Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga
Keadaan meja makan tidak akan pernah berubah. Itu yang Kania yakini sejak dirinya menginjak kelas satu SMA. Tempat di mana seharusnya ia merasa sebuah kepercayaan bisa dia pegang dengan kuat. Tempat di saat dirinya bisa merasakan kebebasan dunia seperti yang Raihan rasakan selama ini.
"Kak Kania, aku mau tambah nasinya."
Suara pelan yang keluar dari bocah berumur depalan tahun itu membuat lamunan Kania buyar. Ia mengangguk dengan senyuman, kemudian menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring adiknya itu.
"Raihan belum pulang, pah?"
Farhan, pria yang susah berkepala empat itu menggeleng. Ia mengambil piring ya, kemudian duduk di meja makan, tempat di mana biasanya kepala keluarga duduk tenang dan dilayani oleh istri serta anak mereka.
"Masih main kayaknya dia ya?" Mamanya itu kembali menebak.
Rachel menghela napasnya, kemudian menyiapkan nasi kedalam mulutnya dan mengunyahnya pelan.
"Pa, ma..." Ia bersuara pelan. Kania mendongakkan kepalanya menatap pada dus orang yang sudah memberi tatapan bertanya padanya." Besok Kania boleh main?"
"Ke club' lagi?!" Elia, mamanya sudah lebih dulu meninggikan suaranya sebelum Kania menyebutkan ke mana ia akan pergi besok.
"Eng-"
"Kamu itu sudah SMA, Kania! Fokus dengan sekolah! Nilai kamu masih cewek begitu banyak maunya!" Elia kembali bersuara tajam.
"Cari kerja, Kania! Belajar mencari uang sendiri, supaya kamu tahu susahnya hidup kalau kamu hanya tahu main saja!"
Kania mendesah, kemudian mengangguk pasrah. Padahal beberapa detik yang lalu Elia baru saja memaklumi ketidak-hadiran Raihan di meja makan, karena laki-laki itu masih sibuk main di luar sana. Atau mungkin Kania pergi saja tanpa izin?
Beginilah kehidupan Kania, hidup sebagai anak tengah yang memiliki kakak juga adik laki-laki. Menjadi satu-satunya anak perempuan yang selalu diibaratkan oleh banyaknya harapan orang tua padanya. Tetapi di saat semakin banyak harapan, di saat itu juga dirinya merasa tertekan. Kemampuannya dengan apa yang diharapkan tidak pernah seimbang dan selalu berimbas pada hatinya yang menanggung beban berat kala mulut pedas mamahnya menyahut atau bahkan lemparan barang-barang yang membuatnya kesal sendiri.
Dan inilah Kania, gadis yang hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada sebatang rokok atau bahkan minuman beralkohol. Kehidupannya tidak semewah gadis-gadis di luar sana, tetapi tidak juga sesulit itu sampai membutuhkan sebuah perhatian lebih. Dia bisa hidup dengan beberapa kemewahan juga kesusahan, anggap saja dia hidup dengan cukup saat ini.
Ia adalah gadis yang harus belajar untuk melebarkan hati sejak delapan tahun yang lalu, tepatnya saat adik laki-lakinya hadir di dunia ini. Jujur, ia akan selalu menyesal karena Tuhan memberikan anugerah itu kepada kehidupannya. Tetapi mengingat itu adalah sebuah anugerah, maka ia akan berusaha membuka lebar hati untuk Rian adiknya.
Di dalam keluarganya, bukan Raihan atau Rian yang dingin, melainkan Kania. Gadis yang selalu merasa lelah dengan kehidupannya, sampai-sampai dia tidak bisa disentuh oleh siapapun. Bahkan Raihan pun tidak berani mengajak bicara Kania jika itu bukan sesuatu yang penting.
Suara ketukan pintu dibarengi dengan sebuah salam dan pintu pun terbuka membuat Kania mengalami nafasnya. Ketidakadilan akan dimulai dalam beberapa detik dari sekarang, pikirnya.
"Baru pulang, bang?" Elia bersuara rendah. Wanita itu meninggalkan meja makan untuk menghadiri putra sebelumnya itu dan membantu laki-laki yang satu tahun lebih tua dari Kania itu untuk apa segala atribut sekolahnya.
Raihan mengangguk.
"Abang lapar gak?"
"Abang udah makan."
Elia mengangguk." Jangan berantem lagi, bang. Emang nggak sakit itu wajahnya?" Wanita itu terlihat khawatir. Jangan heran mengapa dirinya santai dengan luka-luka di wajah Raihan, karena siang tadi Raihan sudah mengirimnya pesan juga foto wajah Bapak blurnya itu.
"Ya sudah kamu mandi sana, terus istirahat."
Begitulah indahnya kehidupan menjadi anak sulung di keluarga kecil ini. Serasa seperti raja yang memiliki kekuasaan.
Elia kembali duduk di tempatnya. Wanita itu kembali menggenggam sendok dan garpunya beberapa saat sebelum kembali menjatuhkannya dan membuat kebisingan di meja makan.
"Kania!" Elia menyentak.
"Kamu bisa nggak sih Jadi adik yang benar?! Abang kamu babak belur kayak gitu bukannya kamu obatin malah kamu pergi ninggalin dia!"
Kania memejamkan kedua matanya, ternyata Raihan juga menceritakan bagian itu.
"Abang bukan anak kecil-"
"Berani melawan kamu ya?!"suara Elia kembali naik satu oktaf.
"Gimana kamu mau jadi contoh yang baik buat Ryan kalau kelakuan kamu aja kayak gini?!"
Farhan mendesah pelan." Rian, makanya dilanjut nanti nggak papa?" Tanya ya kemudian mengajak putra kecilnya itu untuk naik ke lantai dua rumahnya.
Kania terhenyak. Seandainya mulutnya mampu mengeluarkan sepatah kata saja, mungkin Dia sudah menjadi Kania yang baru. Tetapi berhubungan lidahnya kembali keluh saat mendengar suara tajam dan menusuk itu, tandanya dia masih jadi Kania yang sama.
"Kamu tuh bisanya apa sih, Kania?!"
Kedua matanya mulai terasa panas juga basah. Kania paling benci kalah dirinya tidak bisa membalas semua ucapan itu. Ia benci ketika rasa sesak itu lebih kuat dibandingkan rasa ingin nya untuk memberontak dan membalas.
"Ulangan minggu depan kasih lihat mama semuanya! Kalau ada satu nilai yang merah! HP kamu mamah sita!"Elia berucap tajam kemudian hilang di balik tembok anak tangga.
Pembicaraan malam ini selesai, selesai dengan memberikan rasa sesak yang baru yang membuat Kania kacau dengan pikirannya lagi dan lagi.
____
"Karel kampret!" Fabian kembali memakai kemudian melempar sepatu putihnya supaya terarah pada Karel yang baru saja berlari menjauh darinya.
Sejujurnya, Fabian lelah menjadi teman juga sepupu dari Karel, laki-laki dengan sifat dingin yang seringkali memuji iman. Sejujurnya tidak masalah jika hanya dingin. Tetapi kalau dinginnya Karel disatukan dengan kejahilan dan tidak mau di salahkan, rasanya Fabian ingin menyudahi hubungannya dengan Karel sebagai sepupu.
Seperti barusan contohnya, gimana tanpa berperasaan Karel melempar kunci mobilnya ke tengah kolam renang yang berada di rumah laki-laki itu. Jika saja dirinya tidak berpakaian rapi, mungkin dirinya akan mengalah dan memilih berenang malam-malam. Tapi mengingat setelah ini ia akan pergi ke sebuah klub bersama Karel dan juga Raden, jadi dia mengurungkan niatnya.
"Bangsat!" Makinya lagi, kemudian memilih beranjak dari halaman belakang yang sangat teramat luas itu.
Hari ini memang sudah dijadwalkan untuk mengadakan makan malam keluarga yang berkesinambungan bagi keluarga mereka dan itu adalah alasan mengapa Fabian berada di kediaman Karel.
"Kamu dari mana, Fabian?"
Suara berat yang muncul dari belakang setelah kakinya menapak pada lantai marmer mewah itu membuatnya memutar badannya. Pria dengan balutan kaos hitam yang baru saja bertanya itu berjalan mendekat ke arahnya.
"Om, Karel!" Keluhnya bersuara seperti anak kecil." Kunci mobil aku dilempar-"
"Ke kolam renang lagi?"tebak pria yang berusia empat puluh tiga tahun itu.
Fabian mengangguk pasti." Beneran deh ya ,Om! Kalau besok aku bakar mobil sia jangan marah ya!" gerutunya.
Praja-pria itu terbahak mendengar penuturan anak dari sepupunya itu." Nanti Om marahin ya, Fabian. Kamu pakai mobil Om dulu aja kalau mau pergi-"
"Serius om?" Kedua mata Fabian berbinar seketika.
Praja mengangguk." Mau yang mana?"
"Yang kuning aja om, boleh?"
Praja kembali terkekeh dan mengangguk." Boleh, hati-hati ya!"
"Asik! Makasih banyak om!" Fabian berseru heboh." Sering-sering deh si Karel aku suruh lempar kunci mobil ke kolam renang!"ujar Fabian bercanda, dan sukses malah ngundang gak ketawa Praja.
"Enak ya!" Karel yang kembali hadir dari arah lain itu bersuara sinis."anaknya sendiri kalau mau minjem aja banyak banget alasannya." Ujar Karel sarkastik.
Seperti yang selalu dikira oleh orang lain, beginilah asyiknya kehidupan keluarga mereka. Tertata, tanah dan penuh dengan keceriaan. Pertengkaran memang selalu terjadi, tetapi itu hanya sebatas beradu. Tapi jika yang selalu terjadi pada Karel, itu adalah dengan pribadi yang sama-sama dirasakan dua remaja yang terkait.
"Muka kamu tuh benerin! Seneng banget sih berantem, heran!" Praja balik mengomel."Kalau kamu ketahuan Mama, kelar udah!"
Karel memandikan bahunya tidak peduli."Mamah juga udah tahu kok," akunya dengan enteng." Kalau papa ketahuan sama mama berbuat tidak adil, papa juga kelar tuh!" Balas Karel balik mengancam papahnya dengan angkuh.
"Udah Fabian, mobilnya buat kamu aja!" Praja berseru di detik selanjutnya. Biarkan saja jika Karel meraung nantinya, siapa juga yang menyuruh laki-laki itu bertindak angkuh pada dirinya yang berstatus sebagai ayah kandung dari laki-laki itu.
"Beneran om?!" Fabian heboh sendiri.
Tidak sesuai ekspektasi Praja, di mana dirinya mengira Karel akan marah atau bahkan memohon padanya. Yang terjadi justru selanjutnya Karel malah beranjak dari tempatnya, tidak peduli dengan apa yang terjadi barusan. Sepertinya tidak ada satupun anggota keluarga mereka yang pernah memiliki sifat sedingin Karel seperti ini. Lantas dari mana Karel mendapatkannya?
"Gak jadi deh." Praja menyahut dengan cepat. "Minta aja mobil baru sama papa kamu." lanjutnya dengan senyuman lebar. Tidak peduli jika pada kenyataannya Fabian mencebik sebal.
"Om pemberi harapan palsu!" Fabian menggerutu.
Praja terkekeh." Kamu pinjam aja, kembalikan ke sini semau kamu.." pria itu menghentikan ucapannya sejenak." Asal jangan tahun depan!" Udah pada memperingati Fabian.
"Siap om!"
Bukan kak asik menjadi bagian dari keluarga mereka? Kekayaan yang tidak terhingga, keluarga yang bisa memberikan rasa nyaman dan seperti rumah pada umumnya. Tentu saja hal itu selalu menjadi dambaan orang lain.
"Raden di mana, Yan?" Kini Praja bertanya.
"Di depan sama papa."
Praja mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya dengan pasti menuju halaman depan rumahnya. Dulu setiap makan malam yang direncanakan keluarga mereka adalah ajaran mewah yang mengundang banyak tamu. Tetapi sekarang, acara seperti itu sudah jarang terjadi dan lebih sering mengadakan acara makan malam khusus keluarga inti.