NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:588
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Guncangan keras di punggung kuda membangunkan Sekar dari pingsannya. Matanya terbuka lebar, lalu ia segera menyadari kenyataan pahit bahwa dirinya telah diculik. Tangan, badan, dan kakinya terikat erat dengan tali yang kasar, membuatnya nyaris tak bisa bergerak. Ia mencoba menggeliat untuk melepaskan diri. Namun, tubuhnya sudah terikat erat dengan tubuh Yuda, sehingga mustahil baginya untuk kabur.

“Cih, lepaskan aku, Yuda!” Teriak Sekar melengking penuh amarah dan ketakutan.

Yuda hanya menghela napas. “Kau akan aku lepaskan nanti setelah kita sampai.” Ucapnya pelan dan sedikit tidak jelas.

“Apa? Kenapa kau bicara pelan-pelan begitu? Lepaskan aku sekarang juga!” Sekar membentak dengan mata menyala-nyala.

Yuda tetap diam dan tidak menghiraukan teriakan Sekar. Kuda mereka terus melaju untuk membawa Sekar menuju Amlapura yang merupakan ibu kota Karangasem.

Saat mereka mendekati kota, Sekar melihat sebuah benteng besar yang mengelilingi Amlapura dengan megahnya. Benteng itu terbuat dari campuran kayu, bambu dan batu, dilengkapi dengan pintu gerbang masif di setiap gapura perbatasan. Sekar mengerutkan kening karena heran. Untuk apa mereka membuat benteng sebesar ini? Apa yang mereka lindungi?

Begitu mereka memasuki benteng, seketika suasananya berubah drastis. Di luar benteng, suasananya terasa seperti kota mati yang sepi, sunyi, dan tanpa tanda-tanda kehidupan. Namun, di dalam benteng, keramaian kota Amlapura menyambut mereka. Sekar melihat para budak milik Ashura sedang bekerja di lahan pertanian dan diawasi oleh prajurit Karangasem yang berwajah garang. Pemandangan ini jelas mencerminkan bagaimana kejamnya Ashura dalam memperlakukan rakyatnya.

Setelah berkeliling cukup lama, mereka akhirnya tiba di sebuah kantor lapas yang menjadi markas Ashura. Sekar merasakan detak jantungnya semakin kencang. Ia tahu bahwa pertemuannya dengan Ashura ini adalah awal dari suatu musibah yang mengerikan.

Tidak lama setelah turun dari kuda, seseorang dengan perawakan seperti raksasa muncul untuk menyambut mereka. Ia berjalan perlahan dengan senyum mengintimidasi tersungging di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah bisa menembus jiwa Sekar. Orang itu adalah Ashura, pemimpin besar Karangasem.

“Hahahaha, lihat siapa yang sudah sampai di sini. Selamat datang di Amlapura, Dewa Ayu Sekar Kencana!” Sambut Ashura menggema penuh rasa kemenangan.

Wajah Sekar memerah padam. “Cih, apa yang akan kau lakukan padaku, Ashura?!” Tanyanya bergetar penuh kemarahan sekaligus ketakutan.

Ashura mendekat, lalu mengangkat dagu Sekar dengan paksa. Matanya menatap tajam, seolah ingin menaklukkan jiwa Sekar. “Oh, santai saja, tidak perlu takut. Aku tidak akan membunuhmu.” Ujarnya pelan namun penuh ancaman. “Kau akan jadi tawananku sampai aku berhasil mengalahkan aliansi. Setelah itu, mungkin kau akan menjadi istriku yang cantik dan patuh terhadap segala perintahku.”

Rasa jijik dan kemarahan seketika memenuhi hati Sekar. “Hah! Jangan terlalu pede, Ashura! Aditya dan Aliansi pasti akan mengalahkanmu!” Teriaknya dengan mata menyala-nyala.

Ashura tertawa lepas mendengar ocehan Sekar, sebelum akhirnya berbalik dan menyerahkannya kepada dua anak buahnya. “Bawa dia ke kurungannya.” Perintahnya dingin dan singkat.

Sekar digiring ke dalam sebuah ruangan berjeruji yang gelap dan sempit. Kurungan itu hanya dilengkapi dengan tikar usang untuk tidur dan obor kecil yang nyaris tak mampu menerangi kegelapan. Udara lembab dan bau apek memenuhi ruangan, membuat Sekar merasa semakin tertekan.

Begitu pintu kurungan terkunci, Sekar meraih jeruji besi di hadapannya. Tangannya menggenggam erat dan matanya berkaca-kaca. Ia berbisik pelan dengan penuh harap dan ketakutan “Selamatkan aku, teman-teman…”

...***...

Pada malam hari, udara di Amlapura terasa dingin hingga menusuk tulang. Langit gelap yang ditutupi awan debu seolah ikut menyelimuti suasana mencekam kota itu.

Di sebuah lapangan yang luas, Ashura dan pasukannya terlihat berkumpul mengelilingi api unggun besar yang menjilat-jilat ke angkasa. Nyala api itu memantulkan bayangan wajah-wajah garang para prajurit, menciptakan siluet yang menyeramkan. Saat ini, mereka sedang merayakan keberhasilan operasi penculikan Sekar, yang merupakan dalang dari kekalahan-kekalahan mereka.

Ashura, dengan langkah penuh wibawa, naik ke podium yang terbuat dari kayu kasar. Sorot matanya tajam, memandang ke arah pasukannya yang berkerumun di bawah. Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Suara gemuruh perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang menegangkan.

“Para prajuritku yang setia,” suara Ashura menggema, “hari ini adalah hari kemenangan bagi kita semua. Orang yang selama ini menjadi dalang di balik kegagalan-kegagalan kita, akhirnya berada di dalam genggaman kita!”

Sorak sorai membahana. Para prajurit mengangkat senjata mereka dengan wajah dipenuhi kebanggaan dan semangat yang membara. Mereka saling merangkul, menepuk dada seperti gorila, dan berteriak penuh kemenangan.

Ashura tersenyum tipis menikmati euforia yang ia ciptakan. Ia melanjutkan dengan suara yang semakin menggelegar. “Dengan Sekar berada di tangan kita, pertempuran melawan Aliansi akan jauh lebih mudah! Maka dari itu, kobarkan lagi semangat kalian karena kemenangan sudah di depan mata!”

Pasukan Karangasem semakin bergemuruh. Teriakan “Ashura! Ashura!” memenuhi udara malam. Beberapa prajurit bahkan ada yang bernyanyi, sehingga menciptakan irama yang memacu adrenalin.

Ashura kembali mengangkat tangan untuk menenangkan prajuritnya. Setelah semuanya kondusif, ia melanjutkan pidatonya dengan suara yang lebih rendah. “Ketika berhasil menguasai seluruh pulau ini, aku jamin tidak akan ada lagi kemiskinan. Tidak akan ada lagi penindasan. Tidak akan ada hirarki yang memisahkan kita. Di bawah kepemimpinanku, kalian akan hidup setara. Kita akan membangun peradaban baru, peradaban yang adil dan makmur!”

Sorak sorai kembali pecah, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Wajah-wajah prajurit dipenuhi harapan dan keyakinan, seolah mereka percaya pada visi Ashura.

“Maka, sebagai permulaan,” teriak Ashura penuh semangat, “marilah kita berpesta malam ini!”

Lapangan Amlapura seketika berubah menjadi pesta besar. Para prajurit bernyanyi dan menari-nari di sekitar api unggun. Sementara itu, beberapa ada yang duduk berkelompok untuk menikmati hidangan daging dan minuman keras. Ada juga yang mengadakan adu tinju kecil-kecilan yang disaksikan oleh para prajurit lain.

Namun, di tengah keriuhan itu, Ashura tetap duduk di atas podium. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun matanya yang tajam memancarkan suatu niat yang lebih dalam. Ia memandang ke arah pasukannya yang sedang bersenang-senang, seolah melihat sekumpulan anak kecil yang mudah dibodohi.

“Hahaha, orang-orang bodoh.” Gumamnya pelan dengan suara yang hampir tak terdengar.

...***...

Keesokan harinya, saat fajar mulai menyingsing, Ashura mengunjungi Sekar di kurungannya. Ia berdiri di luar jeruji besi, mengamati tahanannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Sekar terlihat duduk bersila di tengah sel yang gelap dengan mata terpejam seolah tengah bermeditasi.

“Oh? Apa yang sedang kau lakukan di sana?” Tanya Ashura dengan nada menggoda penuh ketertarikan.

Sekar membuka matanya perlahan, lalu melirik ke arah Ashura dengan pandangan dingin. “Kau nggak lihat aku sedang bermeditasi, bodoh?” Jawabnya dengan nada sarkastik.

Ashura tertawa kecil. “Meditasi, ya? Baiklah, mungkin kau butuh pemandangan yang lebih menenangkan.” Ia menoleh ke arah sipir penjaga. “Bawa dia ke keretaku.”

Sekar langsung berdiri dengan mata yang melotot. “Heh? Kemana kau akan membawaku?!” Tanyanya sedikit membentak.

Ashura tersenyum, lalu menjawab dengan singkat. “Kita akan melihat matahari terbit di pantai.”

Sekar digiring oleh pengawal Ashura menuju kereta kuda yang megah. Saat memasuki kereta, Sekar tak bisa menahan diri untuk mengamati interiornya. Kereta itu jauh lebih besar dan mewah dibandingkan miliknya, dengan ukiran kayu yang rumit dan kursi yang empuk. Hal itu masuk akal mengingat postur Ashura yang tinggi besar seperti raksasa.

Menyadari Sekar sedang mengamati keretanya, Ashura bersandar di kursinya dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. “Terkesan?” Tanyanya penuh percaya diri.

Sekar memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan kekagumannya. “Hmph! Biasa aja.” Jawabnya kesal.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ashura menoleh ke jendela. Matanya menyipit saat melihat keributan di kejauhan. Seorang budak terlihat sedang memukuli dua prajuritnya dengan gerakan yang kasar dan penuh amarah.

“Berhenti!” perintah Ashura kepada kusirnya. Kereta berhenti dengan perlahan, lalu Ashura turun dengan langkah berat. Sekar, yang duduk di dalam, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Oi, apa yang kau lakukan di sana, hah?!” Bentak Ashura saat mendekati tiga orang yang sedang bertengkar itu.

Begitu melihat Ashura mendekat, ketiganya langsung membeku dengan wajah pucat ketakutan. Dua prajurit itu gemetar, sementara budak yang memberontak itu terlihat mencoba melawan rasa takutnya.

“Kalian berdua, jelaskan apa yang terjadi.” Perintah Ashura dingin dan mengintimidasi.

Dua prajurit itu saling pandang karena ragu untuk berbicara. Akhirnya, salah satu dari mereka membuka mulut dengan suara gemetaran. “Uh… Orang ini… Memberontak. Dia melawan kam—”

BRAK! Sebelum prajurit itu selesai berbicara, Ashura sudah melayangkan tinjunya ke arah budak itu. Pukulan telaknya menghantam wajah budak tersebut dengan kekuatan yang luar biasa, hingga membuatnya terlempar beberapa meter. Tubuh budak itu tergeletak tak bergerak dengan darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Budak itu tewas seketika.

Ashura menghela napas, lalu memperbaiki posisi tangannya yang masih terkepal. Ia menoleh ke arah dua prajuritnya dengan mata menyala-nyala. “Siapapun yang melawanku pantas untuk mati. Jadi, jika kalian menemukan ada budak yang memberontak lagi, pastikan kalian membunuhnya saat itu juga. Mengerti?!” Suaranya menggema penuh kemarahan.

“M-mengerti, pak!” Jawab dua prajurit itu serempak dengan ketakutan.

Ashura kembali ke keretanya, lalu duduk dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa. Sekar, yang menyaksikan semua itu dari dalam kereta, gemetar ketakutan. Tangannya mencengkeram erat bantal di pangkuannya untuk mencoba menenangkan diri. Ia baru saja menyaksikan betapa mengerikannya kekuatan Ashura.

Kereta kembali bergerak membawa mereka menuju pantai. Namun, suasana di dalam kereta kini terasa lebih berat. Sekar tak bisa mengarahkan pandangannya pada Ashura yang terlihat begitu menyeramkan setelah aksi pembunuhannya tadi.

...***...

Setelah tiba di pantai, Ashura mengajak Sekar duduk di atas sebuah batu besar yang terletak di tepian pasir. Mereka menatap ke arah timur, di mana matahari perlahan mulai menampakkan diri. Cahaya kemerahan menerobos awan debu yang menyelimuti langit, menciptakan gradasi warna jingga yang memukau. Namun, keindahan itu seakan tak mampu menenangkan hati Sekar yang masih dipenuhi rasa ketakutan.

“Oi, Ashura” Ucap Sekar tiba-tiba, sambil menatap langit yang memerah. “Aku masih nggak ngerti. Kenapa semua prajuritmu itu mau-mau aja jadi bawahan bagi orang yang nyeremin dan brutal seperti kau?”

Ashura tertawa dengan suara yang berat. “Itu karena mereka adalah orang-orang bodoh,” jawabnya sambil ikut menatap ke arah matahari terbit. “Mereka telah mengikutiku sejak aku masih menjadi ketua ormas ‘Amlapura Santhi’ hingga sekarang.”

Ia berhenti sejenak, seolah menikmati kenangan masa lalunya. “Mengatur mereka adalah perkara yang mudah. Berikan saja mereka rasa takut setiap hari, serta sedikit pujian ketika mereka berhasil mewujudkan tujuanku. Dengan begitu, mereka akan tetap patuh padaku selama aku masih hidup.”

Sekar mengerutkan kening dan tatapannya sinis. “Lalu, apa motif di balik ambisimu menguasai Pulau Bali?” Tanyanya jutek, namun juga penasaran.

Ashura berdiri perlahan. Tubuhnya yang besar itu seketika menghalangi pemandangan matahari terbit. Ia menghadap Sekar dengan senyuman penuh intimidasi. “Kalau kau penasaran, biar aku beritahu.” Ujarnya dengan suara rendah yang mengancam.

“Pada dasarnya, aku adalah orang yang gila kekuasaan.” Lanjut Ashura dengan mata seolah menatap jauh ke masa lalu. “Dahulu, aku sempat mencalonkan diri sebagai Bupati Karangasem untuk mendapatkan kekuasaan. Akan tetapi, lawan politikku saat itu memiliki lebih banyak pengikut dibandingkan aku.”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap ke langit. “Sadar akan kekalahan yang ada di depan mata, aku memerintahkan para pengikutku untuk membunuh lawan politikku dan menyembunyikan jasadnya sebaik mungkin. Berkat hal itu, aku berhasil menjabat sebagai Bupati Karangasem selama dua tahun.”

Tiba-tiba, ekspresi Ashura berubah. Urat-urat di pelipisnya mulai menonjol, penuh kemarahan yang terpendam. “Akan tetapi, setelah dua tahun masa jabatan, kejahatanku akhirnya terungkap. Pihak kepolisian berhasil menangkapku, lalu menjebloskanku ke penjara.” Ucapnya gemetar penuh kebencian.

Ashura berbalik menghadap ke arah matahari terbit. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit, seolah memproklamirkan dirinya sebagai penguasa. “Ledakan nuklir yang memicu musim dingin global ini, seakan memberiku kesempatan untuk membangun peradaban baru. Sebuah peradaban dengan aku sebagai pemimpin absolutnya! Karena itulah, aku tidak ragu untuk mendeklarasikan perang dan menaklukkan seluruh wilayah Bali!” Teriaknya menggema seperti orang yang telah kehilangan akal sehat.

Ia berbalik lagi untuk menghadap Sekar. Matanya yang tajam menatap dengan intensitas yang membuat bulu kuduk merinding. Ashura mendekat, lalu mengangkat dagu Sekar dengan paksa.

“Kau tidak lebih dari seorang tawanan yang aku gunakan untuk melemahkan Aliansi.” Ucap Ashura dengan suara berat. “Setelah aku berhasil menguasai seluruh Bali, apa yang akan terjadi padamu tergantung pada keinginanku saja. Kau bisa saja aku nikahi, bisa saja aku bunuh, atau bisa saja aku jadikan alat pemuas. Intinya, nasibmu bergantung pada keinginanku.”

Sekar hanya bisa terdiam dengan mata yang melotot ketakutan. Jantungnya berdebar kencang, serta napasnya tertahan. Di dalam hatinya, ia berdoa dengan penuh harap. “Ya Tuhan, hamba mohon, berikanlah kemenangan dan keselamatan kepada Aditya, Aryandra, dan Wibisana agar mereka bisa menyelamatkan hamba dari cengkeraman raksasa ini.”

Ilustrasi Tokoh:

...Ashura Mahamurti...

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!