jangan banyak fikiran, jangan sampe stres! Jagain ponakanku, Assalamualaikum!"

Aku berlari menuju motorku yang terparkir di dekat pintu masuk. Berdoa semoga tak terlambat sampai bandara. Beruntung, ransel berisi barang bawaanku sudah berada di punggungku. Berkendara dengan cepat ditengah gerimis memang butuh fokus yang tinggi. Cuaca di bulan februari ini memang seperti ini, sebentar panas, sebentar hujan. Apalagi hari ini adalah acara puncak Bau Nyale, Festival Budaya suku sasak yang berpusat di Lombok Tengah.

Bau dalam bahasa sasak berarti tangkap, sedang Nyale adalah sejenis cacing laut beraneka warna. Acara ini berasal dari cerita rakyat tentang pengorbanan Putri Mandalika terhadap rakyat. Sang putri menceburkan diri ke laut agar tak terjadi perang karena dirinya. Tubuh putri di percaya menjelma menjadi cacing nyale. Acara ini sendiri merupakan agenda tahunan di Lombok, khususnya Lombok Tengah. Antusiasme wisatawan mancanegara pun tak kalah dengan wisatawan domestik.

Siang ini jalanan ramai lancar. Setelah memarkirkan motor di tempatnya, segera ku simpan kartu parkir beserta kelengkapan lain pada jok motor, setelah itu menuju counter check in. Sesampai di ruang tunggu, waktu menunjukkan pukul 14.16, sedang penerbanganku pukul 14.20, nyaris. Benar kata Tika kemarin, waktunya ga cukup, terlalu mepet kalau mau bertemu dengan mereka semua. Terlalu banyak yang harus di urai dan di selesaikan, besok akan ku cari waktu luang, atau tunggu kontrakku berakhir. Aku menggantikan Teh Rina selagi beliau cuti melahirkan selama tiga bulan.

Panggilan untuk segera memasuki pesawat telah terdengar, aku dan para penumpang lainnya mulai berbaris, antri untuk akhirnya duduk sesuai nomor seat. Aku memandang sayap pesawat yang tengah bersiap terbang dengan pikiran yang bercabang. Tatapan Byan, tangisan Wulan, pandangan kosong lelaki yang dulu selalu menemani hariku. Mendoakan adalah caraku mendekap mereka ketika raga tak dapat merengkuh. Berharap mereka selalu dalam lindunganNya, selalu baik-baik saja. Setelah semua membaik, ayo kembali. Kembali seperti semula, kembali menjadi teman dan adik yang baik.

...___...

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!