Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Lima
Vila.
Begitu tiba di vila, Karin langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Bayangan tentang bagaimana Wisnu menyentuhnya dengan paksa membuatnya merasa jijik.
Untuk menenangkan diri, Karin berendam di bak mandi dengan menggunakan sabun aromaterapi, berharap aromanya bisa membantunya lebih rileks.
Di luar, Dokter Kang sibuk membersihkan luka Raka dengan alkohol agar infeksinya tidak semakin parah.
Sesekali, Karin mendengar Raka mengerang kesakitan. Hal itu membuatnya segera menyelesaikan mandinya. Setelah selesai, ia berganti pakaian dan mengeringkan rambutnya sebelum keluar dari kamar mandi.
Karin bergegas duduk di samping Raka yang sedang berbaring di ranjang. Pandangannya tertuju pada tubuh Raka yang saat itu bertelanjang dada, tampak jelas bekas-bekas luka memar di beberapa bagian tubuhnya. Kelopak matanya menghitam dan sudut bibirnya masih terlihat memar. Ia merasa ngeri saat melihat lukanya yang cukup dalam dan darah yang terus merembes dari lengannya.
"Arghh!" Raka menjerit saat Dokter Kang menjahit lukanya.
Karin mencengkeram lengan Raka, mengusapnya lembut, merasa tidak tega melihat suaminya menahan sakit.
"Dokter Kang, apakah tidak bisa menggunakan obat bius yang lebih kuat?" tanya Karin, tak sanggup melihat Raka kesakitan.
"Ini supaya lukanya cepat sembuh, jadi saya hanya menggunakan sedikit obat bius," jawab Dokter Kang sambil melanjutkan jahitannya.
"Maafkan aku, gara-gara aku, kamu jadi terluka begini." Karin menunduk, merasa sangat bersalah. Jika saja ia tidak mudah percaya pada orang, hal ini mungkin takkan terjadi.
"Ssst, bukan salahmu. Seharusnya aku yang minta maaf. Kalau saja aku tidak memaksamu datang ke pesta, hal ini takkan terjadi." Raka menggenggam tangan Karin, berusaha menenangkannya.
“Jangan khawatir, Raka jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan,” ujar Dokter Kang setelah selesai dengan jahitannya.
"Saya permisi dulu, ini sudah larut malam," kata Dokter Kang sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Jika bukan karena Raka, mungkin ia tidak akan datang pada jam seperti ini.
"Terima kasih, Dokter Kang," ucap Karin sambil mengantarkannya ke pintu depan kamar.
Tak lama kemudian, Bibi Xia datang membawa air hangat untuk membersihkan luka memar di wajah Raka. Ketika hendak membasuh wajahnya, Karin mengulurkan tangan.
"Biar aku saja yang melakukannya, Bibi. Bibi istirahat saja, ini sudah malam," kata Karin sambil tersenyum.
Bibi Xia mengangguk dan meninggalkan kamar, merasa senang melihat perhatian Karin pada Raka. Ia berharap Karin akan menerima suaminya sepenuh hati.
Karin mulai membersihkan wajah Raka dengan lembut, menghapus noda darah yang mengering di sudut bibirnya.
Raka terus menatap Karin, merasa senang karena perhatian dan kepedulian gadis itu. Ia benar-benar berharap Karin bisa terus berada di sampingnya seperti ini.
Mereka saling bertatapan sejenak, membuat wajah Karin memerah.
"Aku sangat senang kau ada di sini bersamaku saat ini," kata Raka sambil mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Karin dengan lembut.
Karin terdiam, hanya menatap wajah Raka. Tangannya yang masih memegang kain basah perlahan menyentuh wajah pria itu.
"Arghh," Raka meringis saat Karin tak sengaja menekan lukanya terlalu keras.
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu," kata Karin, panik melihat Raka kesakitan.
"Tidak apa-apa," Raka tersenyum, mencoba menenangkan dirinya.
"Sudah malam, lebih baik kau istirahat," ujar Karin sambil meletakkan baskom berisi air hangat ke atas meja, bersiap untuk meninggalkan kamar.
Namun, sebelum ia sempat pergi, Raka menahan pergelangan tangannya.
"Apa ada yang kau butuhkan?" tanya Karin, bingung.
"Bisa kau ambilkan aku pakaian?" tanya Raka.
Karin mengambilkan kemeja yang longgar agar mudah dikenakan tanpa menyentuh perban di lengannya. Dengan malu-malu, ia membantu Raka mengenakannya.
"Kau mau ke mana?" tanya Raka saat melihat Karin bersiap meninggalkan kamar.
"Aku akan tidur di sofa," jawab Karin sambil tersenyum kecil.
"Temani aku di sini, setidaknya untuk malam ini," pinta Raka, menepuk bantal di sampingnya.
Karin menunduk malu, menggigit bibirnya, merasa ragu.
"Kemarilah," Raka berkata dengan lembut.
Akhirnya, Karin kembali naik ke ranjang, berbaring di samping Raka. Jantungnya berdebar kencang karena belum pernah sedekat ini dengannya. Ia memilih untuk membelakangi Raka, tak berani menatapnya.