Dirga. Dia adalah pemuda lupa ingatan yang tak pernah bermimpi menjadi pendekar. Tapi ternyata Dewata berpikiran lain, Dirga ditakdirkan menjadi penyelamat Bumi dari upaya bangsa Iblis yang menjadikan Bumi sebagai pusat kekuasaannya. Berbekal pusaka Naga Api yang turun dari dunia Naga, dia berkelana bersama Ratnasari memberantas aliran hitam sebelum melawan Raja Iblis.
Lalu bagaimana akhir kisah cintanya dengan Ratnasari? Apakah Dirga akan setia pada satu hati, ataukah ada hati lain yang akan dia singgahi? Baca kisah selengkapnya dalam cerita silat Nusantara, Pusaka Naga Api. ikuti kisah Dirga hanya ada di disni wkwk. kalau ada kesamaan atau tempat author minta maaf mungkin hanya sekedar sama aja cerita nya mungki tidak, ikuti kisahnya dirga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
"Sebentar lagi malam, Guru. Nanti kita bermalam di sana saja. Ada tanah lapang yang cukup luas untuk kita beristirahat," kata Rengga seraya menunjuk satu arah.
"Aku tidak bisa memutuskannya, Rengga. Coba kau tanyakan pada Sunarya, apakah kita akan beristirahat di tempat yang kau tunjukkan itu atau terus berjalan," jawab Ronggo.
"Bagaimana enaknya saja!" sahut Sunarya sinis. Selama perjalanan, dia tidak berbicara sedikitpun dengan Ronggo. Rasa cemburunya berubah menjadi kebencian kepada ketua Perguruan Pedang Cahaya tersebut.
Tak berapa lama, mereka akhirnya sampai di tempat yang ditunjukkan Rengga. Sebuah tanah lapang yang cukup luas akan menjadi tempat istirahat mereka malam nanti. Sebuah tanah lapang yang akan menjadi saksi adanya serangan mendadak yang dilakukan dua sosok berkemampuan tinggi.
Karena jarak yang tersisa relatif dekat, dua ratus anggota perguruan Rajawali Iblis beristirahat di tanah lapang tersebut tanpa perlu mendirikan tenda. Rengga sebagai penunjuk jalan, hanya tinggal menunggu waktu sampai serangan dadakan dilakukan Dirga dan Sarwana.
Malam itu angin bertiup semilir. Suasana begitu hening tanpa adanya suara binatang malam yang menghiasi kesepian. Hanya sesekali terdengar tawa anggota perguruan Rajawali Iblis yang berkumpul memutari belasan api unggun sebagai sarana penghangat tubuh mereka.
Mereka tertawa begitu lepas tanpa menyadari jika Dewa kematian sudah mengintai dan bersiap menjemput nyawa mereka satu-satunya.
Berjarak sekitar 100 meter dari tanah lapang tersebut, Dirga dan Sarwana mengamati dengan tajam dari atas pohon. Mereka hanya menunggu waktu semakin malam sebelum bergerak menyerang.
Dalam keadaan seperti sekarang ini, secara tidak langsung otak Dirga dipacu untuk berpikir keras. Mereka berdua akan segera berjibaku melawan begitu banyak pendekar dari sebuah perguruan aliran hitam. Dia tidak mungkin juga untuk melibatkan Rengga dan kedua temannya karena sudah pasti tidak akan banyak membantu.
Sambil terus menatap lawan yang berada di kejauhan, Dirga tak henti berpikir mencari cara serangan yang efektif dan akurat. Satu kesalahan saja pastinya akan berdampak buruk bukan hanya bagi mereka berdua, tetapi juga Rengga.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, Dirga mendapat kesimpulan tentang apa yang harus mereka lakukan. Tapi dia harus membicarakannya terlebih dahulu dengan Sarwana.Setali tiga uang, di saat Dirga berpikir keras mencari jalan terbaik melakukan serangan, Sarwana juga memutar otak untuk bisa menyerang secara akurat dan cepat.
"Dirga, bukankah kau sudah menguasai jurus Semburan Api Surgawi?" tanya Sarwana pelan, memecah kebekuan di antara mereka yang sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.
Dirga menoleh memandang Sarwana yang berada di sampingnya. Meski gelap, tapi karena sudah terbiasa memaksimalkan kemampuan matanya di malam hari, Dirga masih bisa melihat kera besar itu.
"Benar. Tapi aku belum sempat mencoba untuk mengeluarkan semburan apinya. Aku takut mencobanya," jawabnya.
"Kenapa? Bukankah maksimal tidaknya jurus itu jika kau sudah mengeluarkan apinya?" Sarwana mengernyitkan dahinya.
"Aku tahu maksudmu, tapi apa kau ingin aku membakar hutan itu?"
Sarwana terkekeh pelan. Pandangannya tetap tertuju kepada anggota perguruan Rajawali Iblis yang sudah menyalakan belasan obor sebagai penerangan. "Aku punya rencana!" ucapnya tiba-tiba.
"Bagaimana?"
"Gunakan jurus Semburan Api Surgawi. Kau serang dari sisi sana!" Sarwana menunjuk satu arah mata angin yang berlawanan dengan tempat mereka sekarang.
"Lalu bagaimana selanjutnya?" Dirga masih belum sepenuhnya paham rencana yang hendak digunakan Sarwana.
Setelah mengembuskan napas panjang, Sarwana mulai menjelaskan detil rencananya kepada Dirga.Tak butuh waktu lama bagi Dirga untuk memahami rencana kera besar itu. Sebelum melesat pergi, dia menekan energinya sampai pada titik terendah. Setelah itu dia bergerak secepat mungkin berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Selain karena jaraknya yang cukup jauh, cepatnya pergerakan yang dilakukan Dirga membuat tidak ada satupun anggota perguruan Rajawali Iblis yang menyadari keberadaannya.
Pemuda tampan itu akhirnya mendarat di sebuah pohon yang paling tinggi. Matanya tajam untuk menentukan beberapa titik anggota perguruan Rajawali Iblis yang akan diserangnya.
Dari jauh, Sarwana menggunakan penglihatannya yang tajam untuk melihat posisi Dirga. Setelah itu dia berlompatan untuk semakin mendekati posisi lawan dan mencari titik yang tepat untuk menyerang.
Sementara itu, Rengga mulai terlihat gelisah karena Dirga dan Sarwana tidak juga memberi serangan. Dalam kesendiriannya duduk di atas sebuah batang pohon yang tumbang, lelaki 30 tahun menajamkan matanya dan memandang sekeliling. Dia yakin Sarwana dan Dirga ada salah satu titik, tapi kenapa tidak ada tanda-tanda sama sekali dari mereka berdua.
Dalam gelap malam, Ronggo berjalan mendekati Rengga. Lelaki tua itu bisa melihat kegelisahan di wajah muridnya tersebut meski Rengga sudah berusaha menyembunyikannya.
Bukan tanpa alasan Jika Ronggo mengetahuinya. Sejak masih berumur 3 tahun, Rengga sudah bersama dengannya. Sehingga dia tahu betul apapun yang sedang dialami murid kesayangannya itu.
"Kau kenapa Rengga? Aku lihat kau sedang memikirkan sesuatu," ucapnya, lalu duduk di samping Rengga.
Rengga menolehkan kepala ketika gurunya itu tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Lelaki 30 tahun itu beringsut memberi tempat duduk bagi gurunya dan kemudian menundukkan kepalanya. "Aku tidak apa-apa, Guru," jawabnya lirih.
"Kau tidak akan bisa membohongiku, Rengga.
Meski kau berusaha menyembunyikannya, aku akan tetap mengetahuinya." tebak Ronggo sembari senyuman tipis tercetak di bibir keriputnya.
Rengga berpikir sejenak sebelum menjawab.
Tidak mungkin juga dia bicara tentang rencana yang sudah dibuatnya bersama Dirga dan Sarwana. Jadi sebuah alibi harus dipikirkannya cepat, dan pilihan gurunya berpindah arus menjadi aliran hitam adalah jawaban yang dirasanya paling tepat.
"Sebenarnya ada kekecewaan yang aku rasakan, Guru." Rengga menghela napas berat dan panjang.
"Tentang apa?" tanya Ronggo penasaran.
"Maaf jika aku bertanya, Guru. Tapi kenapa Guru memilih berpindah menjadi pengikut aliran hitam?" tanya Rengga takut-takut.
Ronggo menghela napas berat. Dia perlu menjelaskan duduk persoalannya kepada muridnya itu tentang pelik masalah yang dialaminya. Murid kesayangannya itu harus tahu apa yang dilakukannya hanya demi memuluskan rencananya saja.
"Kalau aku tidak mengikuti keinginan Reksapati, dia tidak akan membantu kita, Rengga. Selain itu, dia juga mengancam untuk tidak membiarkanku keluar dari perguruannya jika menolak."
"Tapi apa selamanya guru akan beraliran hitam?" tanya Rengga lagi.
Ronggo melihat ke samping kiri dan kanan sebelum menjawab, "Jika aku sudah mendapatkan Pedang Naga Api, aku akan kembali menjadi pengikut aliran putih," bisiknya pelan.
Rengga mengulum senyumnya. Bukan karena gurunya itu akan kembali menjadi pengikut aliran putih lagi seperti ucapannya, tapi karena aksinya berjalan sempurna dan tidak dicurigai gurunya sedikitpun.
"Sudah aku duga kau pasti akan berkhianat, Ronggo! Kau kira aku sejak awal tidak mengawasimu, Bangsat?" bentak Sunarya dari belakang mereka berdua.
Deg!