Pernikahan Arya dan Ranti adalah sebuah ikatan yang dingin tanpa cinta. Sejak awal, Arya terpaksa menikahi Ranti karena keadaan, tetapi hatinya tak pernah bisa mencintai Ranti yang keras kepala dan arogan. Dia selalu ingin mengendalikan Arya, menuntut perhatian, dan tak segan-segan bersikap kasar jika keinginannya tak dipenuhi.
Segalanya berubah ketika Arya bertemu Alice, Gadis belasan tahun yang polos penuh kelembutan. Alice membawa kehangatan yang selama ini tidak pernah Arya rasakan dalam pernikahannya dengan Ranti. Tanpa ragu, Arya menikahi Alice sebagai istri kedua.
Ranti marah besar. Harga dirinya hancur karena Arya lebih memilih gadis muda daripada dirinya. Dengan segala cara, Ranti berusaha menghancurkan hubungan Arya dan Alice. Dia terus menebar fitnah, mempermalukan Alice di depan banyak orang, bahkan berusaha membuat Arya membenci Alice. Akankah Arya dan Alice bisa hidup bahagia? Atau justru Ranti berhasil menghancurkan hubungan Arya dan Alice?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna BM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Alice menatapnya dengan penuh kasih. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Mas Arya. Tapi mbak Ranti? Aku tidak bisa melawan dia. Hiks hiks hiks." Alice menangis merasakan pedih hatinya.
Arya tersenyum sambil mengusap air mata Alice, Namun ia merasa bahwa semua perjuangan dan pengorbanannya tidak sia-sia. Ia mungkin telah ditolak oleh kakaknya dan bosnya, tetapi ada orang seperti Vino yang masih peduli. Dan yang lebih penting, ia masih memiliki Alice. Sosok yang selalu ia cintai dan akan selalu ia perjuangkan.
Malam itu, angin berembus lembut, membawa ketenangan yang seharusnya menyelimuti rumah Arya. Namun, suasana rumah justru dipenuhi ketegangan yang mencekik.
Arya baru saja tiba setelah seharian mengurus Alice di rumah sakit. Tubuhnya lelah, pikirannya kalut. Amarahnya menggelegak seperti api yang siap membakar. Emosi yang tersimpan akhirnya menumpuk.
Saat pintu terbuka, Ranti sudah berdiri di ambang pintu dengan senyum manis buatan. Namun, tatapan Arya dingin. Tak ada sedikit pun kelembutan di matanya. Tatapan tajam bagai belati. Ranti menyadari ada yang berbeda dengan suaminya malam ini.
"Ar... Ayo masuk," ujar Ranti dengan nada manis, berharap bisa menyembunyikan perbuatannya yang keji terhadap Alice. Tanpa banyak bicara.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ranti. Kepalanya tersentak ke samping, rasa perih langsung menjalar. Bukan hanya di wajahnya tetapi juga di hatinya. Ia menatap Arya dengan mata melebar, tidak percaya suaminya berani melakukan ini padanya.
"Apa... apa maksudnya ini?!" seru Ranti. Ia masih mencoba mempertahankan harga dirinya.
Arya menggenggam rahangnya erat, menatapnya dengan penuh kebencian. "Apa maksudku? Aku baru saja kembali dari rumah sakit. Alice hampir mati karena ulahmu!" suara Arya bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena marah yang sudah tidak bisa ia kendalikan. Emosinya memuncak.
Ranti tersenyum sinis, mengusap pipinya yang perih. "Jadi kau lebih peduli pada perempuan itu dibanding aku, istri pertamamu?"
Arya mengepalkan tinjunya. "Jangan bicara seolah-olah kau korban di sini! Aku tahu kau menyuruh Alice tidur di luar malam-malam, dan dia pingsan karena kedinginan! Perbuatanmu bukan seperti manusia! Terlalu keji!
Ranti mendengus. "Dan itu salahku? Aku hanya memberikan pelajaran padanya! Karena dia menerima laki-laki lain!"
Pelajaran? Kata itu semakin memicu kemarahan Arya. Ia menatap Ranti dengan tajam. "Pelajaran? Kau hampir membunuhnya, Ranti! Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?"
Ranti mendekat, menatap Arya dengan penuh kebencian. "Kau yang membuatku seperti ini! Sejak menikahinya, kau tidak lagi memandangku! Aku hanya membela hakku sebagai istri pertama!"
Arya menggeram. "Hak? Hakmu sebagai istri pertama tidak memberimu alasan untuk menyiksa Alice! Kau telah melewati batas! Dan satu lagi, aku menikahimu bukan karena cinta. Ulahmu sendiri yang membuat aku tidak sadar! Aku menikahimu karena ingat anak yang kau kandung! Aku menikahimu karena rasa tanggung jawab! Bukan kewajiban!"
Ranti mengangkat dagunya, menantang. "Lalu? Apa yang akan kau lakukan? Meninggalkanku demi perempuan itu?"
Arya menatapnya dengan kebencian yang tak bisa disembunyikan lagi. "Kalau bukan demi anak-anak, aku sudah lama meninggalkanmu, Ranti. Tapi aku tak akan membiarkanmu menyakiti Alice lagi."
PLAK!
Tamparan kedua mendarat di pipi Ranti, membuatnya terhuyung ke belakang. Kali ini, air mata menggenang di matanya, bukan karena sakit fisik, tetapi karena kejatuhan harga dirinya. Ia tidak pernah melihat Arya semarah ini.
Namun, alih-alih merasa bersalah, Ranti justru semakin terbakar amarah. "Aku tidak akan membiarkan perempuan itu merebutmu dariku, Arya!" bentaknya.
Arya menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya yang sudah berada di ambang batas. "Alice tidak merebutku darimu. Aku yang memilihnya. Aku yang mencintainya."
Mata Ranti membelalak. Kata-kata itu lebih menyakitkan dari tamparan Arya. "Kau... mencintainya?"
Arya menatapnya dengan tajam. "Ya. Dan aku menyesal pernah menikah denganmu."
Ranti terdiam. Dadanya naik turun menahan napas yang semakin berat. Ia tidak pernah berpikir Arya akan berkata seperti itu.
"Jadi sekarang kau mau apa? Pukul Aku! Pukul!"
Emosi Arya sudah tidak dapat di redam. Tangannya menarik pundak Ranti memukul lengannya. Tubuh Ranti terhuyung ke belakang terbentur dinding.
Arya berbalik, bersiap meninggalkan Ranti yang masih terpaku di tempatnya. "Jangan coba-coba mendekati Alice lagi," ucapnya dingin sebelum melangkah pergi.
Ranti hanya bisa menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, meninggalkannya dalam kegelapan dan kehancuran.
Malam semakin larut, dan Arya terus melangkah tanpa arah di trotoar jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup, membentuk bayangan panjang tubuhnya yang tampak lelah dan penuh beban.
Ia mendongak ke langit, mengembuskan napas panjang. Hatinya penuh dengan kemarahan yang masih belum tersalurkan semuanya. Kemarahan itu selalu bersumber dari satu orang, yaitu Ranti.
Ranti adalah istri pertamanya, yang selalu mendatangkan mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Ia memaksanya menikah, menjeratnya dalam pernikahan tanpa cinta.
Arya terpaksa bertahan, berharap ada secercah kebahagiaan. Tetapi yang ada hanya pertengkaran dan kehancuran. Semua semakin memburuk saat Alice hadir dalam hidupnya.
Alice, istri keduanya, adalah cahaya dalam kegelapan. Gadis lembut dan penuh kasih itu telah mengisi kekosongan yang selama ini menghantuinya. Alice memberinya kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, kebahagiaan itu direnggut oleh Ranti, yang tak rela melihat Arya menemukan cinta sejatinya. "Kenapa wanita itu selalu hadir di hidupku," gumamnya.
Pikiran Arya melayang pada Alice. Seharusnya saat ini ia berada di rumah bersama wanita yang ia cintai. Menikmati kebersamaan dengan Devan, anak mereka. Namun, Alice telah kembali ke rumah orang tuanya karena rasa takutnya pada Ranti.
Arya mengepalkan tangannya.
"Ranti! Kau sudah keterlaluan!" Teriak Arya.
Setiap hari, Alice selalu mendapat perlakuan buruk dari Ranti. Hinaan dan dipermalukan, bahkan tak jarang Ranti menggunakan kekerasan untuk melampiaskan amarahnya.
Alice hanya bisa menangis dan menghindar. Tapi tak pernah melawan. Alice bukan wanita yang suka berkonflik. Namun, kini ketakutannya semakin besar hingga ia memilih tinggal di rumah mamanya bersama Devan.
Arya tidak bisa menyalahkannya. Alice hanya ingin hidup damai.
Langkahnya semakin pelan, hingga akhirnya ia berhenti di sebuah bangku trotoar yang kosong. Ia duduk, menyandarkan kepala ke belakang. Menutup mata sejenak. Angin malam berhembus dingin, menusuk hingga ke tulangnya.
Ia bisa saja pulang ke rumah, tetapi apa gunanya jika Alice tidak ada? Ia tidak ingin kembali ke dalam neraka yang diciptakan Ranti.
Malam itu, Arya memutuskan untuk tidur di pinggir jalan. Hingga cahaya pagi mulai tersirat.
Pagi datang dengan embusan angin yang membawa aroma jalanan kota. Arya terbangun dengan badan pegal. Kepalanya berat, tetapi hatinya masih penuh dengan amarah yang belum tuntas. Ia memandang langit, lalu beranjak bangkit.
Hari ini adalah awal yang baru.
Ia harus bekerja, mencari nafkah untuk dirinya dan Alice. Ia harus memastikan bahwa Alice dan Devan tetap bisa hidup dengan layak meski mereka tidak tinggal bersamanya.
Arya berjalan menuju terminal, tempat ia akan memulai pekerjaannya sebagai sopir angkot. Pekerjaan ini bukan impian. Tapi ia butuh penghasilan untuk bisa bertahan hidup.