Olivia Caroline adalah seorang wanita matang dengan latar belakang kedua orang tua broken home. Meski memiliki segalanya, hatinya sangat kosong. Pertemuan dengan seorang gadis kecil di halte bis, membuatnya mengerti arti kejujuran dan kasih sayang.
"Bibi, mau kah kamu jadi Mamaku?"
"Ha? Tidak mungkin, sayang. Bibi akan menikah dengan pacar Bibi. Dimana rumahmu? Bibi akan bantu antarkan."
"Aku tidak mau pulang sebelum Bibi mau menikah dengan Papaku!"
Bagaimana kisah ini berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Di sebuah cafe...
Peter bertemu sang teman, namanya Ridwan. Pria ini menjelaskan kalau Mario sudah melakukan hal yang di luar batas. Ridwan pun menambahkan kala Mario memutuskan hubungan cinta dengan Olive, yang merupakan kakak dari Peter, Ridwan mendapatkan informasi kalau Mario masih cinta sama Olive cuma pengen menjadi pebisnis sukses, alhasil dia menerima perjodohan dari kedua orang tuanya yang lebih suka Mario nikah dengan Tania.
Peter terdiam mendengar cerita itu. Ia mengaduk kopinya pelan, memikirkan apa yang baru saja dikatakan Ridwan. Selama ini, ia selalu mengira bahwa Mario memang sudah tidak mencintai Olive lagi, bahwa keputusan untuk mengakhiri hubungan itu murni karena perasaan Mario sudah pudar. Tapi jika benar yang dikatakan Ridwan, berarti Mario bukan hanya mengkhianati Olive, tapi juga dirinya sendiri.
Ridwan melihat ekspresi wajah Peter yang berubah. "Aku tahu ini sulit diterima, Pete," katanya. "Tapi aku rasa Olive berhak tahu kebenarannya."
Peter menghela napas. "Aku gak tahu harus ngomong apa sama Olive. Dia sudah berusaha move on. Kalau dia tahu ini, bisa saja malah bikin dia sakit hati lagi."
Ridwan mengangguk. "Aku paham. Tapi apakah lebih baik dia hidup dalam kebohongan? Selama ini dia mengira Mario meninggalkannya karena sudah tidak cinta. Kalau dia tahu bahwa Mario masih mencintainya tapi memilih ambisi dan perjodohan, mungkin dia bisa menutup hatinya sepenuhnya."
Peter termenung. Ia mengingat bagaimana Olive menangis berhari-hari setelah Mario meninggalkannya. Kakaknya itu begitu mencintai Mario, dan perpisahan mereka adalah pukulan besar dalam hidupnya. Sekarang, Olive memang terlihat lebih baik, tapi apakah benar ia sudah sepenuhnya sembuh dari luka itu?
"Kamu yakin dengan informasi ini?" tanya Peter akhirnya.
Ridwan mengangguk mantap. "Sumberku bisa dipercaya. Aku dengar langsung dari teman dekat keluarganya Mario. Bahkan, katanya Mario sempat ragu sebelum menerima perjodohan itu. Dia masih sering menanyakan kabar Olive, tapi dia terlalu takut untuk menyesali keputusannya."
Peter mendengus pelan. "Jadi Mario itu pengecut, ya?"
Ridwan mengangkat bahu. "Atau mungkin dia hanya terjebak dalam situasi yang sulit. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Tekanan dari keluarga kadang bisa lebih kuat dari cinta."
Peter menggeleng. "Tetap saja. Kalau dia benar-benar mencintai Olive, dia seharusnya berjuang. Bukannya memilih jalan yang lebih mudah demi bisnis keluarganya."
Ridwan menghela napas. "Ada hal lain yang harus kamu tahu, Pete. Soal Aarav."
Peter menatapnya tajam. "Hm, katakan."
Ridwan mencondongkan tubuhnya, berbicara lebih pelan."Aarav tahu terlalu banyak tentang bisnis kotor keluarga Mario. Mereka menjebaknya dengan tuduhan palsu. Aku punya buktinya," ucap Ridwan, sambil mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa dokumen yang tersimpan di sana. Ridwan menunjukkan sebuah rekaman video. "Lihat ini," katanya serius.
Peter mengambil ponsel itu dan mulai menonton.
Di layar, terlihat sebuah gudang dengan puluhan kotak besar. Beberapa orang sedang memindahkan barang-barang dari dalam truk, sementara seorang pria bertopi memberikan instruksi. Lalu, layar berubah menampilkan tumpukan uang dalam koper-koper besar. Tak hanya itu, rekaman itu juga memperlihatkan transaksi narkoba serta perdagangan barang ilegal.
Peter membeku. Ia mengenali salah satu orang dalam video itu—Mario.
"Ini… ini nggak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar.
"Ini bukti nyata, Pete," ujar Ridwan. "Mario nggak cuma berkhianat soal cinta, dia juga terlibat dalam bisnis kotor. Dan yang lebih parah, dia menjadikan Aarav sebagai kambing hitam. Aarav dituduh sebagai dalang di balik semua ini, sementara Mario tetap melenggang bebas."
Peter mengepalkan tangannya, napasnya memburu. Ia tak percaya Mario bisa sekejam ini.
"Aarav dipenjara karena sesuatu yang nggak dia lakukan?" tanyanya dengan suara penuh kemarahan.
Ridwan mengangguk. "Iya. Dan kalau kita nggak segera bertindak, bukan cuma Aarav yang akan jadi korban."
Peter menggertakkan giginya. Amarah dalam dirinya semakin membara.
"Baik," katanya akhirnya. "Kalau begitu, kita harus buat Mario membayar semua ini!"
Mereka berdua pun merencanakan langkah berikutnya. Peter dengan cerdasnya menghubungi Pak Roni, seorang penyelidik kepolisian yang bisa dipercaya.
"Pak Roni, saya punya bukti kejahatan besar. Saya butuh bantuan Anda untuk menangkap orang ini," ujar Peter dengan suara tegas.
"Kirimkan buktinya ke saya. Saya akan segera koordinasi dengan tim," jawab Pak Roni.
"Baik, pak tunggu sebentar." Peter langsung mengirimkan rekaman dan dokumen yang dimiliki Ridwan.
"Kami akan bergerak malam ini. Pastikan kalian tetap waspada dan jangan bertindak gegabah," katanya.
Peter dan Ridwan saling bertukar pandang. Mereka telah memutuskan untuk memberanikan diri pergi ke tempat yang dimaksud dalam video, tapi kali ini mereka tidak sendiri. Polisi sudah bersiap untuk meringkus seluruh jaringan Mario di tempat kejadian perkara.
"Ini akan jadi malam yang panjang," ujar Ridwan.
Peter mengangguk. "Tapi kita akan menutup buku ini untuk selamanya."
Di kantor polisi…
Pak Roni baru saja mendapatkan video soal bukti keterlibatan Mario dalam bisnis haram. Dia segera meminta anak buahnya untuk menyusuri TKP. Tidak ingin kehilangan momentum, ia menginstruksikan timnya untuk bergerak cepat, mengamankan bukti tambahan, dan mencari saksi yang bisa memperkuat kasus ini.
Sebelum benar-benar pergi, Pak Roni menemui Aarav yang ada di dalam jeruji besi. Dia memberikan kabar gembira ini.
“Aarav, aku punya berita bagus untukmu,” kata Pak Roni sambil bersandar pada jeruji besi. Wajahnya tampak lebih santai dibanding sebelumnya.
Aarav, yang sedang duduk di bangku besi di dalam sel, menatap Pak Roni dengan mata penuh harapan. Sudah berhari-hari ia berada di sana, dituduh sebagai kambing hitam dalam kasus yang sebenarnya tidak ia lakukan.
“Apa itu, Ron?” tanya Aarav, mencoba menahan emosinya.
Pak Roni mengeluarkan ponselnya, memutar video yang baru saja diterimanya. Dalam rekaman tersebut, terlihat jelas Mario sedang melakukan transaksi dengan seseorang di sebuah gudang tua. Wajahnya tampak tegang, seolah sadar bahwa yang ia lakukan melanggar hukum.
Aarav menatap layar dengan mata membelalak. “Itu… itu bukti yang selama ini kita cari! Ron, ini artinya aku bisa bebas, kan?” ucap Aarav masih tak percaya dengan kenyataan yang amat menggembirakan ini. Aarav, menangis. Dia begitu terharu.
Pak Roni mengangguk. “Tenanglah kawan, kita adalah sahabat. Sebelumnya kamu sudah selalu membantuku. Saat kamu butuh bantuanku, aku pasti selalu ada."
"Ron, terima kasih."
Aarav menghela napas panjang. Beban yang selama ini menghimpit dadanya mulai sedikit terangkat. Ia tidak pernah menyangka akan terjebak dalam permainan kotor ini.