Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih belum siap untuk menikah.
8 Bulan kemudian ....
Setelah diusir dari rumah, Ajela tak pernah lagi bertemu dengan kakak dan ibu tirinya. Juga tidak pernah lagi mendengar kabar keduanya.
Ajela benar-benar putus komunikasi dengan mereka, namun yang Ajela tahu setelah mendapatkan uang satu miliar itu, Riana dan ibunya membeli sebuah rumah baru yang lebih layak dan menjual rumah lama.
Ajela hidup terlunta-lunta dan serba kekurangan. Demi bertahan hidup ia menyewa kamar kost yang sempit. Beberapa bulan ini Ajela juga bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe.
"Kamu kenapa, Ajela? Aku lihat wajahmu sedikit pucat?" tanya Lisa, salah seorang teman Ajela yang juga bekerja di kafe yang sama.
Ajela yang sedang membersihkan meja mengalihkan perhatiannya sejenak. "Perutku rasanya agak kram sejak pagi tadi."
Mendengar itu, Lisa langsung panik. "Apa jangan-jangan kamu sudah mau lahiran?"
"Sepertinya belum. Beberapa hari ini perutku memang sering kram seperti ini." Ajela membelai perutnya yang kini terlihat semakin membesar. Malam kelam itu telah menumbuhkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Masa kehamilan pun dijalani Ajela dengan menyedihkan. Kadang ia harus menahan jika menginginkan sesuatu di masa ngidamnya. Ia juga harus berhemat untuk bisa bertahan hidup, sebab gaji sebagai pelayan kafe tidak seberapa. Belum biaya makan dan sewa kost.
Sebenarnya Ajela sudah harus cuti menjelang hari persalinan. Namun, kebutuhan hidup memaksanya untuk tetap bekerja. Beruntung pemilik kafe mengizinkan untuk tetap bekerja meskipun dalam keadaan hamil tua.
"Kalau begitu pulang saja dulu dan istirahat. Kamu tidak boleh terlalu capek. Lagian sebentar lagi sudah gantian shift," ucap Lisa.
"Terima kasih, Lisa. Kalau begitu aku bawa ini ke dapur dulu."
Ajela bergegas mengangkat nampan berisi gelas-gelas kotor untuk dibawa ke dapur. Namun, tiba-tiba saja bertabrakan dengan seorang pengunjung kafe. Nampan di tangannya jatuh. Pecahan kaca berhamburan, membuat perhatian semua orang mengarah kepada mereka.
"Hey, kalau bekerja hati-hati! Lihat, pakaianku jadi kotor!" maki wanita yang menabrak Ajela. Kemejanya yang putih jadi kotor terkena tumpahan kopi.
"Maaf, saya benar-benar tidak sengaja." Ajela membungkukkan kepala untuk meminta maaf. Ia langsung menyambar selembar tissue untuk membersihkan pakaian wanita tadi.
Namun, tiba-tiba wanita itu mendorong tangannya dengan kasar. "Kamu?" pekik wanita itu.
Ajela mendongakkan kepala untuk menatap wajah wanita judes itu. Seketika bola matanya membulat sempurna. Bagaimana tidak, wanita itu tak lain adalah Riana, kakak tirinya yang jahat.
"Kak Riana?"
Bukan hanya kedatangan Riana yang membuat Ajela terkejut, namun juga pria yang datang bersamanya. Tuan Alvian, Pria yang telah membeli kesuciannya sekaligus si penanam benih yang sedang tumbuh di rahimnya.
Sore itu Riana dan Alvian ada janji temu dengan rekan kerja di kafe itu.
Riana yang tidak mengetahui bahwa Alvian adalah laki-laki yang telah membeli Ajela sangat terkejut mendapati adik tirinya menggunakan seragam kafe keadaan hamil besar.
"Kejutan sekali bertemu dengan kamu di tempat ini. Ternyata sekarang kamu bekerja sebagai pelayan kafe, ya?" Riana memandangi Ajela dari ujung kaki ke ujung kepala.
Wajah Ajela seketika terlihat pucat, bibirnya mengatup rapat. Ia tak berani lagi mengangkat kepala.
Apalagi tatapan Alvian benar-benar mengintimidasinya.
"Oh ya Ajela, aku baru tahu kalau kamu sedang hamil. Boleh aku tahu siapa ayah dari anak yang kamu kandung itu? Apa jangan-jangan laki-laki tua bangka yang pernah menyewa kamu?" sindir Riana.
Ajela tak menyahut. Bukan karena takut pada Riana, tetapi hatinya terlampau sakit bertemu dengan Alvian, laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilannya.
Tak ingin terjadi keributan lebih jauh, Ajela berjongkok sambil memunguti pecahan kaca yang berserakan di lantai. Menahan air mata yang hendak menetes.
Sementara Alvian hanya menatapnya tanpa ekspresi. Sejak tadi ia terpaku memandangi perut sang wanita yang sudah membesar.
Meskipun baru satu kali bertemu, namun Alvian masih bisa mengenali pemilik wajah itu.
Wanita yang dibelinya beberapa bulan lalu dari seorang mucikari bernama Tuan Rizal, atau yang lebih dikenal dengan nama Tuan Al.
"Maaf, saya harus ke belakang."
Ajela tergesa-gesa menuju ke dapur.
Jika tidak menghindar, Riana pasti akan membuat keributan dan Ajela tidak ingin dipecat jika ribut dengan tamu kafe.
Setibanya di dapur, ia menyandarkan punggungnya di dinding. Menyeka lelehan air mata yang terus mengalir membasahi pipi.
"Ya Allah, kenapa harus bertemu mereka di sini?"
**
Alvian belum mampu menghilangkan rasa terkejut setelah pertemuan tak terduga dengan Ajela tadi. Sesekali ia melirik ke arah dapur. Sebab setelah masuk, Ajela tak kunjung keluar dari sana lagi.
"Kamu kenal wanita tadi, Riana?" tanya Alvian.
Terdiam sejenak, Riana mencoba mencari penjelasan masuk akal.
Tidak mungkin ia memberitahu Alvian bahwa Ajela adalah adik tirinya. Apalagi sulit baginya untuk mendekati Alvian.
"Dia Ajela, tetangga lamaku. Sebenarnya aku tidak mengenalnya lebih dekat, tapi yang kutahu dia bukan wanita baik-baik."
"Maksudnya bukan wanita baik-baik bagaimana?"
"Dia seorang wanita panggilan. Aku heran kenapa pemilik kafe ini mau menerima perempuan kotor sepertinya untuk bekerja di sini.
Apa tidak takut kafenya ketiban sial?"
Ada sedikit keraguan di hati Alvian mendengar nada sarkas Riana.
Jauh di dasar hatinya berkata Ajela tidak seburuk itu. Karena dirinya adalah orang pertama yang menyentuh Ajela. Bahkan Alvian yakin bahwa Ajela belum pernah berciuman sebelumnya.
"Setahuku Ajela itu belum menikah. Sepertinya dia hamil dari salah satu laki-laki yang pernah menyewanya dan mungkin laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab."
"Kenapa kamu seyakin itu?"
"Tentu saja aku yakin. Aku pernah lihat dia pergi dengan laki-laki yang sudah cukup berumur. Ke mana lagi kalau bukan ke hotel?" tambah Riana.
Lagi, Alvian terdiam. Tangannya terkepal di bawah meja. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sempat terpikir di benaknya bahwa anak di dalam kandungan Ajela adalah benihnya. Karena malam itu Alvian memang tidak menggunakan pengaman.
Tetapi, jika benar Ajela memang wanita panggilan, bisa saja ia hamil dengan laki-laki lain, bukan?
"Tidak, itu pasti bukan anakku. Dia pasti hamil dengan laki-laki lain seperti kata Riana." Alvian meyakinkan diri dalam hati.
"Kita cari tempat lain saja. Aku mau pergi dari sini."
**
Mobil yang ditumpangi Alvian melaju di keramaian jalan. Sejak pertemuan dengan Ajela tadi, ia jadi lebih banyak diam. Bahkan saat membicarakan pekerjaan dengan rekan bisnisnya, ia lebih banyak melamun dan membuat Riana repot.
"Kita ke mana sekarang?"
Pertanyaan Galih membuyarkan lamunan Alvian. Galih adalah sepupu sekaligus asisten pribadinya.
"Ke apartemen saja!"
"Tapi Tante Veny sudah beberapa kali menghubungiku dan menanyakan keberadaanmu. Sudah beberapa hari kamu tidak pulang ke rumah."
Alvian menghembuskan napas panjang. Ia sudah tahu tujuan mamanya mencari. Sudah pasti untuk membahas soal perjodohan.
Hal itu lah yang membuat Alvian kadang malas pulang ke rumah.
"Aku akan pulang nanti."
"Aku harus bilang apa kalau mama kamu menelepon lagi?"
"Bilang saja aku sibuk!"
Sekarang giliran Galih yang frustrasi. Jika sang nyonya besar menghubungi, dirinyalah yang paling sering repot untuk mencari alasan.
"Sebenarnya apa susahnya sih menerima perjodohan yang ditetapkan mama kamu? Mama kamu pasti memilih wanita yang baik untuk anaknya."
"Aku belum siap menikah." Selalu kalimat itu yang diucapkan Alvian jika ditanya soal menikah.
"Jadi kapan siapnya?"
Alvian berdecak malas. Untuk saat ini hatinya benar-benar kosong.
Menikah bukanlah tujuan utama hidupnya. Selain itu, ia masih betah melajang.
"Aku belum menemukan wanita yang pas."
Galih menatap heran. Sebenarnya tidak sulit bagi Alvian untuk mencari jodoh. Ia dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dari berbagai kalangan. Namun, sejauh ini belum ada yang berhasil merebut hatinya.
Galih sampai heran sebenarnya wanita seperti apa yang dicari bosnya itu.
"Kalau begini terus kamu bisa jadi bujang lapuk!"
***
Riana tiba di rumah setelah pertemuan dengan klien di kafe tempat Ajela bekerja. Sebenarnya tadi ia masih merasa penasaran dengan Ajela. Namun, karena sedang berada di tempat umum sehingga ia menahan diri. Selain itu, setelah masuk ke dapur membawa pecahan gelas, Ajela tidak memunculkan diri lagi.
Mungkin sudah pulang lewat pintu belakang.
"Bu, tadi aku bertemu dengan Ajela," ucap Riana sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Kemudian melepas sepatu dan menyandarkan punggungnya.
Bu Nana yang sedang asyik dengan tayangan TV sejenak melirik putrinya. "Oh ya? Bertemu di mana?"
"Di salah satu kafe. Dia jadi pelayan di sana."
Bu Nana tampak tak begitu terkejut. Memang Ajela bisa kerja apa? Kalau tidak jadi tukang bersih-bersih, ya pasti jadi pelayan. Apalagi ia hanya berbekal ijazah SMA. Sudah pasti sulit mencari pekerjaan bagus.
"Ibu pasti terkejut kalau aku kasih tahu sesuatu tentang Ajela." Riana tampak bersemangat. Membuat ibunya itu ikut penasaran.
"Sesuatu apa?"
"Ajela hamil, Bu!"
Informasi yang diberikan Riana membuat Bu Nana melebarkan kelopak matanya. Tentunya berita ini membuatnya cukup terkejut.
"Hamil?"
Riana mengangguk cepat. Ia kemudian tertawa geli membayangkan pertemuannya dengan Ajela tadi.
"Aku penasaran Ajela hamil anak siapa. Setahu aku dia kan belum menikah."
"Apa jangan-jangan dia hamil sama Tuan Al si tua bangka itu? Malam itu kan Ajela disewa sama Tuan Al," sahut Bu Nana.
"Bisa jadi, sih. Ah, seharusnya tadi aku ucapkan selamat atas kehamilannya."
Gelak tawa Riana kembali menggema setelah mengucapkan kalimat itu. Malang sekali adik tirinya itu harus mengandung benih dari pria tua bangka, gendut dan jelek seperti Tuan Al.
Bersambung ~