Bayangan gelap menyelimuti dirinya, mengalir tanpa batas, mengisi setiap sudut jiwa dengan amarah yang membara. Rasa kehilangan yang mendalam berubah menjadi tekad yang tak tergoyahkan. Dendam yang mencekam memaksanya untuk mencari keadilan, untuk membayar setiap tetes darah yang telah tumpah. Darah dibayar dengan darah, nyawa dibayar dengan nyawa. Namun, dalam perjalanan itu, ia mulai bertanya-tanya: Apakah balas dendam benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan? Ataukah justru akan menghancurkannya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.Yusuf.A.M.A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Dendam dan Secercah Harapan
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Ryan duduk di meja belajarnya dengan mata kosong, memandang tanpa fokus ke arah jendela. Hari-hari yang berlalu begitu suram, penuh penghinaan dan kekerasan yang terus menerus ia alami. Semakin lama, amarah itu terasa semakin sulit untuk ditahan, tetapi ia tidak tahu harus melampiaskannya ke mana.
Saat Ryan tiba di sekolah, ia sudah tahu apa yang akan menunggunya. Hery dan kelompoknya berdiri di lorong, menyeringai dengan rencana baru untuk mempermalukan dirinya. Langkah Ryan melambat, tetapi ia tidak memiliki tempat untuk melarikan diri. Tatapan penuh kebencian dari mereka terasa seperti jaring laba-laba, menjebaknya semakin dalam.
"Kau lambat sekali, Ryan," kata Hery sambil menepuk bahunya dengan kasar, tawa sinis terdengar dari teman-temannya. Ryan diam, memilih menunduk sambil mengepalkan tangannya dengan erat. Tapi diamnya itu malah membuat Hery semakin bersemangat untuk melancarkan aksinya. Dengan sekali gerakan, Hery menarik tas Ryan, membukanya, lalu membuang semua isinya ke lantai.
Buku-buku berhamburan di lantai, dan ponsel Ryan jatuh dengan suara keras yang memecah keheningan. Salah satu teman Hery mengambil ponsel itu, lalu melemparkannya ke tembok hingga pecah berkeping-keping. "Ups, maaf, tanganku licin," ejeknya sambil tertawa keras. Ryan hanya bisa menahan napas, rasa malu dan marahnya bercampur menjadi satu, tetapi ia tidak berani melawan.
Di tengah keributan itu, Ryan merasakan tatapan yang berbeda dari ujung lorong. Elma, seorang gadis dari kelas sebelah, berdiri diam memperhatikan dari jauh. Mata Elma tampak penuh empati, seolah-olah ingin menyampaikan bahwa ia mengerti penderitaan Ryan. Namun, ia tetap tidak bergerak, hanya berdiri di sana tanpa berkata sepatah kata pun.
Setelah puas mempermalukan Ryan, Hery dan teman-temannya meninggalkannya di lantai dengan barang-barang yang berserakan. Ryan berusaha mengumpulkan barang-barangnya sambil menahan air mata yang hampir tumpah. Saat itulah Elma akhirnya mendekat, menyodorkan selembar tisu tanpa berkata apa-apa. Ryan menerimanya dengan ragu, terkejut bahwa ada seseorang yang peduli di tengah kehancurannya.
"Terima kasih," gumam Ryan pelan, hampir tidak terdengar. Elma hanya tersenyum tipis dan membantunya mengumpulkan buku-buku yang berserakan. "Mereka tidak akan berhenti kalau kau diam saja," katanya lembut, tetapi nadanya penuh tekad. Ryan tidak menjawab, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh oleh kata-kata Elma.
Hari-hari berikutnya, Elma mulai mendekati Ryan lebih sering, mencoba membangun kepercayaan di antara mereka. Meski Hery dan kelompoknya terus melancarkan aksi bullying, Ryan merasa tidak sepenuhnya sendirian lagi. Namun, perlakuan Hery semakin menjadi-jadi mereka bahkan menempelkan catatan ancaman di mejanya setiap pagi. Pesan-pesan itu penuh ejekan, membuat Ryan semakin sulit untuk menemukan kedamaian di sekolah.
Suatu sore, Ryan duduk sendirian di taman belakang sekolah setelah olahraga. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya lebih lelah lagi menghadapi semua tekanan yang tidak pernah berakhir. Elma menemukan Ryan di sana, duduk dengan kepala tertunduk dalam diam. "Kau harus kuat," katanya, duduk di sebelah Ryan, mencoba menyemangatinya.
Ryan menatap Elma dengan mata yang penuh keraguan, tidak yakin ia bisa bertahan lebih lama. "Aku sudah mencoba, tapi rasanya tidak pernah cukup," balasnya lirih. Elma menggenggam bahu Ryan dengan lembut, mencoba menyalurkan kekuatan lewat sentuhannya. "Kau tidak harus melawan mereka sendirian," katanya, memberikan secercah harapan yang hampir pudar di hati Ryan.
Ketika Ryan pulang, bayangan pria berjubah hitam kembali muncul di benaknya, meski ia berusaha melupakannya. Suara samar seperti bisikan angin terdengar lagi, seolah mengikuti setiap langkahnya. "Mereka tidak akan berhenti, Ryan. Kau tahu itu," kata suara itu, terdengar sangat nyata meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya.
Ryan berhenti di tengah jalan, tubuhnya menegang, mencoba mencari sumber suara tersebut. Tiba-tiba, di bawah bayangan pohon besar, pria berjubah hitam itu muncul. Posturnya tegak, wajahnya tetap tertutup kecuali hidung dan mulut yang tampak tersenyum samar. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan," katanya dengan suara yang dalam dan menghantui.
Pria itu melangkah lebih dekat, tetapi Ryan tetap berdiri terpaku di tempatnya. "Aku bisa memberikanmu kekuatan untuk membalas mereka," lanjut pria itu, nadanya dingin namun penuh godaan. "Hery dan semua yang pernah menyakitimu akan mendapatkan balasannya. Kau hanya perlu berkata 'ya'."
Sebelum Ryan sempat menjawab, suara klakson mobil menghentikan percakapan mereka. Mobil antar jemput sekolah tiba dengan lampu depannya yang terang, menyinari tempat pria itu berdiri. Ketika Ryan menoleh kembali, pria berjubah itu telah menghilang, menyisakan udara dingin yang menusuk tulang.
Dalam perjalanan pulang, Ryan hanya terdiam, pikirannya terus dihantui oleh tawaran itu. Ada sesuatu yang mengerikan namun memikat dalam cara pria itu berbicara, seolah-olah ia tahu setiap luka di hati Ryan. Ketika Ryan tiba di rumah, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas biasa, tetapi bayangan pria itu tetap hidup di benaknya. Malam itu, saat Ryan akhirnya tertidur, mimpi aneh menyelimuti tidurnya.
Dalam mimpi itu, Ryan berdiri sendirian di tengah kegelapan tanpa ujung. Di kejauhan, suara pria berjubah hitam terdengar, menggema di sekelilingnya. "Aku akan menunggumu, Ryan," katanya, nadanya terdengar seperti janji sekaligus ancaman. Ryan terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahinya, dan ia mendapati dirinya dikelilingi oleh kegelapan yang terasa lebih menyesakkan dari biasanya.