Sebuah ramalan kuno mengguncang keseimbangan antara para Akasha dan para Moksa, mereka tinggal di pusat alam semesta bernama Samavetham. Ramalan itu meramalkan kelahiran seorang Akasha terkuat di sebuah planet kecil, yang akan membawa perubahan besar bagi semua makhluk hidup. Ketika para Moksa berusaha menggunakan pohon Kalpataru untuk mencapai ramalan tersebut, para Akasha berupaya mencegah kehancuran yang akan dibawanya.
Di Bumi, Maya Aksarawati, seorang gadis yatim piatu, terbangun dengan ingatan akan mimpi yang mencekam. Tanpa dia sadari, mimpinya mengisyaratkan takdirnya sebagai salah satu dari 12 Mishmar, penjaga dunia yang terpilih.
Ketika ancaman dari organisasi misterius semakin dekat, Maya harus berhadapan dengan kekuatan baru yang bangkit di dalam dirinya. Dibantu oleh reinkarnasi Mishmar yang lain, Maya harus menemukan keberanian untuk melawan atau menghadapi konsekuensi yang dapat mengubah nasib seluruh alam semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Feburizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SESUATU YANG LAIN
Teng.. Teng... Teng!!!
Lonceng sekolah berdenting tiga kali, tanda usai kegiatan belajar. Di antara ramainya anak-anak yang berhamburan keluar gerbang, Maya dan Rendi bergandengan tangan, berjalan pulang menuju Asrama Panti Asuhan. Siang itu, cuaca cerah dan keduanya tampak ceria, meski bayangan kejadian semalam masih membayangi pikiran maya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah sedan hitam melaju dengan cepat, menabrak hydrant air di tepi trotoar. Mobil itu terlempar ke udara dan meluncur ke arah Maya dan Rendi.
"Ma-Maya, awaaasss!!!" Rendi memekik keras, ketakutan.
Maya terpana melihat mobil yang terbang menuju mereka. Dalam sekejap, tubuhnya bereaksi tanpa disadari. Ia merasakan desakan energi hangat yang menyelimuti tubuhnya, seolah ada kekuatan tak terlihat yang melindunginya.
Waktu bagaikan membeku. Semua terasa lambat saat mobil sedan yang berguling di udara itu mendekat. Detik berikutnya, tangan Maya terentang, dan waktu seolah kembali normal saat mobil itu terpental hebat ke samping, menimpa mobil lain yang sedang diparkir.
Rendi, yang ketakutan, hanya bisa melihat dengan gemetaran. "Ma-Maya, apa yang telah terjadi?"
Maya, yang masih dalam keadaan shock, tak mampu berkata-kata. Dalam benaknya, ia berpikir, "Aku... aku sangat yakin telah menyentuh mobil itu. Tapi, apa yang membuat perasaanku begitu meluap-luap?"
Kejadian itu menarik perhatian banyak orang. Beberapa sibuk memotret dengan ponsel, sementara yang lain menghubungi polisi dan rumah sakit. Maya dan Rendi terduduk lemas, menangis ketakutan; kejadian itu benar-benar mengguncangkan jiwa mereka.
Tak lama kemudian, suara sirene ambulans meraung mendekat. Suster Evlin, yang mendengar suara tersebut, merasa cemas dan segera menengok ke kerumunan orang-orang. Ketika ia melihat Rendi dan Maya yang sedang menangis tersedu-sedu, ia berlari menghampiri mereka.
"Maya, Rendi, apa yang terjadi? Kalian baik-baik saja, kan?" Suster Evlin memeriksa mereka, merasa lega ketika tak menemukan goresan luka.
"Kalian beruntung mobil itu tidak menimpa kalian." Dengan lembut, Suster Evlin menggendong Maya dan menggandeng Rendi untuk kembali ke Asrama Panti.
Beberapa orang mengkhawatirkan keadaan mereka, mengetahui bahwa kedua anak itu tinggal di Panti Asuhan Dharma Kasih. Suster Evlin menjelaskan situasinya dengan tenang, meski Maya masih teringat jelas perasaan meluap-luap yang mengalir dalam dirinya saat kejadian itu.
Hari-hari berlalu, dan suatu pagi Maya bangun dari tidurnya dengan perasaan nyaman. Ia merasa lega berkat perhatian Suster Evlin setelah kejadian yang mengguncangkan itu. Selain itu, sekolah juga sedang libur. Seperti biasa, ia menuju kamar mandi, berpakaian rapi, dan...
Rendi! Pagi itu, ia ingin menikmati sarapan bersama sahabat karibnya itu.
Maya pun menuju bangsal ruang makan dan melihat Rendi dengan penampilan yang familiar—rambutnya tidak tersisir rapi dan matanya sayu, seolah kurang tidur.
"Pagi, Maya... Hoaaahemm!" Rendi memberi salam sambil menguap.
"Perutku lapar sekali..." sambungnya, suaranya serak.
Maya hanya tersenyum geli melihat sahabat baiknya itu. Ia mengambil baki piring dan gelas kosong, berdiri di belakang Rendi, menunggu giliran menerima sarapan.
Tak sengaja, Maya mendengar percakapan Suster Agatha dan Suster Andira.
"Apa kau masih mengikuti berita tentang kecelakaan mobil beberapa hari yang lalu, Suster Agatha?" tanya Suster Andira sambil menaruh nasi pada piring Rendi.
"Tentu saja. Menurut keterangan polisi, pengendara sedan itu sedang mengantuk. Tapi untunglah dia masih selamat, hanya harus tinggal di rumah sakit untuk waktu lama," jawab Suster Agatha.
"Mengantuk? Di siang bolong? Benar-benar ceroboh orang itu. Tapi puji Tuhan, tidak ada korban ji..." Suster Andira tak melanjutkan ucapannya ketika menyadari ada Rendi dan Maya di depan mereka.
"Owh.. Selamat pagi, Rendi. Kau baik-baik saja, kan?" Suster Andira, melihat wajah mengantuk Rendi, merasa kasihan.
"Iya, Suster Andira. Hanya aku susah tidur semalam," jawab Rendi lesu, tetapi matanya berbinar melihat ayam goreng yang diberikan Suster Agatha dalam piringnya.
"Hmmm... mungkin kau terlalu banyak tidur di siang hari, Rendi, dan itu membuatmu terjaga di malam hari," Suster Agatha berkomentar, sambil tersenyum.
"Tapi kita bersyukur kalian baik-baik saja semenjak kejadian beberapa hari yang lalu," Suster Andira buru-buru menyahut, menaruh sayur bayam dalam mangkuk Maya.