"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Crazy Idea
Pagi itu, sekitar jam 9, Tari terbangun karena suara ketukan yang tergesa-gesa di depan pintu kamarnya.
"Tok! Tok! Tok!"
"Tari, bangun. Aku udah siapin sarapan," panggil Riana dengan sedikit berteriak dari luar kamar.
Tari menggeliat malas di tempat tidur, meraih ponselnya untuk mengecek waktu. "Iya, sebentar, lima menit lagi," jawabnya dengan suara serak, menarik selimut ke atas kepalanya.
Beberapa menit kemudian, Tari akhirnya keluar menuju meja makan. Rambut pendeknya yang mengembang terlihat acak-acakan, kaos oversize yang digunakan nya terlihat melengkapi penampilannya.
Di meja makan, Riana sudah menyiapkan sepiring nasi goreng yang aromanya menggoda.
Tari duduk di kursi, matanya masih setengah terpejam, dan meraih secangkir teh hangat yang sudah disiapkan untuknya.
"Selamat pagi, chef. Nasi gorengnya enak banget, ya?" canda Tari sambil tersenyum dengan mata yang masih setengah terbuka.
Riana hanya tersenyum kecil. "Iya, kamu suka kan? Makan yang banyak, biar nggak lesu."
Mereka mulai sarapan dalam keheningan. Sesekali Riana melirik Tari, pikirannya saat ini tidak karuan.
Setelah beberapa suapan nasi, Riana akhirnya memulai pembicaraan.
"Tar, aku mau minta tolong sesuatu sama kamu," ujar Riana, suaranya terdengar sangat pelan.
Tari menoleh ke arah Riana, sedikit bingung. "Ya, apa? Pagi-pagi begini, kau mau nginap sehari lagi."
Riana menggeleng kepalanya pelan,menarik napas panjang. "Aku... aku mau kamu jadi istri kedua Yudha."
"Byurrr!"Tari yang sedang meminum tehnya, sontak terkejut ia menyemburkan air yang baru saja diminumnya, hampir mengenai nasi goreng di depan Riana.
"Apa?!" Tari terbelalak, matanya berkedip beberapa kali memastikan pendengaran telinganya.
Apa dia masih belum bangun daru tidurnya, tapi nasi goreng ini rasanya enak sekali, pikirnya.
"Aku tahu ini gila, tapi aku nggak punya pilihan lain," kata Riana dengan wajah yang tampak penuh harap.
"Ibu bilang aku harus membujuk Yudha untuk menikah lagi, dan aku nggak mau ngeliat dia sama wanita yang aku nggak kenal. Aku... aku butuh seseorang yang aku percayai. Aku butuh kamu, Tar."
Tari memandang Riana dengan tatapan bingung dan marah. "Kamu... sudah gila Ri, apa kamu dengar apa yang keluar dari mulut mu sekarang?"
Riana menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku cuma nggak ingin kehilangan dia."
Tari meletakkan gelas teh dengan kasar, wajahnya berubah merah karena marah. "Riana, aku nggak tau dari mana kamu dapat ide gila seperti ini,jadi istri kedua suami kamu! Itu gila!"
"Aku tahu, aku tahu. Tapi tolong bantu aku Tar, sekarang aku nggak punya pilihan lain selain kamu.."
Tari menghela napas panjang, tampak frustasi. "Kamu punya pilihan ri, hentikan pembicaraan nggak masuk akal ini, yang kamu perlu adalah berpikir jernih sekarang ."
Riana hanya diam, menatap nasi goreng yang sudah tak lagi terasa enak baginya. "Aku... nggak tahu lagi harus gimana, tolong aku tari."
Tari memandangnya sejenak dengan tatapan kasihan dan marah bercampur. "Aku nggak bisa bantu kamu Ri, aku minta maaf ."
Tari berdiri dari kursinya, rambut pendeknya yang mengembang terlihat semakin acak-acakan. "Aku mau mandi dulu.kita bicara lagi nanti, kalau pikiran itu sudah hilang dari kepala mu."
Dengan langkah cepat, Tari meninggalkan ruang makan. Riana hanya bisa menunduk, merasa semakin terjebak dalam keputusan yang telah ia buat.
Setelah pintu tertutup pelan, ia menatap nasi goreng yang masih ada di piring, namun tak bisa merasakan apapun selain kegelisahan yang terus menghantui pikirannya.
...----------------...
Tari baru saja selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut pendeknya dengan handuk kecil.
Pintu kamar mandi ditutup perlahan, tetapi langkahnya terhenti begitu melihat Riana yang berlutut di depan pintu.
"Akh!Astaga, Ria! Apa-apaan ini?! Kau ingin membuatku mati muda?!" teriak Tari, refleks memegang dadanya, kaget setengah mati.
Riana tidak menjawab, hanya terdengar suara isakan tertahan. Beberapa butir air mata jatuh dari pipinya, tangan Riana mengepal erat di atas pahanya.
Melihat itu, Tari langsung merasa ada yang tidak beres. Ia segera ikut berlutut di lantai, berhadapan dengan Riana. "Ria... apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?" tanyanya, suaranya pelan meskipun wajahnya penuh kekhawatiran.
Namun, tangis Riana malah semakin keras. Bahunya terguncang-guncang, dan napasnya tersengal.
"Hiks... huh... huhhh..."
Tari hanya bisa menatap sahabatnya itu dengan bingung. Ia mengerutkan kening, rahangnya mengeras, dan tangannya sedikit gemetar karena menahan emosi campur aduk.
"Aku mohon, Tari..." Riana akhirnya bersuara, tapi suaranya terputus-putus. "Aku nggak bisa melihat Yudha dengan wanita lain. Aku nggak bisa... aku akan lakukan apa saja, Tari... tolonglah aku..."
Riana kembali menangis terisak-isak, membuat Tari harus menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri. Rasa kasihan dan marah bercampur di benaknya.
"Sudah... ayo berdiri dulu," kata Tari tegas. Ia memegang bahu Riana, membantu sahabatnya berdiri. "Kita duduk di tempat tidur. Kau bicarakan apa yang kau inginkan ."
Riana menurut, berjalan pelan sambil sesekali mengusap air matanya. Mereka berdua duduk di tepi tempat tidur.
Tari menatap Riana dengan serius. "Sekarang, katakan. Apa yang sebenarnya kau mau, Ria?"
Riana menarik napas dalam-dalam, meskipun suaranya masih bergetar. Ia mulai menceritakan kekhawatirannya tentang kondisinya, tentang mimpi buruknya semalam, dan tentang permintaannya kepada tari tadi pagi.
Tari mendengarkan tanpa menyela, tapi tatapannya semakin tajam. Setelah Riana selesai, Tari mengangguk pelan. Ia berpikir sejenak, lalu berkata dengan nada serius.
"Baik, Ria. Aku akan coba membantu. Tapi dengarkan aku baik-baik."
Tari menjelaskan idenya-sebuah rencana di mana ia akan menikah secara formal dengan Yudha, tetapi pernikahan itu hanya akan menjadi status di mata keluarga Yudha. Tidak akan ada hubungan nyata di antara mereka, dan semuanya hanya sandiwara untuk menghentikan tekanan dari ibu mertua Riana.
"Ini solusi terakhir yang bisa kupikirkan," kata Tari tegas. "Tapi, kau yang harus menjelaskan rencana ini pada Yudha. Kau yang harus membuatnya mengerti bahwa ini adalah idemu, dan aku hanya sedikit memberikan solusi untukmu."
Riana mengangguk cepat. "Aku mengerti, Tari. Aku akan menjelaskannya pada Yudha."
Tari menatap Riana dalam-dalam, memastikan sahabatnya itu benar-benar paham. "Dan satu hal lagi. Jangan pernah kau lakukan itu lagi, berlutut di depanku seperti tadi. Bagaimana mungkin aku sanggup melihatmu seperti tadi Ria....Kau tau kan, aku hanya punya kau, Ria. Kau sahabatku satu-satunya."
Riana tersenyum kecil, meskipun matanya masih sembap. Ia mengangguk pelan. "Terima kasih, Tari. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan tanpamu."
Tari mendesah, menatap sahabatnya dengan campuran rasa kasihan dan tekad. Dalam hati, ia tahu rencana ini adalah sesuatu yang gila, tapi ia juga merasa bisa memanfaatkan situasi ini untuk sesuatu yang lebih besar. Inspirasi mulai berputar di kepalanya, seperti potongan-potongan cerita yang siap ia tulis.
"Aku akan menemanimu, Ria. Kita hadapi ini sama-sama. Tapi ingat, setelah ini selesai, aku mau imbalan berupa cerita yang bisa kutulis. Siapa tahu, uang dari sana bisa bikin aku jadi kaya," ujar Tari sambil menyeringai kecil, mencoba mencairkan suasana.
Riana tersenyum lemah, lalu terkikik kecil. "Dasar, selalu ada maunya," ucapnya pelan. Tapi di dalam hatinya, ia merasa sangat bersyukur memiliki Tari di sisinya. Setidaknya, ada seseorang yang selalu mendukungnya di saat-saat sulit seperti ini.
...----------------...
Hari sudah siang, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 1 siang, Yudha tiba di depan pintu apartemen Tari.
Riana, yang sudah menginap semalam di apartemen sahabatnya, sudah menghubunginya dan meminta Yudha untuk menjemputnya.
Yudha menekan bel dan menunggu sejenak. Setelah beberapa detik, pintu terbuka, dan Riana muncul dengan senyum tipis.
"Sayang, kamu datang lebih cepat dari yang aku kira," kata Riana, sedikit terkejut melihat Yudha sudah tiba.
Yudha tersenyum lebar,. "Aku sengaja pulang lebih awal" ujarnya tersenyum merekah.
Namun, Riana terlihat sedikit serius. "Masuk dulu, Yudha. Ada yang perlu kita bicarakan," katanya, suaranya terdengar lebih tegas daripada biasanya.
Yudha sedikit terkejut mendengar itu. "Ada apa, Ri?" tanyanya, kebingungan.
Riana melangkah mundur dan membuka jalan untuk Yudha masuk. Setelah Yudha melangkah masuk, pintu ditutup perlahan di belakangnya.
Begitu masuk, Yudha langsung melihat Tari yang sedang duduk di sofa, dengan ekspresi serius menyilangkan tangan di dada.
"Aku permisi ya tari?" Ujar Yudha, sambil sedikit membungkuk dengan sopan, karena ia masuk ke dalam belum di persilahkan masuk oleh yang punya.
Tari hanya mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa. Riana menuntun Yudha untuk duduk di kursi yang ada di seberang Tari. "Duduk dulu, Yudha. Ada hal yang perlu kita bicarakan," kata Riana, suaranya kali ini lebih berat.
Yudha duduk dengan ekspresi wajah bingung nya. "Oke, ada apa, Ri? Kamu serius banget," katanya, semakin merasa ada yang tidak beres.
Riana menarik napas panjang, menatap Yudha dengan tatapan gelisah nya. "Yudha, ini tentang permintaan ibu," kata Riana, suaranya bergetar.
Yudha mengernyitkan dahi. "Ada apa lagi dengan ibu? tunggu.... Jangan-jangan ini soal idenya ibu " ujar nya dengan menatap Riana memastikan.
Riana menggenggam tangan Yudha, memulai cerita. "Yudha, dengarkan aku sebentar. Ibu memang memintaku untuk membujukmu untuk menikah lagi...aku sudah memikirkan solusinya seharian ini, dan tari juga ikut membantuku" ujar Riana sambil melirik kearah tari yang masih diam membiarkan pasangan suami istri didepannya bicara.
Tari yang sejak tadi diam, akhirnya membuka suara. "Yudha, kami sudah berpikir tentang hal ini. Riana pikir, kalau kita menikah, itu bisa menghentikan tekanan dari ibumu.tentu saja awalnya aku nggak setuju, tapi aku akan membantu kalian, untuk satu tahun ini , dan hubungan ini pun hanya status di depan keluarga kamu."
Yudha menatap Tari dengan kaget, mendengar penjelasannya."Tunggu, kamu mau aku menikah dengan Tari?" tanyanya, merasa kebingungan.
Riana menatap Yudha dengan serius. "Iya, Yudha. Kami tahu ini terdengar gila, tapi ini satu-satunya cara untuk menghentikan ibu. Kalian akan berpura-pura menikah, setidaknya perlihatkan itu di depan ibu , sampai dia menyadari dan berhenti menekan kita."
Tari menatap Yudha dengan tenang.
"Dan tenang saja, aku sudah memikirkannya, walaupun kita sudah menikah, aku tidak akan tinggal dirumah kalian,aku akan tetap tinggal disini."
Yudha terdiam, merasa sangat tertekan dengan pilihan yang ada di hadapannya. "Tapi... bagaimana kalau ada yang curiga? Apa yang harus kita lakukan kalau ini malah memperburuk keadaan?"
Riana menggenggam tangan Yudha dengan lembut, memberikan dukungan.
"Aku tahu ini bukan keputusan mudah, Yudha. Tapi aku nggak punya pilihan lain, aku lelah Yudha....aku lelah terus ditekan oleh ibumu, setidaknya lakukanlah hal ini demi aku."
Air mata pun mulai menggenang di mata Riana.
Tari menambahkan dengan serius, "Ini hanya untuk sementara, Yudha.setelah ibumu tau aku tidak mengandung juga, aku yakin ibumu akan segera menyerah dan semuanya akan kembali seperti semula."
Yudha memejamkan matanya, mencoba mencerna semuanya. "Aku nggak tahu...tapi kalau ini jalan satu-satunya.....mari kita coba lakukan ."katanya sambil mengangguk.
Riana tersenyum tipis, meskipun masih ada kecemasan di wajahnya. "Terima kasih, Yudha, tapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama."
Riana pun mulai memeluk erat tubuh suaminya yang balas memeluknya dengan lebih erat.
Tari langsung berdiri dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Tari tidak mau mengganggu momen sahabatnya.
Yudha dan Riana saling berpandangan, menyadari bahwa mereka akan menjalani hal besar ini bersama-sama.