NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Di bawah gerimis hujan, seorang pria melangkah santai dengan payung besar berwarna hitam yang melindunginya dan seorang gadis kecil yang berada dalam gendongannya. Gadis itu tampak sangat cantik, dengan mata hijau yang mulai memancarkan binar kehidupan. Rambut hitam legamnya diikat kuncir kuda, sementara beberapa anak rambut jatuh menghiasi wajah mungilnya.

"Pa, turunin aku! Aku bisa jalan sendiri!" seru Ragna dengan nada penuh protes dari dalam dekapan Verio.

Verio melirik sekilas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa ragu. "Kakimu pendek. Yang ada, kau kelelahan terus menghilang karena tidak bisa menyusulku." Jawabannya datar, namun cukup untuk membuat Ragna mengerucutkan bibir.

"Ih, Papa jahat! Aku kan masih kecil!"

Verio hanya mengangkat bahu, tetap dengan ekspresi santainya. "Aku cuma bilang yang sebenarnya. Kalau aku mulai bohong, kau bisa-bisa lupa kalau kau itu masih kecil."

Ragna mendengus, tapi tetap tersenyum kecil di sela omelannya. "Terserah Papa. Tapi nanti kalau aku sudah besar, aku pasti lebih tinggi dari Papa!"

Verio tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Baiklah. Kita lihat saja nanti," balasnya dengan nada ringan namun menantang.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di halte. Verio menutup payungnya, mengibaskan sedikit air dari kain hitam itu. Orang-orang yang sebelumnya berada di sana perlahan menjauh, menjaga jarak. Entah karena wajah Verio yang cenderung garang, atau aura intimidasi yang terpancar jelas darinya.

Ragna memperhatikan sekitar, lalu menatap Verio dengan penuh rasa ingin tahu. "Papa, kenapa orang-orang itu menjauh? Papa makan orang, ya?" tanyanya polos.

"Itu urusan mereka," jawab Verio sambil menyandarkan payungnya ke bangku halte. "Kalau aku makan orang, kau pasti jadi yang pertama aku masak."

Ragna membulatkan matanya, berpura-pura terkejut. "Hei! Dagingku nggak enak, Pa! Yakin mau masak aku?"

"Makanya, makan lebih banyak. Kau kurus sekali. Sebelumnya, kau dikasih makan apa, sih? Makan lidi?" sindir Verio dengan nada santai, tapi tetap menusuk.

Wajah Ragna memerah karena kesal. "Papa! Aku nggak sekurus itu!" serunya sambil memukul-mukul bahu Verio dengan tangan kecilnya. Sikap malu-malu yang kemarin ia tunjukkan kini hilang, digantikan oleh amukan kecil yang penuh semangat.

Verio hanya terkekeh pelan, tidak sedikit pun terganggu. Tapi perhatian mereka segera teralih ketika sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Verio mengangguk ke arah bus itu. "Hei, busnya sudah datang. Mengamuknya dilanjutkan nanti," ucapnya santai.

Ragna menghentikan amukannya dan menatap bus dengan penuh rasa ingin tahu. Dia lalu melirik Verio, matanya memancarkan kebingungan. "Kita mau ke mana, Pa?"

Senyum tipis muncul di sudut bibir Verio. Tanpa menjawab, dia melangkah ke arah bus dengan langkah mantap, masih menggendong Ragna. Namun, sebelum menaiki tangga bus, dia menoleh sebentar dan berkata, "Kita pulang ke rumah baru."

Kata-katanya terdengar sederhana, tapi bagi Ragna, itu adalah janji akan awal baru.

🐾

Sepanjang perjalanan, Ragna menatap pemandangan jalanan dengan penuh antusias. Gerimis masih membasahi kota, namun semburat cahaya matahari perlahan muncul dari balik awan kelabu, menciptakan suasana hangat yang bertolak belakang dengan udara dingin pagi itu.

"Wah, Papa! Pelangi!" seru Ragna tiba-tiba, matanya berbinar saat menunjuk ke arah langit. Pelangi yang melengkung indah tampak di cakrawala, menambah warna pada pagi yang semula suram. Dengan riang, gadis itu menoleh ke arah Verio, mencari tanggapannya.

Verio melirik ke arah yang ditunjukkan Ragna. Ekspresinya tetap datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah-olah ia diam-diam menikmati keceriaan anak kecil yang duduk di pangkuannya.

"Pelangi itu cantik sekali, kan, Pa?" Ragna bertanya polos, suaranya penuh kekaguman.

Verio hanya mengangguk kecil. Gadis kecil di depannya, dengan mata hijau yang mulai bercahaya, sangat berbeda dari anak-anak lain yang biasanya menghindar atau menangis hanya karena bertemu dengannya. Ragna, meski awalnya malu-malu, selalu menunjukkan keberanian yang tidak biasa untuk seorang anak seusianya.

Dia menatap gadis itu sebentar, pikirannya melayang jauh. "Anak ini," gumamnya dalam hati, "akan tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan cerdas."

Namun keceriaan itu tidak bertahan lama. "Yah~ Pelanginya memudar," gumam Ragna dengan nada sedikit kecewa, matanya masih terpaku pada langit.

"Hujannya sudah reda dan langit mulai cerah. Jadi, pelangi itu memang akan segera menghilang," jawab Verio santai, menatap langit yang mulai biru.

Ragna menoleh, melihat Verio yang berbicara tanpa menatapnya, tapi nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Benarkah, Pa?" tanyanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Verio mengangkat bahu kecil, menatap gadis itu dengan pandangan datar namun penuh perhatian. "Entahlah. Mungkin kita bisa mempraktekkannya nanti," sahutnya acuh.

"Apa Papa bisa membuat pelangi?" tanya Ragna penuh rasa ingin tahu, matanya berbinar dengan semangat baru.

Verio terkekeh kecil. "Kalau alatnya mendukung, mungkin saja." Jawabannya singkat, tapi cukup untuk membuat gadis itu semakin penasaran.

Namun, Verio tak memberi kesempatan lebih lanjut untuk bertanya. "Simpan tenagamu. Perjalanan kita masih panjang. Tidurlah," katanya lembut sambil menarik Ragna ke pelukannya.

"Tapi, Pa... aku belum ngantuk," gumam Ragna sambil menyandarkan kepalanya di dada pria itu.

Verio tidak menjawab. Ia hanya mengusap lembut kepala gadis kecil itu, membiarkan keheningan mengambil alih. Tak lama, Ragna menguap kecil, matanya perlahan terasa berat hingga akhirnya tertutup.

Saat gadis kecil itu terlelap, Verio tersenyum tipis. Dia mengabaikan tatapan-tatapan ingin tahu dari orang-orang di sekitarnya. Bagi mereka, interaksi ini mungkin tampak aneh, tapi bagi Verio, Ragna adalah satu-satunya yang berhasil mencairkan kebekuan dalam hidupnya.

🐾

"Papa tinggal di sini?" tanya Ragna dengan nada penuh rasa ingin tahu, matanya menatap sebuah bangunan tinggi yang berdiri megah di hadapannya.

Verio menoleh sekilas, lalu menjawab santai, "Tidak."

Ragna memiringkan kepalanya, heran. Bukankah Verio tadi bilang mereka akan pulang?

"Tapi aku tinggal di salah satu unit di sini," sambung Verio dengan nada datar. "Ini apartemen, bukan rumahku."

Mendengar itu, Ragna mengangguk pelan, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan.

Melihat perubahan ekspresi gadis kecil itu, Verio mengernyit. "Kenapa?" tanyanya singkat, pandangannya tak lepas dari wajah Ragna.

Ragna mengangkat wajah, matanya sedikit gelisah. "Dulu, waktu aku diadopsi sama keluarga kaya, mereka pernah bawa aku ke apartemen. Aku dengar suara kayak orang sakit dari kamar sebelah. Terus... ada suara pukulan di dinding juga," ujarnya pelan, suaranya nyaris berbisik.

Verio terdiam, mencerna cerita singkat itu. Ekspresinya mengeras, matanya sedikit menyipit. Pikiran tentang masa lalu gadis kecil itu kembali menghantamnya. "Sial! Keluarga macam apa yang pernah mengadopsi bocah ini?" gerutunya dalam hati. Wajahnya menggelap, tapi ia tak berkata apa-apa.

Melihat Verio yang terdiam, Ragna kembali bertanya dengan polos, "Apa di dekat kamar Papa ada suara kayak gitu juga?"

Verio mendengus pelan, lalu menjawab dengan tegas, "Tidak. Unit kita di ujung, jauh dari kamar lain. Kau aman."

Ragna mengangguk kecil, tapi sorot matanya masih menyiratkan sedikit kekhawatiran. Verio mengulurkan tangan dan mengacak rambut gadis itu pelan. "Tak perlu takut. Kalau ada yang berani macam-macam, mereka akan berurusan denganku," ujarnya sambil melangkah masuk ke dalam gedung apartemen.

Kali ini, Ragna hanya diam. Namun, sudut bibirnya sedikit terangkat, merasa sedikit lebih tenang di bawah perlindungan Verio.

Saat mereka melangkah masuk ke dalam lift, atmosfer segera berubah. Beberapa orang yang sudah menunggu di dalam langsung keluar dan yang lain memilih menjauh, seolah keberadaan pria itu menjadi ancaman tak kasat mata.

Bisik-bisik mulai terdengar meskipun perlahan, namun terdengar jelas di telinga mereka. Pandangan orang-orang tertuju pada Ragna yang dipeluk erat oleh Verio. Mata mereka menyiratkan rasa ingin tahu bercampur kekhawatiran, tapi tak satu pun dari mereka berani berbuat apa-apa.

Ragna dengan polosnya menatap Verio dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaian hitam-hitam, jaket kulit yang menempel erat di tubuh tegapnya, sneakers hitam yang sedikit lusuh, rambut ungu gelap yang berantakan, mata hitam tajam, dan wajah yang tampan tapi dingin. Tindik-tindik kecil di telinga dan satu di bawah bibirnya menjadi detail yang mencolok. Seperti berandalan, pikir Ragna.

"Papa tampan, tapi kenapa mereka takut?" tanya gadis kecil itu dengan rasa ingin tahu, menoleh ke arah ayah angkatnya.

Verio hanya mengangkat bahu, tidak memberikan jawaban. Ragna melambaikan tangan kecilnya kepada beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, mencoba menampilkan keceriaan khas anak-anak. Namun, bisik-bisik yang terdengar mulai menghapus senyum ceria itu dari wajahnya.

"Jadi itu anak haram Verio, ya?"

"Dia itu berandalan. Pantas saja punya anak di luar nikah."

"Tidak ada masa depan untuk pria itu. Kasihan anak kecilnya."

"Anaknya pasti akan jadi berandalan juga. Aku iba."

Pintu lift akhirnya tertutup, menghilangkan suara-suara menyakitkan itu. Namun, bagi Verio, efeknya masih menggantung di udara. Tatapan pria itu turun ke arah Ragna, khawatir dengan apa yang barusan didengar gadis kecil itu. Namun, raut wajah Ragna justru datar. Tidak ada tangisan, tidak ada tanda-tanda kekecewaan.

"Papa," suara lembut itu akhirnya terdengar. Ragna menatap Verio dengan ekspresi serius yang tidak biasa, "mulut mereka berisik, ya?"

Sejenak, Verio terdiam. Hanya alisnya yang terangkat sedikit, lalu ia terkekeh kecil. "Ya, mereka memang berisik. Jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya iri karena tidak punya keberanian untuk mengatakan itu langsung ke depanku."

Ragna mengangguk pelan, tampaknya puas dengan jawaban itu. Ia memeluk leher Verio erat, seolah menunjukkan rasa percayanya. "Aku tidak suka mereka ngomongin Papa seperti itu."

Verio menyeringai, menyembunyikan rasa hangat yang mengalir di dadanya. "Aku juga tidak suka mereka ngomongin kau, Nak. Tapi biar saja. Ucapan mereka tidak akan mengubah apa pun."

Lift berhenti di lantai tujuan mereka. Verio melangkah keluar dengan tenang, membawa Ragna dalam pelukannya. "Kita tidak perlu peduli apa kata mereka. Yang penting kita tahu siapa kita sebenarnya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, sambil menyusuri koridor apartemen.

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!