Ima mengalami hal yang sangat luar biasa pada kehidupan nya yang beranjak dewasa. Dia baru tahu bahwa cinta harus memandang usia, uang, kualitas, fisik bahkan masih banyak lagi. Hal itu membuatnya bimbang akan pilihan kedepan nya bagaimana dia menemukan sesosok pria yang begitu baik untuk menemani kehidupan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khara-Chikara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Hari berikutnya, masih sama di rumah sakit.
"Ima... Ini waktunya pulang," kata Regis yang masuk ke ruangan Ima dan Ima sedang duduk di ranjang membaca buku.
"Pulang?" Ima langsung menoleh.
"Ya, kau sudah lebih baik kan?"
"Ummm ya, ini lebih baik, aku sudah sembuh..." tatap Ima.
"Baiklah, aku akan bilang pada dokter, tunggulah sebentar."
"Bagaimana dengan ibu? Apa ibu tahu?"
"Belum, ibu mu sedang ada di rumah, jangan khawatir, aku membawa mobil tadi," balas Regis, ia lalu berjalan pergi membuat Ima terdiam. "Benar juga, Mas Regis punya mobil, dia bisa membawaku maupun mengantar ku kemanapun, tak hanya mobil, dia juga punya motor, kenapa aku baru bertanya tanya sekarang soal uang Mas Regis."
Ketika Regis akan berjalan menemui dokter yang akan mencabut selang infus milik Ima. Tiba-tiba ponsel nya berbunyi panggilan membuat nya berhenti berjalan dan melihat dari nama kontak itu yang sepertinya penting.
Dia mengangkat ponsel nya dengan tatapan serius. "Bagaimana dengan informasi soal Sheniok?" dia yang langsung bertanya benar-benar menganggap orang yang menghubungi nya memiliki info soal Sheniok.
Dia seperti bicara soal Sheniok dan bagaimana mengetahui informasi soal Sheniok sendiri dan sekarang orang yang ada dalam panggilan itu menjawab.
"Sepertinya ada kendala di sini, kau bilang kantor Sheniok ada di gedung 57, tapi sepertinya dia tidak ada di sini, pihak yang menggantikan nya bilang bahwa dia pergi Korea dan pindah di sana," kata suara itu membuat Regis mengepal tangan.
"Sialan.... Setelah melakukan hal yang sangat kejam pada Ima, dia benar benar malah pergi begitu saja, aku tak bisa memaafkan nya... Aku ingin membunuhnya langsung. Tinggalkan saja, setelah hal ini, aku akan kembali ke Korea... Mengurus semuanya... Agar aku bisa langsung ke Jepang lagi...." kata Regis.
"Ya, baiklah," suara itu membalas.
Setelah itu, tampak dokter menutup luka di tangan Ima karena selang cairan yang sudah dilepas. "Hati-hati di jalan," tatap nya.
"Ya, terima kasih," Ima membalas dengan ramah, ketika dia akan turun, Regis mendekat, ia langsung merentang tangan.
"Pft... Apa yang kau lakukan?" Ima menatap.
"Menggendong mu, ayo.... Aku tak akan membiarkan mu jalan," kata Regis.
"Haha... Pasangan yang serasih, dan juga, pria nya baik," kata dokternya, ia lalu berjalan pergi membuat Ima masih terdiam.
Tapi Ima ingat perkataan ibu nya. "Setelah kalian menikah nanti, kau tidak akan malu lama kelamaan, karena malu itu hanya menghambat kehangatan kalian nantinya."
"Aku ingat ibu menambahkan kata itu... Kalimat itu mudah di mengerti, pelukan adalah sebuah kehangatan dan rasa malu ini, jika terus di pikirkan hanya akan mengganggu... Jadi mungkin, aku akan menerima nya," akhirnya Ima menghilangkan rasa malu itu, ia menghela napas panjang dan mendekat ke Regis memeluk leher Regis dengan melingkar kan tangan nya di leher Regis yang menggendong nya.
Regis memang menggendong nya tapi rasanya seperti sebuah pelukan yang sangat. "Aku suka ini," Ima mengeratkan tangan nya.
Lalu Regis meletakan Ima di kursi mobil dekat supir. "Baiklah, kamu baik-baik saja bukan?" Regis menatap sambil memasangkan sabuk pengaman Ima.
"Ya..." Ima membalas sambil mengangguk.
Lalu, Regis mencium kening Ima dan menutup pintu. Dia kembali masuk ke bangku sopir dan menyalakan mobilnya.
"Ima... soal ayahmu... maksudku... Sheniok, sepertinya dia pergi ke Korea tanpa minta maaf padamu," kata Regis dengan ragu. Kedua tangannya sudah memegang kemudi dengan tenang, tapi wajahnya tampak khawatir menatap Ima yang mendengar itu tadi dan menjadi agak kecewa.
Ima sempat membuang wajah, tapi ia kemudian menghela napas panjang layaknya benar-benar sudah menyerah akan suatu hal. "Biarkan saja... Aku tahu dia bukan orang yang baik, dan aku sudah tahu akan berakhir seperti ini..."
"Apa kau tidak trauma?" tanya Regis pelan.
"Kalau dibilang begitu, mungkin iya... Tapi aku sudah tahu dia orang yang seperti apa. Meskipun aku sudah tertembak olehnya, aku bersyukur masih bisa hidup dan akan menantikan permintaan maafnya untukku maupun untuk Ibu..."
"Ima, kau terlalu menanggung banyak beban. Kau punya aku sekarang. Aku bisa membantumu kapan saja. Selama aku masih di sini, ceritakan saja semuanya dan mintalah bantuanku jika kau butuh," kata Regis, membuat Ima masih terdiam.
Tapi Ima melihat tangan Regis menyentuh pahanya pelan, membuatnya menatapnya. Regis melakukan itu agar Ima menatap ke arahnya.
"Ima, katakan saja padaku, oke?" ujar Regis sambil menatapnya.
Lalu Ima mengangguk pelan. "Aku tahu sikap Mas Regis sangat baik. Dia benar-benar menawarkan bantuan lebih baik dari apa pun. Tapi aku merasa menjadi orang yang menyusahkannya. Dia sudah bersikap baik saja sudah membuatku percaya padanya..."
"Oh, ngomong-ngomong, aku berencana juga ke Korea untuk... yah, kau tahulah, pekerjaan."
"Ya, aku tahu itu. Pekerjaannya Mas Regis memang harus begitu. Aku akan menunggu kok. Jadi, dia pergi, ya... Meskipun aku berkata begitu, aku agak kecewa. Jika dia pergi, siapa yang akan menjagaku dan menemaniku dalam sedih maupun senang...? Hanya dia yang melakukannya selama ini, setelah Ibu..."
"Tapi... Aku jadi tidak bisa menunjukan mu rumah ku..."
"Rumah mu?"
"Ya, aku punya rumah di Jepang ini juga, mungkin kamu bisa ke sana sendiri tanpa aku, rumah itu juga besar dan mungkin kau bisa tinggal dengan ibu di sana, karena rumah itu kosong."
"Eh, tidak perlu, jangan begitu, eh kosong? kenapa kamu membeli rumah jika tempat nya kosong?"
"Haha, aku menggunakan nya untuk menyimpan barang-barang ku, seperti mobil dan motor ku dan yang lain nya... Di Korea aku juga punya sama, ketika kita menikah nanti, tinggal pilih tempat tinggal mana yang kau sukai," kata Regis.
Seketika, Ima yang mendengar itu menjadi terkejut dan langsung berwajah merah. "Me-menikah... Aduh... Dia membahas itu lagi... Gimana ini... Hati ku benar-benar panik, apakah ini rasanya sudah dimiliki pria yang begitu pengertian," Ima benar-benar memerah meledak.
"Oh soal cincin pertunangan yang belum kita miliki, kita sudah lama tidak mampir di toko yang menjanjikan bukan, tapi aku punya toko lain... Lebih bagus dan pastinya cocok, tapi sayang nya ada di Korea, mungkin aku akan membelinya ketika aku di Korea, hanya berikan aku ukuran jari mu saja ya Ima," kata Regis menatapnya.
"Um... I-iya... Ba-baiklah... Aku mungkin akan sedih saat dia pergi…" Ima diam-diam merubah ekspresinya menjadi kecewa.
Setelah sampai di rumah, Regis menghentikan mobilnya. Dia keluar dan berjalan memutar untuk membuka pintu Ima. Ia akan membawa Ima, tapi mendadak Ima menghentikannya.
"Hei, apa yang ingin kau lakukan?" Dia berwajah merah juga.
Regis terdiam bingung dan menjawab, "Membantumu..."
"A... aku bisa sendiri, percayalah..." Ima menatap malu.
Tapi mendadak dia terkejut melihat wajah Regis yang berubah menjadi serius, bahkan tatapannya tajam.
"Ima, jangan buat seolah-olah aku tidak peduli padamu... Apa kata Ibu nanti jika dia melihatku membiarkanmu berjalan?" Tatapannya membuat Ima terdiam ragu hingga ia mengulurkan tangan, memeluk leher Regis, dan Regis membawanya di dada.
"Maafkan aku, aku tidak bisa bersikap seolah-olah aku mengalami ini berkali-kali... Aku masih belajar..." tatap Ima.
"Apa yang kau bicarakan?" Regis menatapnya kembali dengan bingung.
"Kau pasti kecewa karena aku selalu bersikap tidak enakan... Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan..."
"Hei, ini baik-baik saja. Bukankah aku sudah berniat akan mengajarimu? Kita juga sama-sama belajar, karena itulah kita membangun hubungan perlahan... Jangan khawatir, Ima, ini baik-baik saja... Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu mengerti..." kata Regis.
Ima yang mendengar itu menjadi terdiam, tenang. Dia juga tersenyum senang dan memeluk erat Regis.
"Haha... Apa yang kau lakukan, hm?" Regis merasakan pelukan erat Ima.
Lalu Ima berbisik dengan wajah malu. "Aku suka aroma Mas Regis... Kau sangat hangat..."
"Benarkah? Aku baru saja merokok, dan apakah aku tidak berlebihan memakai parfum pria? Kebiasaan buruk ini bahkan membuat gadis ini terlihat suka padaku." Regis tersenyum kecil. Mendadak, dia juga memeluk erat Ima, membuat Ima terkejut merasakannya.
Lalu Regis berbisik, "Aku juga suka aromamu... Aroma yang wangi..."
Seketika Ima berwajah merah dan hampir meledak. "Jangan lakukan itu! Aku malu!!"
"Hahaha... Kenapa? Bukankah kau melakukannya padaku?"
Sementara itu, ibu Ima membaca sebuah brosur di sofa. Ia kemudian mendengar suara dari mereka, membuatnya berdiri dari sofa dan berjalan membuka pintu. Rupanya, Regis berjalan mendekat, dan kebetulan ibu Ima membuka pintu.
"Ah, Ibu..." Regis yang mengetahui duluan sebelum Ima. Ima terkejut menoleh dan dia berwajah malu. "Ibu..." tatapnya.
Tapi ibunya tersenyum lembut dan mundur. "Masuklah..." Dia meminta Regis masuk, lalu Regis membawa Ima masuk.
Dia meletakkan Ima perlahan di sofa, lalu duduk di sampingnya. Ibu Ima juga mendekat.
"Regis, terima kasih sekali lagi..." tatapnya dengan tenang, membuat Regis mengangguk dan merangkul Ima terang-terangan, membuat Ima terkejut dan menutup wajah malu.
Regis dan ibu Ima yang melihat sikap polos Ima tampak tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, Regis, kami benar-benar tak tahu lagi harus mengatakan apa. Kau membantu kami sangat banyak, dan sampai saat ini... Kau masih suka pada Ima?" tatap ibu Ima.
Regis terdiam mendengar pertanyaan itu. Lalu ia menatap ke Ima, yang juga dengan wajah malu menatapnya. Itu membuat Regis mencari jawaban hingga ia menjawab, "Tidak hanya Ima, aku juga akan menyayangi Ibu..." Tatapnya membuat ibunya terkejut mendengar itu.
"Ini baik-baik saja, kan, Ima?" Regis menatap Ima.
"Itu justru lebih baik-baik saja... Ibuku akan menjadi ibumu juga..." tatap Ima, membuat ibu Ima yang mendengarnya menjadi tersenyum senang. Dia bahkan terharu mendengar itu dan hampir menangis, membuat Regis terkejut.
"Ibu, kau baik-baik saja?" Ia bahkan menatap panik, hendak beranjak.
"Ini baik-baik saja... Sebenarnya, setelah aku mengalami konflik dengan Sheniok, aku selalu takut Ima akan mendapatkan pria yang sama sikapnya seperti Sheniok, dan akhirnya dia akan berakhir sama sepertiku..." ucapnya, membuat Regis terdiam mendengar itu.
Tapi ibu Ima menambahkan, "Buktikan bahwa kau bukan seperti itu, Regis..." Tatapnya tajam.
Regis terkejut mendengar itu, mendadak wajahnya ragu. "Aku bisa bersikap kasar jika ada waktunya, dan untungnya aku tipe orang yang bisa mengendalikan sikapku. Tapi untuk janjiku di masa lalu... Apa yang harus kulakukan...?"