Anak dibawah umur dilarang mampir🙅
Harap bijak dalam membaca👍
Slow update 🙏
Silahkan mampir juga ke novel pertama Cimai, klik profil Cimai yaaa😍
"Menikah Dengan Adik Sahabatku"
------
Belum ada dalam pikiran Dira untuk segera mengakhiri masa sendirinya, ia masih trauma pasca ditinggalkan oleh suami yang teramat ia cintai pergi untuk selamanya dan disusul satu-satunya superhero yang selalu berada disisinya, yaitu Ibu.
Meskipun pada kenyataannya sosok pria yang selama ini selalu memperlakukan Dira dengan lembut, ternyata diujung usianya menunjukkan sebuah kenyataan yang teramat pahit, sehingga menyisakan luka dan trauma yang teramat mendalam bagi Dira.
Dira masih tetap mencintainya.
Disisi lain, putra sulung dari pemilik Raymond Group mengalami kegagalannya dalam berumahtangga.
Setelah berhasil dari masa keterpurukannya dan memilih tinggal diluar negeri, akhirnya ia kembali ke tanah air dan menggantikan posisi ayahnya, Erick Raymond.
Awal pertemuan yang tidak sengaja anta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cimai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12 : Dia Tidak Tulus Menikahiku
''Ini bukan rumahku kan? dimana ini?!''
Dira terus mengedarkan pandangan melihat sekelilingnya, tak ada sesuatu yang ia kenali. Tempat asing yang baru ia lihat.
Ingatannya yang baru saja bangun tidur belum kembali seratus persen, Dira mencoba tenang dan meminum air mineral yang ada diatas nakas, ntah itu milik siapa, ia meneguknya hingga tak tersisa.
''HAH?? IYA-IYA AKU INGAT!'' pekik Dira.
Dira menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Edgar yang semalam menikahinya, lalu membawanya ke tempat asing ini.
''Huuhhh, masih utuh.'' gumamnya lega setelah melihat tubuhnya yang masih mengenakan pakaiannya dengan utuh.
Pelan-pelan Dira membuka pintu kamar, lalu berjalan dengan sedikit mengendap-endap.
''Kau sudah bangun?''
''Aaaaaaaaaaa....huh''
Dira mengusap dadanya setelah terkejut dengan suara Edgar.
''Maaf Tuan, saya tidak bermaksud berteriak, saya terkejut tiba-tiba mendengar suara anda, dan saya juga tidak melihat Tuan sedang duduk disini.'' ucap Dira.
''Duduklah.'' titah Edgar.
Dira menuruti, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Edgar. Pria itu sedang mengolesi roti dengan selai.
''Bagaimana keadaanmu?'' tanya Edgar.
''Emm, saya baik-baik saja, Tuan.'' jawab Dira.
''Makanlah roti ini untuk mengisi perutmu.''
Edgar menyodorkan roti yang sudah ia olesi selai untuk Dira.
''Tuan tidak makan?'' tanya Dira setelah menerima roti tersebut.
''Sudah.'' jawab Edgar singkat.
Sejak malam Edgar tidak bisa tidur, ia terus kepikiran akan hari-harinya kedepan. Ia juga yang mengantarkan segelas air mineral di kamar tidur yang ditempati oleh Dira.
''Tuan, bolehkah saya pulang ke rumah?'' tanya Dira.
''Kau mau ngapain lagi disana?''
''Itu rumah saya, Tuan. Tentu saja saya akan menjalani hari-hari saya disana.''
''Saya juga harus bekerja, seragam saya semuanya ada dirumah.''
''Mulai hari ini kau tidak bekerja disana lagi.'' ucap Edgar santai.
''HAH?!!!''
''KENAPA ANDA LAGI-LAGI SEENAKNYA SENDIRI?''
Dira menarik nafasnya dalam-dalam.
''Saya butuh pekerjaan untuk membayar hutang-hutang itu, Tuan. Kenapa anda memecat saya? apa kesalahan saya?''
Gemuruh emosional di dadanya terasa sangat membuat dadanya sesak.
''Yang memecatmu itu siapa ha?'' tanya Edgar dengan memberikan sentilan dikening Dira.
''Tuan.'' jawab Dira sembari mengusap keningnya sendiri.
''Apa aku menyebutkan kata pecat untukmu?'' tanya Edgar memastikan.
Dira menggeleng.
''Jangan mudah membuat kesimpulan sendiri.''
''Lalu, apa maksud anda kalau saya tidak bekerja disana lagi?''
Dira memberanikan diri menatap bola mata Edgar, sehingga keduanya terlibat saling adu tatapan.
''Kau bekerja denganku, menjadi asisten pribadiku, kau harus mengikuti semua kegiatanku, kemanapun aku pergi, kau harus ikut.''
''Tidak bisa semudah itu dong, Tuan. Harus sesuai prosedurnya, saya kan masih bawahan, tidak masuk akal jika langsung sampai menjadi asisten pribadi, nanti bisa bikin yang lain curiga. Anda sih enak, gimana pun bos tetap benar, lah saya? bakal dapat omongan yang tidak-tidak.'' protes Dira.
''Kau itu sangat bawel sekali!! tidak perlu mengkhawatirkan apapun, semua sudah beres. Kau tinggal bilang iya saja, atau benar-benar akan ku pecat secara tidak hormat?''
''Saya mohon jangan pecat saya, Tuan..''
''Nah, terus bagaimana? semua keputusan ada padamu, Mentari..''
Dira terdiam, merenungkan apa yang diucapkan oleh Edgar. Menerima atau siap dipecat jika menolak.
Aku tidak tau dengan perasaanku yang sebenarnya, aku belum mampu menyimpulkan rasa ini. Sejak hari itu, pikiranku memilih untuk terus memikirkanmu. Bahkan di malam yang tak terduga, bibir ini terlalu mudah mengatakan kata pernikahan denganmu. Apakah ini cinta? ~Edgar~
Perlahan Dira mengangkat wajahnya menatap Edgar.
''Bagaimana?'' tanya Edgar.
''Baik, saya akan menerima pekerjaan itu.'' jawab Dira.
Tidak ada pilihan lain, belum tentu ia semudah itu saat mencari pekerjaan di tempat lain.
Edgar menyunggingkan senyumnya mendengar jawaban itu.
''Bagus..''
''Kau bisa langsung bekerja saat sudah sehat, sekarang sembuhkan dulu sakitmu.''
''Saya sudah sehat, Tuan.''
''Oh ya?''
Dira mengangguk.
''Bukannya kau masih cuti?'' tanya Edgar.
''Iya, Tuan.''
''Kau habiskan dulu masa cutimu, sekalian pengenalan dengan orang-orang rumah.'' tutur Edgar.
''Hah? orang-orang rumah?'' tanyanya.
''Tuan, kita kan hanya nikah bohongan, alias tidak serius. Lebih baik kita sudahi semua ini, saya kembali ke rumah saya, dan Tuan silahkan juga, silahkan pulang.'' pinta Dira.
Edgar langsung menghela nafasnya.
''Siapa yang bilang nikah bohongan? pernikahan ini serius! sekarang kau istriku, dan aku suamimu. Jadi, wajib kita berada dalam satu atap, bukan malah terpisah!''
Edgar beranjak dari tempat duduknya, lalu beberapa langkah kemudian langkahnya terhenti.
''Aku menikah untuk menuruti keinginan mamiku yang terus memaksa. Jika tidak dipaksa terus menerus, aku juga malas untuk menikah lagi. Jadi, jangan pernah berharap untuk ku sentuh.'' ucap Edgar lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Dira hanya terdiam mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Edgar. Kata demi kata itu membuat dadanya terasa sangat sesak, sangat menyakitkan.
''Dia tidak tulus menikahiku.. menikah hanya untuk sekedar formalitas.'' gumamnya, tidak terasa buliran bening turun membasahi kedua pipinya.
''Dan.. menikah lagi? apa aku tidak salah mendengar kalimat itu? apa maksudnya?''
Dira langsung menoleh, bermaksud ingin bertanya secara langsung. Ternyata Edgar sudah tidak berada disana.
''Kuat Dira.. kamu pasti bisa lepas dari dia..'' gumam Dira.
Hari ini dan hari-hari berikutnya, Dira harus bersabar terlebih dahulu. Ia harus bisa mengambil kesempatan untuk lepas dari jeratan tuan Edgar. Bagaimana bisa ia menjalani pernikahan dengan seperti ini, pernikahan tanpa cinta tentu saja sangat menyakitkan.
''Maafkan aku, Mentari..'' ucap Edgar lirih.
Edgar membiarkan Dira sendiri terlebih dahulu, sementara ia di dalam kamarnya.
Pukul 08.30
Edgar kembali keluar dari kamar, mencari keberadaan Dira untuk diajaknya pulang ke rumah.
''Mentari.. boleh aku masuk?'' panggil Edgar dengan membuka sedikit pintu kamar yang ditempati oleh Dira.
Dira menoleh lalu mengangguk.
Setelah mendapatkan izin, Edgar langsung masuk dan duduk di sofa yang sama dengan Dira.
''Kau siap-siap, aku akan mengajakmu pulang ke rumah sekarang.'' ucap Edgar.
''Tapi, Tuan.. bagaimana dengan kedua orangtua anda jika melihat saya? orang-orang dirumah anda lainnya? sedangkan pernikahan ini tidak terencana, dan saya ini siapa untuk keluarga anda, apakah keluarga anda bisa menerima kehadiran saya?''
''Kau tenang saja, kau pasti akan menjadi menantu kesayangan mami asal saat di depan mami kita bisa pura-pura menjadi pasangan yang normal pada umumnya.'' jelas Edgar.
''Contohnya?'' tanya Dira.
''Kita harus bersikap romantis.'' jawab Edgar.
''Ha?''
''Kau tenang saja, untuk saat ini kedua orangtuaku sedang tidak di Indonesia, mereka sudah ke luar negeri, ntah kapan akan balik kesini..''
''Bagaimana kalau tuan Erick membenci saya? beliau itu tau kisah saya, bagaimana kalau beliau mengira saya yang telah menggoda anda untuk menikahi saya?''
''Terlalu banyak bertanya bagaimana, penyakit hati muncul dari prasangkamu sendiri. Sudah ku bilang tenang saja, ikuti saja apa yang ku katakan, jangan membantah! atau ku lipat gandakan hutang-hutangmu itu!'' ancam Edgar.
''Maaf, Tuan.'' ucap Dira lirih.
Gak berusaha ikhlas toh Edgar jga memperlakukan dia lembut ko, gak grasak-grusuk mementingkan napsunya sendiri,,,