NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:886
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 3: Rahasia di Balik Sambal Ulek

​"Berapa semuanya?" suara pria penagih utang itu menggelegar di ruang tamu yang pengap, membuat gelas-gelas kaca di rak bergetar.

​Maya berdiri di depan ibunya, menatap pria berjaket kulit hitam itu tanpa kedip. "Sepuluh juta untuk tunggakan bunga? Mas nggak salah hitung?"

​"Gak usah panggil Mas, panggil Bang Jago saja. Hitungannya sudah pas dari kantor. Kamu kalau nggak bisa bayar, mending minggir. Saya mau tempel stiker sita sekarang," pria itu sudah mengeluarkan gulungan kertas segel.

​"Bang Jago, dengerin saya. Saya baru sampai hari ini. Berikan waktu tiga hari. Saya jamin uang bunga itu lunas," suara Maya tenang, tapi tangannya mengepal di balik punggung.

​"Tiga hari? Halah, gaya manajer kota tapi dompet kosong! Saya nggak percaya!"

​"Nama saya Maya. Saya bukan cuma manajer, saya pemilik warung ini sekarang. Kalau Abang sita sekarang, Abang nggak dapet apa-apa selain bangunan tua. Tapi kalau tunggu tiga hari, uang Abang kembali utuh. Pilih mana?" Maya maju satu langkah, menatap mata pria itu dengan keberanian yang nekat.

​Pria itu terdiam sejenak, melihat ketegasan di mata Maya, lalu meludahi lantai. "Oke. Tiga hari. Kalau lewat satu jam saja, saya angkut semua barang di sini. Paham?"

​Setelah pria itu pergi dengan raungan motornya yang bising, Ibu langsung merosot ke kursi. "Maya... uang dari mana, Nak? Ibu benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi. Penipu itu membawa semua tabungan kita."

​Maya berlutut di depan ibunya, menggenggam tangan yang mulai kasar itu. "Ibu jangan tanya uang dari mana dulu. Sekarang, Ibu istirahat. Biar Maya yang bersihkan tempat ini. Warung ini tidak boleh terlihat seperti gudang hantu kalau mau ada pembeli."

​"Tapi Maya, kamu kan capek baru datang..."

​"Sstt... sudah, Ibu masuk kamar. Ini perintah manajer," canda Maya pahit, mencoba menghibur.

​Begitu ibunya masuk kamar, Maya langsung mengambil kemoceng, sapu, dan kain pel. Dia melepas kemejanya, menyisakan kaos oblong putih, lalu mencepol rambutnya tinggi-tinggi. Dia menyapu debu yang sudah setebal satu sentimeter di kolong meja makan. Dia mengelap kaca etalase yang buram sampai tangannya pegal. Sambil menyapu, dia melihat-lihat kondisi dapur. Benar-benar hancur. Banyak bahan makanan yang busuk karena tidak disimpan dengan benar.

​"Kacau. Benar-benar kacau," gumam Maya sambil membuang sekarung bawang merah yang sudah bertunas dan busuk.

​Perutnya keroncongan. Dia melihat ke meja kayu. Hanya ada nasi sisa tadi siang, dua butir telur, dan beberapa bumbu dasar di cobek. Maya mengambil ulekan batu yang berat. Dia memasukkan bawang merah, bawang putih, cabai rawit yang mulai layu, dan sedikit terasi.

​Tuk! Tuk! Tuk!

​Bunyi ulekan beradu dengan cobek batu memenuhi keheningan malam. Maya mengulek bumbu itu dengan emosi. Setiap tekanannya seolah menghancurkan wajah Adit dan Siska yang sudah mengkhianatinya. Sambal itu mulai mengeluarkan aroma pedas yang menyengat, bercampur gurihnya terasi bakar.

​Dia menyalakan kompor. Wajan panas dia beri sedikit minyak baru—satu-satunya botol yang masih tersegel. Begitu bumbu ulek itu masuk ke wajan, suara cesss! terdengar nyaring. Aroma bawang yang tertumis sempurna langsung memenuhi seluruh ruangan. Wanginya meresap sampai ke sela-sela kayu bangunan tua itu.

​"Harum sekali, Maya..." suara Ibu terdengar dari pintu dapur. Beliau terbangun karena aroma masakan yang begitu kuat.

​"Cuma nasi goreng, Bu. Tapi pakai bumbu rahasia Bapak," jawab Maya sambil mengayunkan wajan. Dia memasukkan nasi, lalu menambahkan kecap manis merek Bungong Desa dan sedikit lada putih.

​Teknik Maya memutar wajan sangat profesional, persis seperti koki restoran bintang lima. Nasi itu menari-nari di atas api besar, setiap butirnya terlapisi bumbu dengan rata. Aroma karamel dari kecap yang terkena panas wajan membuat siapa pun yang menciumnya pasti menelan ludah.

​Maya menyajikannya di dua piring kecil, dihias dengan irisan timun terakhir yang masih segar. "Ayo makan, Bu."

​Ibu menyuap satu sendok kecil. Begitu nasi itu masuk ke mulutnya, gerakan tangan Ibu terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca.

​"Ibu kenapa? Rasanya aneh?" tanya Maya panik.

​Ibu menggeleng pelan sambil menyeka air mata yang tumpah. "Nggak, Nak. Ini... ini persis rasa masakan almarhum bapakmu. Dulu, bapakmu selalu bilang, rahasia sambal ulek itu bukan di bumbunya, tapi di perasaan orang yang menguleknya. Ibu nggak nyangka kamu masih ingat caranya."

​"Maya nggak pernah lupa, Bu. Masakan adalah satu-satunya hal yang nggak bisa dicuri orang dari kita," Maya tersenyum, meski hatinya terasa nyeri.

​Mereka makan dalam diam, menikmati kehangatan nasi goreng di tengah ketidakpastian nasib rumah mereka. Di luar, suara jangkrik bersahutan dengan suara angin yang kencang.

​Tiba-tiba, suara derit rem mobil yang sangat tajam terdengar dari arah jalan raya depan warung. Ciiiiiitttt! Diikuti suara mesin yang terbatuk-batuk lalu mati total tepat di depan pintu masuk.

​"Aduh, ada kecelakaan ya?" Ibu kaget dan hampir menjatuhkan piringnya.

​Maya berdiri, berjalan menuju pintu depan yang terbuka separuh. Cahaya lampu dari sebuah mobil hitam mewah—mereknya terlihat seperti Luxus edisi terbaru—menyilaukan mata. Asap tipis keluar dari kap mesin mobil itu.

​Seorang pria keluar dari pintu kemudi. Dia memakai setelan jas mahal yang sedikit berantakan, dasinya sudah ditarik lepas, dan kemejanya digulung sampai siku. Pria itu tampak sangat frustasi, dia memukul kap mobilnya sekali sebelum menoleh ke arah warung.

​Langkahnya tegap menuju teras warung Maya. Begitu dia masuk ke area cahaya lampu warung, Maya bisa melihat wajahnya dengan jelas. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan auranya sangat berkelas, sangat kontras dengan warung kayu yang nyaris roboh itu.

​Pria itu mengendus udara, hidungnya kembang kempis menghirup sisa aroma nasi goreng buatan Maya yang masih tertinggal di udara.

​"Malam," suara pria itu berat dan terdengar lelah.

​Maya terpaku sejenak, memegang serbet di tangannya. "Malam. Mobilnya mogok, ya?"

​Pria itu tidak langsung menjawab soal mobil. Matanya malah tertuju pada piring nasi goreng yang masih ada di atas meja makan. Perutnya tiba-tiba mengeluarkan suara keroncongan yang cukup keras, membuat suasana jadi canggung.

​Pria itu berdehem, mencoba menjaga martabatnya. "Iya, mesinnya sepertinya kepanasan. Saya sudah telepon montir tapi baru bisa datang satu jam lagi."

​Dia diam sebentar, lalu menatap Maya dengan tatapan memohon yang tidak sinkron dengan jas mahalnya. "Maaf, apa warung ini masih buka? Apa masih ada sisa makanan? Saya sudah menyetir lima jam dan lapar sekali."

​Maya menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Sebenarnya kami sudah tutup, tapi..."

​"Tolonglah. Saya bayar berapapun. Aroma sambal dari dapur ini benar-benar membuat saya tidak bisa berpikir jernih," potong pria itu, suaranya terdengar sangat tulus dan kelaparan.

​Maya menoleh ke ibunya, lalu kembali ke pria asing itu. "Namanya siapa?"

​Pria itu tertegun sejenak, seolah tidak terbiasa ditanya namanya oleh orang asing di pinggir jalan. "Arlan. Nama saya Arlan."

​"Oke, Arlan. Silakan duduk. Saya buatkan sesuatu yang lebih baik dari sekadar nasi goreng sisa," kata Maya sambil berjalan kembali ke dapur.

​Arlan menarik kursi kayu yang tadi baru saja dilap bersih oleh Maya. Dia duduk di sana, menatap punggung Maya yang mulai sibuk lagi di balik tungku. Dia tidak tahu bahwa malam ini, rasa masakan perempuan itu akan mengubah hidupnya—dan hidup Maya—selamanya.

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!