Mungkin hal biasa kalo cewek cupu pacaran sama bad boy, namun kali ini kebalikanya gimana peran sicewe yang urak-urakan, suka balap liar, dan tidak mau diatur malah dia jatuh cinta dengan cowo cupu kutu buku yang anti sosial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
gelisah
Keesokan Harinya, Sera bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat karena kurang tidur, tapi pikirannya masih dipenuhi percakapan semalam dengan Gara. Ada sesuatu yang terus menghantuinya, rahasia tentang kuliah yang belum ia ceritakan.
Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah ujian penting, dan ia tidak boleh gagal hanya karena pikirannya bercabang.
Saat tiba di sekolah, Gara sudah menunggunya di depan gerbang. Tatapan hangat lelaki itu langsung menyambutnya, seolah ia telah menunggu momen ini semalaman.
"Kamu baik-baik saja?" Gara bertanya, nada suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Sera mengangguk, berusaha tersenyum. "Iya, Gara. Aku baik-baik saja."
Gara memperhatikan Sera lebih lama, seakan sedang mencari kebohongan di balik kata-katanya. Namun, ia memilih untuk tidak mendesak.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas, menikmati kebersamaan mereka yang terasa semakin berharga setiap harinya.
Setelah Ujian berakhir sera akhirnya bisa bernapas lega setelah ujian berakhir. Ia meregangkan tubuhnya sambil melirik ke arah Gara, yang tampak masih serius mengecek jawabannya.
Saat jam pulang tiba, Gara menarik pergelangan tangan Sera dengan lembut. "Ayo kita jalan sebentar. Aku butuh udara segar setelah ujian ini."
Sera menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. Mereka berjalan ke taman dekat sekolah, duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang.
"Ada yang mau kamu ceritakan ke aku?" Gara bertanya tiba-tiba.
Sera tersentak. Jantungnya berdetak lebih cepat. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Gara tersenyum tipis. "Aku bisa merasakan ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Sera. Aku mengenalmu lebih dari siapa pun."
Sera menggigit bibirnya, menunduk menatap jemarinya yang saling bertaut. Ini adalah kesempatan untuk jujur, tapi...
"Aku hanya sedikit stres dengan ayahku," jawabnya akhirnya. "Dia selalu menuntut banyak hal, dan aku capek."
Gara masih menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku mengerti. Tapi kalau ada hal lain yang mengganggumu, jangan ragu untuk cerita, oke?"
Sera mengangguk, meskipun hatinya masih dipenuhi kebimbangan. Suatu hari nanti, ia harus memberitahu Gara tentang kuliahnya. Tapi tidak hari ini.
Hari ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan mereka tanpa beban.
•••
Malam itu, di Ruang Kerja Sang Ayah
Anna duduk di hadapan ayahnya, tangan terlipat di dada, wajahnya penuh dengan kejengkelan. Sejak tadi, ayahnya berbicara panjang lebar tentang masa depan dan tanggung jawabnya terhadap perusahaan keluarga.
“Ayah sudah memutuskan,” suara pria paruh baya itu terdengar tegas. “Setelah lulus nanti, kamu akan mulai magang di perusahaan kita. Pelan-pelan, kamu akan belajar untuk mengambil alih.”
Anna menghela napas panjang. “Ayah, aku sudah bilang aku nggak tertarik. Aku punya jalan hidupku sendiri.”
Ayahnya menatapnya tajam, penuh otoritas. “Jalan hidupmu? Menghamburkan waktu dengan teman-teman tak berguna itu? Keluyuran malam tanpa arah? Sudah cukup, Anna. Ini bukan permintaan, ini keputusan.”
Genggaman tangan Anna mengerat. “Kenapa selalu ayah yang menentukan semuanya? Aku bukan boneka yang bisa ayah kendalikan sesuka hati!”
Sang ayah menatapnya dingin. “Kamu anakku. Dan sebagai anak, kamu punya kewajiban untuk meneruskan apa yang sudah ayah bangun.”
Anna berdiri dengan kasar, kursinya hampir terjatuh ke belakang. “Kalau ayah pikir aku bakal tunduk, ayah salah besar.”
Ia berbalik, melangkah keluar dari ruangan itu tanpa peduli pada panggilan ayahnya.
Di dalam kepalanya, hanya ada satu pikiran: Aku harus menemukan cara untuk keluar dari ini semua.