Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Valeska, Siswi SMA
Vincent mengenakan kembali pakaiannya dengan gerakan tergesa, seolah berharap semua rasa bersalah yang menyesakkan dadanya bisa ikut lenyap bersama kemeja yang terkancing rapi. Namun, pikiran-pikirannya terus berteriak, seperti sirene yang memekakkan telinga.
"Shit, Vincent! Lo udah ngerebut keperawanan cewek ini!" gerutunya sambil menjambak rambutnya sendiri.
Ia memalingkan wajah, menatap Val yang tertidur pulas di ranjang. Napasnya teratur, terlihat damai, berbeda seratus delapan puluh derajat dari kegelisahan yang menguasai Vincent. Matanya kemudian tertumbuk pada bercak merah di atas sprei putih bersih. Dadanya semakin sesak.
"Sial, jadi dia benar-benar belum pernah sama sekali," bisiknya pelan.
Frustrasi meluap-luap di dalam dirinya. Ia harus memastikan sesuatu. Tanpa memikirkan apakah itu pantas atau tidak, Vincent meraih tas Val yang tergeletak di atas meja kecil di sudut kamar. Tangannya gemetar saat membuka resleting tas itu.
Sebuah dompet kecil berwarna merah muda menarik perhatiannya. Desainnya sederhana, dengan gambar kupu-kupu di bagian depannya.
"Dompet ini … kayaknya lebih cocok buat anak kecil," pikir Vincent dengan kening berkerut.
Perasaannya semakin tidak enak. Dengan hati-hati, ia membuka dompet itu, berharap menemukan KTP atau semacamnya. Tapi yang ia dapatkan adalah sebuah kartu pelajar.
"Kartu pelajar?" gumamnya dengan nada tak percaya.
Tangannya terhenti beberapa detik sebelum mengambil kartu itu dan membacanya perlahan.
"Valeska Resyanita, SMA Harmoni Jaya."
DEG!
Darah Vincent seperti berhenti mengalir. Napasnya tercekat, dan ia menatap kartu itu lekat-lekat, berharap ada kesalahan. Tapi tidak. Foto di kartu pelajar itu sama persis dengan wajah gadis yang sekarang tertidur di atas ranjangnya, tubuhnya hanya tertutup selimut.
"I—ini gak mungkin, kan?" Suaranya nyaris berbisik. Napasnya semakin berat, seolah udara di ruangan ini mendadak menghilang. "Jadi ... gadis ini masih pelajar? Oh, sial!!"
Vincent mencengkeram kartu itu kuat-kuat. Perasaan bersalah bercampur marah pada dirinya sendiri. Ia benci pada kebodohannya. Pada dirinya yang terlalu terbuai pesona Val sampai lupa bertanya hal paling mendasar: nama dan usianya.
Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponselnya dan memoto kartu pelajar itu. Jemarinya terasa kaku saat memasukkan kartu itu kembali ke dalam dompet, lalu mengembalikan tas Val ke tempat semula.
"Tenang, Vin ... pikirin apa yang harus lo lakuin sekarang," gumamnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar kacau.
Tapi, sekeras apapun ia mencoba berpikir, jawabannya tetap nihil. Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri lagi. "Ergh! Gue bingung, sial!" makinya, frustrasi memuncak.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Kemudian ide itu muncul—setipis harapan, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Ia harus menemui Desta sekarang juga. Sahabatnya itu memang sering mabuk, tapi setidaknya Desta cukup pintar untuk membantu memikirkan solusi.
Dengan langkah berat dan kepala yang penuh dengan penyesalan, Vincent meninggalkan kamar itu. Di belakangnya, Val tetap tertidur dengan damai, tidak tahu bahwa dunia Vincent saat ini sedang diambang kehancuran.
***
Vincent menerobos kerumunan tamu di lounge malam itu, mencari Desta. Sosok itu ditemukan, bersandar santai di sofa dengan LC di sisinya. Desta yang sudah setengah teler hanya bisa tertawa-tawa tak jelas.
"Des! Ikut gue!" Vincent hampir berteriak agar suaranya terdengar di tengah dentuman musik.
Desta mendongak perlahan, mencoba memfokuskan matanya pada Vincent, lalu tertawa lagi. "Habis darimana, Bro? Ketemu cewek cakep, ya?" godanya sambil menggoyang gelas minuman di tangannya.
Vincent berdecak kesal. "Bantuin gue, Des!" katanya seraya menarik tangan Desta dengan paksa.
"Eh, bentar! Mau kemana?" Desta berusaha melawan, tapi langkahnya terlalu limbung untuk melarikan diri.
Vincent tidak menggubris, menyeretnya ke luar area lounge. Setelah cukup jauh dari keramaian dan suara musik mulai meredam, Vincent melepaskan cengkeramannya.
"Kenapa sih, Bro?" Desta mengerutkan kening, berusaha fokus meski pikirannya masih melayang.
Vincent menatapnya tajam. "Gue ... gue baru aja bikin kesalahan besar, Des," ucapnya berat.
Desta menegakkan tubuh, mencoba mencerna kata-kata Vincent. "Kesalahan?" tanyanya pelan. Lalu matanya membelalak. "Lo gak bunuh orang, kan?!"
"Gila! Enggak lah!" Vincent menjawab dengan nada geram.
"Oh, baguslah." Desta menghela napas lega, lalu menyeringai. "Terus apa dong? Lo panik banget."
Vincent mengusap wajahnya dengan kasar, frustrasi meluap-luap. "Gue ... gue abis tidur sama cewek."
Desta langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Hahahaha! Bego banget, Vin. Emang apa salahnya? Kan udah biasa buat lo."
"Tck! Gue ambil keperawanan dia, Des!" Vincent membentak, membuat Desta semakin keras tawanya.
"Hahahaha ... Jackpot tuh namanya! Good job, Vin."
Vincent memutar bola matanya, kesal. "Masalahnya, dia masih anak SMA, Bego!"
"HAH?! Bocil?!" Tawa Desta langsung lenyap. Matanya membelalak, dan dia memegang bahu Vincent. "Lo serius, Vin?! Jangan bercanda, anjir!"
"Lo pikir gue keliatan kayak lagi bercanda?" Vincent mendengus.
Desta menggeleng pelan, ekspresi serius kini menggantikan wajah konyolnya. "Anjir, Vin! Kenapa bisa lo pecahin perawannya bocil? Banyak LC di sini, lo malah main sama anak sekolah?!"
"Gue gak tau dia masih sekolah, Des!" Vincent membela diri. "Dia lolos masuk bar, gue kira ya biasa aja!"
Desta mengangkat alis. "Dari mukanya kan ketauan bocil, Bray."
"Kan gelap, idiot!" Vincent mendesis.
Desta mendengus, menoyor kepala sahabatnya. "Gelap apa sange lo?"
"Udah, jangan banyak bacot! Gue bingung harus ngapain sekarang," ucap Vincent, gelisah.
Desta menatap Vincent lama, lalu menarik napas panjang. "Dia di mana sekarang?"
"Masih di rest room, gue tadi bayar Mr. Harold buat sewa kamar biar dia gak diganggu."
Desta menyipitkan mata. "Lu bayar? Jadi emang dari awal sengaja lu niat ngewe, kan?"
"Enggak! Bukan gitu ceritanya. Pokoknya sekarang bantuin gue dulu," ujar Vincent buru-buru.
Desta mendesah, mengangkat tangannya seperti menyerah. "Oke, gue pikirin dulu. Dia tau nama lo gak?"
Vincent menggeleng. "Enggak. Dia mabuk parah tadi."
"Ah, cewek mabok malah lo libas. Heran gue sama otak lo!" Desta menoyor kepala Vincent lagi.
"Udah, Des! Fokus! Gue harus ngapain sekarang?"
Desta mengangguk pelan, berpikir keras. Lalu ia menjentikkan jari. "Kasih duit aja, Bray."
Vincent mengernyit. "Kasih duit? Jadi kayak kesannya gue beli dia?"
Desta mengangkat bahu. "Setidaknya itu lebih bertanggung jawab daripada lo kabur gitu aja. Plus, bocil kayak gitu pasti mikir duit adalah solusi semua masalah."
Vincent menghela napas panjang, tahu Desta ada benarnya. "Oke. Lo ada cash gak?"
"Ada 10 juta. Lo sendiri?"
"Gue cuma lima juta."
Desta memutar bola matanya. "Kita ke Mr. Harold aja, minta bantu cairin duit lebih."
Vincent mengangguk, dan mereka berdua segera menuju ke meja manajer lounge.
***
Beberapa menit kemudian, Vincent dan Desta masuk ke rest room yang sangat sepi. Valeska masih terlelap di sofa panjang, tubuhnya terbungkus selimut.
"Bjir. Cakep banget," puji Desta tanpa sadar.
Vincent melirik tajam. "Diam, bego. Bisa bangun dia!"
Desta mengangkat tangan, mengunci mulutnya sendiri. "Yaudah, taruh aja tuh amplop di sampingnya."
Vincent berjalan pelan, menaruh amplop cokelat berisi uang di dekat tangan Val. Ia menghela napas panjang, perasaan bersalah masih menggerogotinya.
"Menurut lo, ini cukup?" tanyanya pelan.
Desta mendengus. "200 juta cukup banget buat bocil SMA, Vin. Daripada dia hilang perawan sama pacarnya, cuma dibayar boba sama seblak, mending ini."
Vincent tidak menjawab, hanya menatap Val lama, seolah mengucap permintaan maaf tanpa suara.
"Udah, yuk cabut," ajak Desta.
Vincent mengangguk, mengikuti Desta keluar dari ruangan dengan hati yang masih berat. Malam yang tadinya harus penuh kesenangan berubah jadi penyesalan.
***
bpak mau daftar??🙂