NovelToon NovelToon
Angin Dari Gunung Kendan

Angin Dari Gunung Kendan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern / Toko Interdimensi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Topannov

"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehancuran Desa

Rangga kembali ke Desa Ciwaruga bersama Pak Wirya, tetapi kehadiran mereka disambut oleh kekacauan. Desa diserang oleh pasukan aliran hitam yang mencari sesuatu yang terkait dengan prasasti Gunung Kendan. Rangga mencoba melindungi warga, tetapi kekuatannya masih belum cukup untuk melawan mereka.

Matahari mulai terbenam saat Rangga dan Pak Wirya kembali ke Desa Ciwaruga. Langit berwarna jingga dengan semburat ungu, menciptakan pemandangan yang indah, tetapi suasana hati Rangga tidak seindah langit di atasnya. Pikiran tentang prasasti di gua itu terus menghantuinya. Apa arti bisikan itu? Apa maksudnya menjadi penjaga atau penghancur?

Namun, langkah Rangga terhenti ketika ia melihat kepulan asap hitam yang membubung di kejauhan. Asap itu berasal dari desa. Matanya membesar, dan tanpa pikir panjang, ia berlari menuju arah asap tersebut.

“Rangga, tunggu!” Pak Wirya berteriak dari belakang, tetapi pemuda itu tidak peduli.

Saat mendekati desa, suara jeritan mulai terdengar. “Tolong! Tolong!” Seruan warga yang ketakutan memecah keheningan senja. Suara dentingan logam saling beradu dan gelegar api semakin jelas.

“Tidak mungkin...” gumam Rangga dengan napas memburu.

Ketika ia tiba di desa, pemandangan yang mengerikan terbentang di depan matanya. Rumah-rumah terbakar, dan orang-orang berlarian mencari tempat perlindungan. Beberapa dari mereka tergeletak di tanah, terluka atau lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, beberapa pria berpakaian hitam dengan topeng menyerang tanpa ampun, menebas siapa saja yang mencoba melawan.

“Aliran hitam...” desis Rangga, suaranya penuh kemarahan.

Ia segera berlari ke arah para penyerang. Salah satu dari mereka berbalik, melihat Rangga mendekat dengan tinju terkepal.

“Kamu siapa? Pergi atau—”

Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tinju Rangga menghantam rahangnya dengan keras. Bughh! Pria itu tersungkur, tetapi dua rekannya segera maju menggantikan posisi. Mereka menyerang dengan pedang terhunus. Rangga melompat mundur, menghindari serangan pertama, lalu berputar menghindari serangan kedua.

“Terlalu lemah untuk menjadi ancaman,” ejek salah satu pria berpakaian hitam itu sambil melancarkan tebasan ke arah Rangga.

Rangga memiringkan tubuhnya, menghindari bilah itu dengan jarak tipis. Ia menangkap lengan pria itu dan memutar tubuh lawannya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dengan satu tendangan keras ke belakang, pria itu jatuh menghantam tanah.

Namun, satu serangan dari belakang membuat Rangga terkejut. Ia berbalik, tetapi bilah pedang itu terlalu dekat untuk dihindari. Tepat saat ia berpikir itu akan berakhir buruk, sebuah batu melayang dan mengenai kepala pria bersenjata itu. Gedebug!

“Rangga, awas!” Suara Larasati terdengar dari arah samping. Gadis itu berlari dengan wajah penuh tekad, memegang sebatang kayu panjang yang ia gunakan untuk menghalau musuh yang mendekat.

“Laras! Apa yang kamu lakukan di sini?” Rangga bertanya, terkejut.

“Apa yang kelihatan? Aku melindungi desaku!” jawab Larasati dengan nada tajam sambil memukul seorang penyerang lainnya.

Rangga ingin memprotes, tetapi ia tidak punya waktu untuk berdebat. Dua pria berpakaian hitam lainnya sudah mendekat, dan Rangga bersiap untuk bertarung lagi. Mereka berdua menyerang secara bersamaan, membuat Rangga harus mengerahkan semua refleksnya untuk menghindari serangan itu. Ia menggunakan gerakan yang ia pelajari dari latihan dasar dengan Ki Jayeng, tetapi ia menyadari bahwa tanpa senjata, melawan para pendekar bersenjata adalah tugas yang berat.

“Rangga, hati-hati!” teriak Larasati.

Salah satu pria itu mengayunkan pedangnya dari atas. Rangga memiringkan tubuhnya, tetapi ujung bilah itu masih sempat menggores lengannya. Darah mengalir, tetapi Rangga tidak mundur. Ia menangkap pergelangan tangan pria itu dan memelintirnya dengan keras hingga pedang itu terlepas dari genggamannya. Dengan cepat, Rangga menangkap pedang itu dan menggunakannya untuk menangkis serangan lawan berikutnya.

Dentang logam memenuhi udara. Trang! Trang! Kedua pria itu menyerang tanpa henti, tetapi Rangga terus bertahan. Namun, serangan mereka semakin cepat, dan tenaga Rangga mulai melemah.

“Tolong kami! Tolong!” jerit seorang wanita dari kejauhan. Rangga menoleh dan melihat seorang ibu yang memeluk anaknya, dikepung oleh tiga pria berpakaian hitam.

“Laras, jaga dirimu!” teriak Rangga sebelum berlari ke arah wanita itu.

Dengan pedang di tangannya, Rangga menyerang salah satu pria yang mengancam ibu dan anak itu. Trang! Pedangnya bertemu dengan bilah lawan, tetapi kali ini ia merasa lebih percaya diri. Serangan demi serangan ia lancarkan, hingga akhirnya ia berhasil melumpuhkan dua dari tiga pria itu. Yang terakhir mencoba melarikan diri, tetapi Rangga tidak mengejarnya. Ia membantu wanita itu berdiri dan memastikan anaknya selamat.

Namun, ketika ia berbalik, pemandangan lain membuat darahnya mendidih. Rumah Pak Wirya, tempat ia sering singgah, telah dibakar. Tubuh Pak Wirya tergeletak di depan pintu, tidak bergerak.

“Tidak...” Rangga berlari mendekat, berlutut di samping tubuh pria tua itu. Ia mencoba memeriksa nadinya, tetapi semuanya sudah terlambat. Pak Wirya sudah tiada.

Air mata menggenang di mata Rangga, tetapi kemarahannya lebih kuat. Ia menggenggam pedangnya dengan erat, tubuhnya gemetar. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa-apa, suara tawa dingin terdengar dari belakangnya.

“Jadi ini dia bocah yang mencuri prasasti kami?”

Rangga berbalik dengan cepat. Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan jubah hitam yang panjang. Wajahnya tertutup topeng, tetapi tatapan matanya memancarkan kebencian.

“Siapa kamu?” tanya Rangga dengan nada tajam.

“Aku hanya utusan,” jawab pria itu sambil melangkah mendekat. “Kami datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami. Dan kau… seharusnya tidak menyentuh apa pun di gua itu.”

Pria itu melambaikan tangannya, dan tiba-tiba angin kencang berhembus. Wuuusshhh! Rangga hampir terjatuh, tetapi ia bertahan.

“Ilmu ini...” Rangga bergumam, mengenali kekuatan yang mirip dengan apa yang ia rasakan di dalam gua.

Pria itu mengayunkan tangannya, dan angin berubah menjadi tekanan yang menghantam Rangga dengan keras. Tubuhnya terpental, menghantam tanah dengan suara brak!

“Rangga!” Larasati berteriak, berlari ke arahnya.

Namun, pria berjubah hitam itu hanya tertawa. “Kau terlalu lemah untuk melindungi desa ini. Pergilah sebelum kau benar-benar mati.”

Rangga mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat. Ia tahu pria itu jauh lebih kuat darinya. Dengan bantuan Larasati, ia berhasil berdiri, tetapi ia tahu mereka tidak bisa bertarung lebih lama.

“Kita harus pergi, Rangga,” bisik Larasati. “Kita tidak akan menang.”

Rangga menggigit bibirnya, menahan rasa malu dan frustrasi. Ia ingin melawan, tetapi ia tahu Larasati benar. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mundur. Mereka melarikan diri ke hutan, meninggalkan desa yang terbakar dan penuh kehancuran.

Rangga gagal melindungi Desa Ciwaruga dari serangan aliran hitam. Kekalahannya membuatnya menyadari bahwa ia belum siap menghadapi kekuatan besar yang ada di dunia persilatan.

1
Pangkalan 2405
up
Sri Wulandari Buamonabot
tolong gunakan bhs Indonesia...
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya
Pannov: baik kak, terimakasih masukannya
total 1 replies
Pannov
"Wow, novelnya bener-bener seru dan bikin penasaran! Ceritanya ngalir banget, karakternya juga terasa hidup. Salut buat penulisnya, sukses banget bikin pembaca susah lepas dari halaman ke halaman!"
Feri Fernando
menarik cerita ini
Pannov: terimakasi banyak kk, saya akan buat lebih seru lagi deh
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!