Bagaimana jika di hari pernikahan setelah sah menjadi suami istri, kamu ditinggal oleh suamimu ke luar negeri. Dan suamimu berjanji akan kembali hanya untukmu. Tapi ternyata, setelah pulang dari luar negeri, suamimu malah pulang membawa wanita lain.
Hancur sudah pasti, itulah yang dirasakan oleh Luna saat mendapati ternyata suaminya menikah lagi dengan wanita lain di luar negeri.
Apakah Luna akan bertahan dengan pernikahannya? Atau dia akan melepaskan pernikahan yang tidak sehat ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Muak
Suara gesekan roda brankar di lantai rumah sakit memecah keheningan yang menyesakkan. Luna dan Pak Doni berdiri di samping ranjang kosong, menanti kepindahan Bu Endah dari ruang operasi. Ketegangan yang mencekik perlahan mengendur saat suster memberitahu bahwa operasi pemasangan ring jantung Bu Endah berjalan lancar. Luna menghela napas lega, menyandarkan kepalanya ke bahu Pak Doni.
"Alhamdulillah, Yah," bisiknya, suaranya sedikit bergetar.
Pak Doni mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Nak. Syukurlah. Sekarang tinggal pemulihan."
Tak lama kemudian, Bu Endah tiba, terbaring lemah dengan wajahnya yang masih pucat. Setelah membantu suster menata Bu Endah dengan nyaman, Luna bersiap pamit.
"Luna mau pulang dulu, Pak. Ambil baju sama perlengkapan ibu buat di sini," ujar Luna sambil meraih tasnya.
Pak Doni menahan pergelangan tangan Luna. "Jangan buru-buru, Nak. Kamu juga pasti capek. Istirahat saja di rumah. Besok pagi baru ke sini lagi."
Luna menatap Pak Doni, melihat kekhawatiran di mata pria paruh baya itu. Sejak seharian ini, ia memang belum sempat memejamkan mata. Rasa lelah mulai menyerang, dan tawaran Pak Doni terdengar sangat menggiurkan.
"Baik, Pak. Aku pulang dulu kalau begitu. Besok pagi aku ke sini lagi," jawab Luna, mengangguk setuju.
Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Setibanya di rumah, Luna langsung merebahkan diri di sofa, merasakan setiap ototnya menjerit minta istirahat. Ia memejamkan mata, berharap bisa segera terlelap. Namun, baru saja matanya terpejam, ponselnya berdering nyaring. Nama "Rafi" tertera di layar.
Dengan malas, Luna menggeser tombol hijau. "Halo, Mas?"
Suara Rafi terdengar ceria di seberang sana. "Halo, Sayang! Sudah sampai rumah? Aku sudah sampai nih di hotel. Baru mau istirahat."
Luna tersenyum tipis. Meskipun hatinya masih merasakan sedikit ganjalan, mendengar suara suaminya membuatnya merasa sedikit lebih baik. "Iya, Mas. Sudah sampai. Alhamdulillah operasi Ibu lancar."
"Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak ya, Sayang. Sudah mau menalangi biaya operasi Ibu. Nanti pasti aku ganti semua," kata Rafi, terdengar tulus.
"Sudah kewajiban ku, Mas," jawab Luna. "Yang penting Ibu cepat pulih."
"Iya, Sayang. Kamu juga jangan terlalu capek ya. Istirahat yang cukup. Besok aku telepon lagi," ucap Rafi sebelum menutup telepon.
Luna meletakkan ponselnya di samping. Rasa lega menyelimutinya, namun di sisi lain, kesepian kembali menyeruak. Hari pertama pernikahannya, ia sudah ditinggal pergi suaminya ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Ia berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif itu, meyakinkan dirinya bahwa ini semua demi masa depan mereka.
Minggu-minggu berikutnya, Luna menjalani perannya sebagai menantu dengan sepenuh hati. Setiap pagi, ia bangun paling awal, menyiapkan sarapan untuk Pak Doni dan Bu Endah. Setelah Pak Doni berangkat kerja, ia akan fokus merawat Bu Endah. Membantu mertuanya mandi, mengganti pakaian, menyuapi makan, dan menemani nonton tv untuk mengusir kebosanan. Ia telaten merawat Bu Endah pasca operasi hingga mertuanya benar-benar pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa.
"Luna, kamu itu menantu idaman. Ibu beruntung sekali punya kamu," puji Bu Endah suatu sore, saat Luna membantunya berjalan-jalan di teras.
Luna hanya tersenyum. "Ibu ini bisa saja. Sudah kewajiban Luna, Bu."
Terkadang, ia juga harus membelikan obat-obatan untuk Bu Endah yang harganya tidak murah. Rafi memang mengirim uang bulanan, namun jumlahnya tidak seberapa untuk menutupi seluruh kebutuhan rumah tangga, apalagi dengan tambahan biaya obat-obatan Bu Endah. Akhirnya, Luna sering menggunakan uang pribadinya untuk menalangi. Awalnya, ia tidak keberatan sama sekali. Ia beranggapan bahwa Bu Endah adalah ibunya juga, jadi tidak masalah jika ia mengeluarkan uang untuk kebutuhannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Luna mulai merasakan perubahan. Keluarga ini, terutama Bu Endah dan Pak Doni, seolah-olah semakin bergantung padanya. Mereka mulai menganggap uang bulanan yang diberikan Rafi sangat banyak, cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan rumah, bahkan untuk membeli obat-obatan Bu Endah. Setiap kali Luna menanyakan perihal uang atau kebutuhan rumah tangga, jawabannya selalu sama: "Kan sudah ada uang dari Rafi."
Luna mulai merasa muak. Perasaan itu tumbuh perlahan, bagai lumut yang merayap di dinding, merusak keindahan awalnya. Ia merasa dimanfaatkan. Rafi sendiri jarang bertanya tentang pengeluaran rumah tangga. Ia hanya akan mengirim uang di awal bulan dan setelah itu, seolah-olah masalah selesai.
"Bu, obat Ibu sudah mau habis. Luna harus beli lagi," kata Luna suatu pagi, saat Bu Endah selesai sarapan.
Bu Endah mengernyit. "Lagi? Perasaan baru kemarin beli, Nak."
"Iya, Bu. Ini kan obat rutin. Lagipula, harganya lumayan mahal, Bu," jelas Luna, berusaha menahan kekesalan.
"Loh, kan ada uang dari Rafi? Itu kan banyak," sahut Bu Endah enteng.
Luna mengepalkan tangannya di bawah meja. "Tapi, Bu, uang itu juga kan untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi untuk belanja dapur."
"Ya kan diatur saja. Toh kamu juga jarang pakai uang itu kan?" Bu Endah membalas, seolah Luna yang terlalu boros.
Napas Luna tercekat. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan bahwa ia juga memiliki kebutuhan pribadinya, bahwa ia sering menahan diri untuk tidak membeli sesuatu demi memenuhi kebutuhan rumah ini. Tapi ia memilih diam. Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya.
Suatu malam, saat Rafi menelepon, Luna memberanikan diri. "Mas, uang bulanan dari Mas itu... sepertinya kurang cukup, Mas."
Rafi terdiam sejenak. "Kurang cukup bagaimana, Sayang? Bukannya sudah banyak ya?"
"Bukan begitu, Mas. Obat Ibu kan lumayan mahal, terus kebutuhan rumah juga banyak," Luna berusaha menjelaskan dengan tenang.
"Ya kan diatur saja, Sayang. Ibu juga sudah sembuh kan? Jadi pengeluarannya pasti berkurang," jawab Rafi, terdengar sedikit tidak sabar.
Luna menahan napas. Hatinya mencelos. Ia merasa seperti berbicara dengan tembok. Rafi tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. Ia merasa sendirian dalam menghadapi beban ini. Kesepian yang dulu hanya sesekali terasa, kini mulai menjadi teman setia. Ia merindukan masa-masanya sebelum menikah, di mana ia memiliki kebebasan finansial dan tidak perlu pusing memikirkan uang untuk kebutuhan orang lain.
Waktu terus berjalan, dan Luna semakin terbebani. Senyumnya semakin jarang terlihat, digantikan oleh kerutan samar di keningnya. Ia mulai lelah, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental. Ia mencintai Bu Endah dan Pak Doni, namun rasa dimanfaatkan itu terus menggerogoti. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benaknya: Apakah pernikahannya akan terus seperti ini? Akankah ia terus menanggung beban ini sendirian? Dan yang paling penting, di mana letak kebahagiaannya dalam semua ini?
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini tampak sayu. Ada keputusan yang harus ia buat, entah itu berbicara terus terang dengan Rafi dan mertuanya, atau mengambil langkah yang lebih drastis. Yang jelas, ia tahu, ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kemuakan ini.