Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga - Belajar Untuk Melepaskan
Amara pulang dengan perasaan bahagia. Dia diterima bekerja sebagai resepsionis di perusahaan tersebut. Amara sangat bersyukur, ternyata masih diberi kesempatan bekerja lagi, dan posisi pekerjaannya sama dengan dulu, saat dirinya bekerja sebelum menikah dengan Alvaro. Amara benar-benar bersyukur sekali, karena di antara banyaknya peserta, namanya terpanggil menjadi salah satu karyawan di perusahaan yang cukup bonafit.
“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang kelayaban!” tanya seorang perempuan yang sudah berada di ruang keluarga.
Amara langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ternyata ada Mama Mertua dan Kakak Iparnya sedang duduk santai di runang keluarga sambil menikmati secangkir teh, dan menonton televisi.
“Eh ada Mama? Dari tadi, Ma?” tanya Amaara.
“Hmm ... sudah setengah jam yang lalu. Kamu dari mana? Kata Bi Asih kamu keluar pagi-pagi sekali? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Eliana.
“Paling kelayaban ngabisin uang suaminya, Ma! Boros kamu!” sarkas Vira.
“Tadi aku ada sedikit urusan di luar, bukan ngabisin uang seperti yang Kak Vira katakan,” jawab Amara santai.
“Ya sudah, mama sudah bilang sama Varo, untuk segera pulang, untuk makan siang bersama di sini,” ucap Eliana.
“Ya sudah saya mau ke kamar, ganti baju, lalu memasak untuk makan siang, masih ada waktu kan, kalau aku masak?” ucap Amara.
Amara langsung masuk ke kamarnya, mengganti pakaiannya, lalu memasak untuk makan siang. Tidak lupa ia memasak udang sambal dan rendang kesukaan suaminya.
Akhirnya setelah bergelut dengan tiga menu masakannya, Amara bisa menyelesaikannya tepat waktu. Dengan bantuan Bi Asih juga tentunya. Amara dibantu beberapa Asisten menata makanan di meja makan. Selesai itu, Amara melepas apronnya. Baru saja Amara akan masuk ke kamar untuk ganti pakaian, Mama Mertuanya masuk ke dalam ruang makan bersama suaminya dan kakak iparnya. Bergegas Amara menyambut kepulangan Alvaro.
“Mas sudah pulang ternyata?” tanya Amara, lalu ia mencium punggung tangan suaminya.
“Hmmm ...,” sahut Alvaro.
“Ya sudah, yuk makan, Mas? Aku sudah masakin makanan kesukaan Mas tuh?” ucap Amara.
“Varo, kenapa Cindi tidak diajak masuk?” tanya Eliana.
“Oh iya,” ucap Varo.
“Cin, sini masuk,” panggil Alvaro.
“Cindi, sini sayang masuk. Gak usah sungkan,” ucap Eliana ramah.
Amara tidak tahu ternyata ada orang lain lagi yang datang untuk ikut makan siang. Ternyata ada perempuan lain, bernama Cindi yang baru masuk dan sekarang berdiri di sebelah suaminya. Perempuan yang begitu cantik dan anggun, membuat Amara insecure. Mungkin perempuan itu datang bersama suaminya, atau perempuan itu yang kemarin dibahas oleh Mama Mertuanya dan Kakak Iparnya, yang akan dinikahi oleh suaminya. Apa mungkin perempuan itu yang dicintai suaminya selama ini?
Pertanyaan itu memenuhi seisi kepalanya. Amara benar-benar tidak percaya itu akan terjadi nyata pada kehidupannya ini.
“Amara, perkenalkan dia Cindi, teman Varo,” ucap Eliana.
“Cindi.” Dia memperkenalkan diri pada Amara, tersenyum seraya mengulurkan tangannya pada Amara.
“Amara. Yuk silakan duduk, jangan sungkan,” ucap Amara dengan ramah, dan mengulurkan tangannya, menyambut kedatangan Cindi.
Cindi langsung duduk di sebelah Alvaro, padahal tempat duduk itu biasa digunakan oleh Amara. “Ini tempat duduk saya,” ucap Amara.
Varo menatap tajam Amara, seakan menyuruh Amara duduk di kursi lainnya. “Masih banyak kursi yang kosong, tidak usah dipermasalahkan, Ara!” ucapnya dengan dingin.
Amara pun menurut, akhirnya ia duduk di sebelah kakak iparnya. Amara begitu terkejut, karena Cindi berani mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk Varo. Padahal itu adalah tugas Amara setiap hari. Amara merasakan sesak di dadanya saat itu. Tugasnya direbut begitu saja oleh perempuan yang baru ia kenal.
“Apa tugas lainnya akan kamu rebut juga?” batin Amara perih. Apalagi melihat suaminya tidak menolak, bahkan dia tersenyum dan berterima kasih dengan tulus pada Cindi.
“Makasih ya, Cin?” ucap Alvaro dengan mengulas senyum. Hal yang tidak pernah Alvaro lakukan pada Amara, padahal setiap harinya Amara melakukan hal yang sama dengan Cindi.
“Oh ya, lupa udang sambalnya. Ini juga makanan kesukaan kamu kan, Varo?” ucap Cindi, lalu menyendokkan udang sambal, dan menaruh di piring Varo.
“Kamu masih ingat saja makanan kesuakaan Varo, Cin?” ucap Eliana.
“Tentu saja aku masih ingat, Tante. Bagaimana aku bisa melupakan apa yang Varo sukai?” ucap Cindi.
“Cocok banget mereka ya, Ma?” ucap Vira dengan berbisik pada mamanya, dan bisa terdengar oleh Amara apa yang dikatakan Kakak Iparnya itu.
Amara benar-benar tak dipedulikan, padahal dialah yang memasak semua masakan. Tapi tak pernah ia dipuji oleh suaminya atau mertuanya. Cindi yang masih ingat soal makanan kesukaan Varo saja sudah dipuji dengan segitunya. Dengan cepat, Amara menyelesaikan makannya, lalu ia bergegas pergi dari ruang makan, karena merasa kehadirannya tidak dianggap di sana. Dengan alasan ingin segera ke kamar kecil, akhirnya Amara pergi dari ruang makan.
^^^
Amara masuk ke kamarnya. Ia tidak mau melanjutkan drama di ruang makan yang membuat dadanya sakit dan sesak. Ia masih merasakan sakitnya tadi. Amara berjalan menuju balkon, tapi tak disangka ia malah melihat Varo begitu mesra pada Cindi. Bisa-bisanya Varo mengusap kepala Cindi, lalu memeluknya, serta mengecup kepala Cindi. Amara semakin yakin, kalau Cindi adalah perempuan yang masih Alvaro cintai selama ini.
Amara menyeka air matanya yang sudah membasahi pipinya. Ia menangis, meratapi sakitnya. Benar-benar sakit melihat hal seperti itu. Belum hilang rasa sakit saat di ruang makan tadi, malah ditambah ia melihat kemesraan suaminya dengan Cindi.
“Amara ... stop! Jangan tangisi dia! Mulai sekarang belajarlah untuk perlahan melepaskan dia. Sudah jelas, bukan? Kamu ini hanya pelampiasan dia saja, kamu tidak dicintainya. Lepaskan dia, Amara! Kamu harus bisa!”
Lagi-lagi Amara melihat Varo tersenyum dengan penuh kebahagiaan di depan Cindi. Senyuman yang tak pernah Amara lihat selama tiga tahun hidup bersama Alvaro. Tiga tahun lamanya, sepertinya apa pun yang Amara lakukan tidak pernah membuat hati Alvaro terbuka, dan mencintainya.
^^^
Pagi menyapa, Amara sudah siap dengan pakaian kerjanya. Pakaian yang mungkin seadanya dulu. Mengenakan kemeja putih dan rok hitam selutut, karena itu yang Amara punya. Ia memoles wajahnya dengan make up tipis, namun terlihat begitu manis dan natural.
Amara menuruni anak tangga, ia segera ke ruang makan untuk sarapan. Amara pagi ini tidak memasak, karena takut terlambat masuk kantor. Ini hari pertamanya ia bekerja, jadi tidak mungkin kalau dia harus terlambat datang ke kantor.
Amara dengan cepat menyelesaikan sarapanya. Setelah selesai, terlihat Alvaro baru saja turun dari kamar. Varo menatap penampilan istrinya yang tidak seperti biasanya. Terlihat begitu cantik sekali Amara pagi ini, hingga membuat Alvaro terpesona akan penampilan Amara.
Alvaro duduk di sebelah Amara yang sudah selesai sarapan. Dia melihat rok Amara yang sedikit ketat, dengan belahan di tengah bagian belakang.
“Kamu beli pakaian kerja yang sopan! Mau kerja atau mau pamer paha?” ucap Alvaro dengan memberikan blackcard pada Amara.
Amara menghela napasnya dengan kasar, karena ia merasa tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Roknya saja sudah sesuai standar yang perusahaan kasih tahu.
“Aku berangkat, Mas.” Amara meraih tangan Alvaro, lalu mencium punggung tangannya karena ia tak mau debat kusir dengan suaminya hanya karena pakaian yang ia kenakan pagi ini. Bahkan Amara langsung pergi, tanpa mengambil blackcard yang Alvaro letakkan di depan Amara.
Alvaro hanya menggelengkan kepala saat Amara pergi begitu saja tanpa membawa kartu yang ia berikah. Tak mau pusing dengan sikap Amara, akhrinya Alvaro memulai sarapannya. Ia menyendokkan nasi goreng yang sudah disajikan istrinya tadi. Namun, baru sesuap, ia menghentikan kunyahannya.
“Bi Asih, ini nasi goreng kok rasanya beda dari biasanya?” tanya Alvaro.
“Ehm ... masa, Pak? Padahal bumbunya sama dengan apa yang Bu Ara ajarkan,” jawab Bi Asih.
“Biasanya gak seperti ini rasanya, kamu yang biasa masak, kan?”
“Ehm ... sebetulnya selama ini Bibi hanya bantu-bantu Bu Ara menyiapka bahan masakan saja, Pak. Semua Bu Ara yang masak setiap hari,” jawab Bi Asih.
Alvaro terkejut dengan ucapan Bi Asih. Varo kira selama ini Amara hanya bantu-bantu saja di dapur, supaya tidak jenuh. Tapi ternyata malah Amara semua yang memasak untuknya selama ini.