Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Doa itu menembus ke dalam dada Farhan dan membuatnya terdiam. Ia tidak bisa tidur ataupun memejamkan kedua matanya setelah mendengar semua doa yang Kinara panjatkan untuknya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ia merasa bimbang dan merasakan sesuatu yang belum pernah ia izinkan masuk kembali ke dalam hatinya yaitu keraguan atas kebenciannya sendiri.
Setelah selesai berdoa, Kinara tetap duduk beberapa saat di atas sajadahnya. Tangannya masih terangkat, jemarinya sedikit gemetar, seolah masih ada kata-kata yang ingin ia sampaikan pada Tuhan namun tak tahu harus dimulai dari mana. Dadanya terasa penuh, bukan oleh luka, tapi oleh harapan yang terlalu besar untuk ia simpan sendiri.
Pelan-pelan ia mengusap wajahnya, lalu merapikan sajadah dan mukenanya dengan hati-hati. Ia melipatnya rapi dan meletakkannya di dalam lemari seperti semula. Gerakannya pelan dan hampir tanpa suara, seolah ia takut mengusik ketenangan seseorang
Kinara menoleh ke arah ranjang.
Farhan suaminya masih dalam posisi yang sama. Membelakanginya. Tubuhnya sedikit membungkuk, punggungnya menghadap Kinara seakan itu satu-satunya cara ia bisa bertahan dari dunia. Selimut menutupi setengah tubuhnya, sementara napasnya terdengar berat.
Kinara menarik napas pelan.
Ia berjalan mendekat, lalu naik ke atas ranjang dengan hati-hati. Kasur itu sedikit bergoyang, tapi Farhan tidak bergerak. Kinara berbaring di sisi lain ranjang, menjaga jarak secukupnya. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak sejauh orang asing. Punggung mereka saling membelakangi, dua orang yang terikat oleh akad, tapi masih belajar bagaimana caranya berbagi luka.
Kinara menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar yang temaram. Cahaya lampu tidur membuat bayangannya bergerak lembut di dinding. Ia bisa mendengar napas Farhan, bisa merasakan kehadirannya, dan itu cukup membuat dadanya terasa hangat sekaligus sesak.
Ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.
Malam semakin larut.
Di luar, suara angin berdesir pelan dan menyapu dedaunan yang dilewatinya. Jam dinding berdetak perlahan, mengisi sunyi yang menggantung di kamar itu. Farhan akhirnya benar-benar tertidur. Namun tidurnya tidak tenang. Di dalam mimpinya, Farhan berdiri di sebuah ruangan yang terasa terlalu terang.
Lampu-lampu besar menggantung di langit-langit. Musik pernikahan mengalun, namun terdengar sumbang di telinganya. Kursi-kursi tertata rapi, dipenuhi tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka. Itu adalah hari pernikahannya dengan Adilla.
Farhan menunduk dan melihat jas pengantin yang ia kenakan, yang terlihat rapi dan juga bersih. Tapi dadanya terasa sesak, seolah jas itu menjerat lehernya. Saat ia mengangkat wajahnya, ia melihat semua mata tertuju padanya. Tatapan-tatapan itu terlihat dingin, sinis dan menghakimi.
Bisik-bisik mulai terdengar samar lalu semakin jelas.
“Kasihan ya, dia ditinggal sama calon istrinya sendiri.”
“Entah bagaimana nasibnya setelah ini."
"Dia pasti laki laki terburuk, makanya dia ditinggal oleh calon istrinya sendiri."
Farhan mundur selangkah saat mendengar semua tamu undangan itu mulai membicarakannya.
“Tidak…” gumamnya pelan.
Di ujung pelaminan, ia melihat Adilla berdiri. Cantik dan juga anggun. Namun wajah wanita itu terlihat dingin. Tidak ada senyum. Tidak ada kehangatan yang dulu ia kenal. Adilla menatapnya lama, lalu tersenyum—senyum yang bukan penuh cinta, melainkan kemenangan dan penuh dengan penghinaan.
“Kamu nggak pantas menikah denganku, Farhan,” suara Adilla terdengar jelas di telinganya. “Aku salah memilihmu.”
Farhan menggeleng keras.
“Tidak! Jangan!” teriaknya.
Namun suara itu tenggelam oleh tawa para tamu. Semua orang kini menatapnya dengan jijik. Jari-jari mereka menunjuk ke arahnya. Sementara kata-kata hinaan beterbangan seperti pisau.
“Pergi!”
“Kamu memalukan!”
“Dasar pria idiot!”
Farhan menutup telinganya.
“Jangan lihat aku!” teriaknya putus asa. “Pergi! Semua pergi!”
Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya terasa seperti diremas. Ia berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat. Ruangan itu mulai menyempit sementara tatapan-tatapan itu kian mendekat.
“Pergi! Aku bilang pergi!” Farhan berteriak semakin keras.
“Mas… Mas Farhan!”
Kinara terbangun dengan jantung berdegup kencang saat ia mendengar suara teriakan suaminya. Dan saat ia menoleh, ia mendapati Farhan bergerak gelisah di sampingnya. Tubuh suaminya itu berkeringat, wajahnya tegang, alisnya berkerut dalam. Bibirnya bergerak-gerak, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
“Pergi… jangan lihat aku…!”
Kinara langsung bangkit dalam keadaan setengah duduk.
“Mas, bangun, Mas,” ucapnya panik namun tetap lembut.
Ia menepuk bahu Farhan dengan pelan, lalu semakin kuat. Tangannya yang lain mengusap kening Farhan yang basah oleh keringat dingin.
“Mas, bangun… ini cuma mimpi mas.” panggil Kinara yang justru membuat Farhan semakin meronta.
“Jangan! Jangan tinggalkan aku!” teriaknya keras.
Kinara merasakan dadanya nyeri melihat itu. Ia tidak lagi ragu. Dengan kedua tangannya, ia mengguncang bahu Farhan lebih kuat.
“Mas Farhan! Bangun!”
Dan seketika itu juga, Farhan tersentak.
Matanya terbuka lebar. Napasnya terengah-engah, seperti baru saja ditarik paksa dari dasar laut. Dadanya naik turun dengan cepat. Pandangannya terlihat liar saat menatap sekeliling kamar dengan wajah penuh ketakutan. Butuh beberapa detik sebelum ia benar-benar sadar.
Dan saat kesadarannya kembali, hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan. Tanpa berpikir panjang, Farhan langsung duduk dan memeluk tubuh Kinara dengan sangat erat.
Kinara terkejut.
Napasnya tertahan sesaat ketika tubuh Farhan menabraknya sementara lengan suaminya melingkar kuat di sekeliling tubuhnya, seolah jika ia melepaskan, dunia akan runtuh lagi. Wajah Farhan terkubur di bahunya, napasnya masih tersengal-sengal, tubuhnya bergetar hebat.
Kinara terdiam beberapa detik. Jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya Farhan memeluknya seperti ini. Bukan karena marah. Bukan karena emosi. Tapi karena takut.
Perlahan, Kinara mengangkat tangannya.
Ia mengusap punggung Farhan dengan lembut, gerakannya pelan dan menenangkan. Telapak tangannya naik turun, seolah ingin berkata tanpa kata: aku di sini.
“Sudah… sudah, Mas,” bisiknya lirih. “Mas sudah bangun. Ini cuma mimpi.”
Farhan tidak menjawab. Pelukannya justru semakin mengerat. Napasnya mulai sedikit melambat, tapi tubuhnya masih gemetar hingga membuat Kinara akhirnya menempelkan dagunya ke bahu Farhan.
“Aku di sini, Mas,” ucap Kinara lagi, suaranya lembut namun tegas. “Aku nggak akan ke mana-mana.”
Tangannya terus mengusap punggung Farhan dengan sabar dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak bertanya tentang mimpi yang dialami suaminya, karena Kinara tahu, ada luka yang hanya bisa sembuh jika diberi ruang untuk sendiri.
Beberapa saat berlalu.
Getaran di tubuh Farhan perlahan mereda. Napasnya mulai teratur. Pelukannya tidak lagi sekuat tadi, tapi laki laki itu belum juga melepaskan pelukannya dari tubuhnya. Pelan-pelan dan dengan sangat hati-hati, Kinara mulai melepaskan dirinya dari pelukan Farhan.
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/