Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Di tengah kecemasan akan kondisi bunda, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Ayah?" batinku saat melihat nama yang ada di layar ponsel. Segera kuangkat panggilan telepon itu.
"Hal ...."
Belum sempat ayah menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Ayah lagi ngapain sih? Gak tau apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal.
"Gawat?"
"Iya, bunda sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku.
"Mending sekarang ayah buru-buru pulang, kasian bunda. Leon sama Kevin juga gak mungkin bisa urus bunda di rumah sakit!" sambungku.
"Iya, besok pagi ayah pulang."
"Ayah juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Yah?"
"Bunda cerita?"
"Iya, kan emang udah seharusnya Novita tau."
"Bukan gitu, novi. Ayah takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, ayah udah dapet solusinya."
"Tapi, janji. Kalau ada masalah lagi, ayah harus cerita."
"Iya, sayang. Udah ya, ayah mau siap-siap, biar besok bisa langsung pulang."
"Oke."
Telepon ditutup.
***
Selang beberapa menit kemudian, ada pesan yang masuk.
[Kak, ini udah sampe rumah sakit] Pesan Kevin.
[Kabarin kakak terus ya, Vin] Balasku.
[Iya, Kak]
Kevin terus memberiku kabar terbaru tentang kondisi bunda. Katanya bunda langsung dimasukan ke ruang ICU, karena kondisinya memburuk selama perjalanan ke rumah sakit.
Bunda juga sempat teriak-teriak karena tak kuat menahan rasa sakitnya. Beberapa kali kejang-kejang hingga akhirnya tak sadarkan diri. Dokter masih terus melakukan tindakan intensif.
Sepanjang malam Kevin, leon dan Mbok Wati berjaga di rumah sakit. Karena khawatir kalau kondisi bunda tiba-tiba semakin buruk. Begitu pula aku yang tetap terjaga, menemani kedua adikku itu. Sampai tertidur ....
Entah berapa lama aku tertidur. Saat bangun, kondisi bantal sudah basah. Kulihat jam, waktu menunjukan pukul 7 pagi. "Ya ampun, Bunda!" ucapku panik sambil mencari ponsel di atas tempat tidur. Ternyata ponselku terjatuh ke lantai.
[10 pesan dari Kevin belum dibaca]
Terlihat notifikasi pesan di layar ponsel. Cepat-cepatku buka sambil berharap tidak ada kabar buruk di pagi hari ini.
Kubaca pelan-pelan pesan dari adikku itu. Ternyata hanya ingin memberitahu kalau kondisi bunda sudah stabil. Ayah juga sudah datang ke rumah sakit. Dia langsung menyuruh Kevin, leon dan Mbok Wati istirahat di rumah.
***
Setiap hari aku terus memantau kondisi bunda di rumah sakit. Entah berapa banyak air mata yang kutumpahkan, setiap melihat foto bunda yang terbaring tak berdaya. Rasanya ingin sekali pulang ke Indonesia, tapi ayah selalu melarangku.
Sampai detik ini pun, dokter masih belum memiliki gambaran tentang penyakit bunda. Sempat beberapa kali didiagnosis penyakit A, B dan C. Namun semuanya terbantahkan ketika hasil tes medisnya normal-normal saja.
Lantas apa penyebabnya bunda tidak sadarkan diri sampai sekarang? Sungguh aku benar-benar bingung.
***
Di hari ke-6, tiba-tiba leon video call.
"Pagi, Kak," sapa leon. "Eh, di sana pagi apa siang sih, Kak?" sambungnya.
"Subuh! Gak liat apa muka kakak baru bangun tidur gini."
"Oh maaf."
"Ada apa video call jam segini? Bunda gak kenapa-kenapa, Kan?"
"Bunda masih belum sadar, tapi ...."
"Tapi apa? Jangan bikin penasaran."
"Semalem bunda sempet bangun loh, Kak."
"Beneran?"
"Iya! Kata Mbok Wati bunda sempet bangun."
"Terus, terus gimana?"
"Bunda minta minum, terus bilang ...."
"Bilang apa? Ngomong kok dipotong-potong."
Kuperhatikan wajah leon yang berubah muram. "Kata bunda, badannya panas dan sakit kaya ditusuk-tusuk ribuan jarum."
"Terus!"
"Sebelum gak sadar lagi, bunda kaya melotot ke langit-langit. Enggak tau ngeliatin apa, kaya ketakutan gitu."
"Hah? Aneh banget."
"Makanya, aneh banget, aku pas diceritain Mbok Wati sampe merinding."
"Dokter udah periksa?"
"Udah, tapi sama aja. Tuh bunda masih belum bangun," ucap leon seraya menyorotkan kamera ke arah tempat tidur bunda.
"Sekarang, kamu jaga bunda baik-baik."
"Iya, Kak."
"Dah, kakak mau lanjut tidur."
"Oke, Kak."
Video call selesai. Kusimpan ponsel di atas nakas, lalu lanjut tidur.
***
Hari terus berlalu, aku mendapatkan kabar kalau ayah kembali pergi ke luar kota. Katanya ada urusan bisnis yang harus diselesaikan.
Beberapa hari lalu ayah sempat cerita, kalau bisnisnya sudah mulai berjalan lagi. Hutang pun sudah dilunasi sebagian. Setidaknya itu menjadi kabar baik, di tengah musibah yang menimpa keluargaku.
Siang ini, aku hanya menghabiskan waktu dengan duduk di balkon. Sambil mengamati suasana kota Bonn yang indah. Saat musim gugur seperti ini, biasanya akan ada pesta panen dan banyak festival, salah satunya Oktoberfest. Sebuah festival musim gugur yang berlangsung di Munich, Jerman.
Rencananya sore ini, aku dan teman-teman kampus akan pergi ke sana. Setidaknya ini bisa menjadi hiburan bagiku, daripada terus mengurung diri di apartemen.
Sekitar pukul 4 sore, jemputanku sudah datang. Yap, kami memang berencana untuk pergi dengan mengendarai mobil. Teman kampusku — Carlos yang ada di kursi kemudi, sedangkanku duduk di sampingnya.
Setelah menjemput beberapa teman lainnya, kami langsung meluncur ke Munich. Jaraknya lumayan jauh, perlu waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di sana.
Melakukan perjalanan jauh bersama teman-teman seharusnya menyenangkan. Namun, entah kenapa perasaanku malah sebaliknya. Kubuka sedikit jendela mobil, merasakan hembusan angin dingin yang menerbangkan rambutku. Tak terasa, air mata pun jatuh. "Ada apa ini?" batinku sambil menyeka air mata dengan lengan sweater.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Carlos sambil menepuk pundakku.
"Saya baik-baik saja," balasku seraya menutup jendela. Sikapku itu membuat beberapa temanku heran. Bagaimanapun mereka tidak tau tentang masalah yang menimpaku.
***
Sesampainya di Munich, suasananya jauh berbeda. Jalanan sudah sangat ramai dengan pejalan kaki. Carlos langsung memarkiran mobil, lalu kami lanjut berjalan kaki ke tempat festival.
Hiruk pikuk suara musik terus menemani kami sepanjang jalan. Sejenak aku bisa melupakan masalah yang menimpa keluargaku. Mulai larut dalam suasana pesta yang meriah. Sampai-sampai tak sadar, ketika ada panggilan telepon dari Kevin.
Sadar-sadar ketika aku sudah sampai di hotel. Kulihat sudah banyak panggilan telepon dan video call yang masuk. Selain itu ada banyak juga pesan yang masuk dari Kevin.
Aku langsung pergi lobi hotel, duduk di tempat yang agak jauh dari keramaian. Lalu, mulai membaca pesan dari adikku itu.
[Kak]
[Angkat teleponnya]
[Kak]
[Angkat cepet]
[Kakakkkkkkk]
[Kak]
[Angkat!]
Masih banyak lagi pesan serupa. Aku bingung dengan tingkahnya itu. "Apa terjadi sesuatu di sana?" bantinku sambil bergegas menelepon Kevin. Jujur, aku sangat khawatir kalau terjadi sesuatu pada bunda.
"Kak ke mana aja sih!" hardiknya.
"Ada apa, Vin?"
"Gak tau apa di sini lagi gawat?"
"Hah? Bunda kenapa?"
"Bukan bunda!" ucap Kevin disertai isak tangis.
"Vin? Kenapa nangis?"
"Kak leon."
"Kenapa leon?" Jantungku mulai bergegup kencang, rasanya tak sanggup jika terjadi sesuatu padanya.
"Kak leon kecelakaan."
Deg! Jantung ini seakan berhenti berdetak.