menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3 rupanya mereka berteman
"Ra, maaf ya, aku bisanya nyusahin doang," ucap Mira dengan wajah sayunya.
"Apaan sih, udah ah jangan ngomong gitu lagi, aku nggak suka. Pokoknya hari ini kita temui ibu kamu. Hmmm... mau bawa apa lagi ya? Itu charger jangan lupa," ucapku sambil menunjuk ke charger handphone yang ada di atas meja.
"Oh iya, lupa. Hmmm... udah kayaknya," jawab Mira.
"Coba cek lagi, takutnya ada yang ketinggalan. Itu regulator gasnya mending dicabut aja, sama ini masukin biar nggak kedinginan. Kamu ih, berantakan banget!" ucapku sambil mengomel.
Mira hanya diam dengan omelanku. Setelah merasa semua sudah aman, kami pun pergi meninggalkan kamar kosan, tak lupa berpamitan pada pemilik kosan.
Sekitar setengah jam kemudian, aku dan Mira sampai di Indomaret untuk menemui ayahku.
"Udah siap?" tanya ayahku.
"Udah, yuk," jawabku singkat.
Kami pun berjalan menuju pinggir jalan, lalu naik angkot menuju terminal dan dilanjutkan dengan naik bus jurusan Pangandaran.
"Eh Mir, kabarin dulu kakak kamu," ucapku pada Mira.
"Oh iya, bentar," jawabnya sambil mengeluarkan handphone.
Aku melirik ke belakang, melihat ayahku duduk dengan santainya.
"Eh Mir, dari sini ke Pangandaran jauh nggak sih?" tanyaku pelan.
"Kamu nggak pernah ke Pangandaran?" ucap Mira balik bertanya.
"Ih, jangan keras-keras," ucapku sambil menutup mulut Mira.
"Kamu beneran nggak pernah ke Pangandaran, ke pantai Pangandaran? Masa sih?" tanya Mira.
"Dari dulu, ayahku nggak pernah ngizinin aku kalau mau ke pantai. Kamu tau sendiri kan, dari dulu aku nggak pernah bisa lepas dari ayahku," jawabku sedikit kesal.
"Iya juga sih... Hmmm, kalau naik bus biasanya 5 sampai 6 jam," jawab Mira.
"Hah? Emangnya jauh ya?" tanyaku kaget.
"Cek aja di Google Maps," ucapnya santai.
"Iya loh, jauh juga ya," jawabku sedikit panik.
"Kamu nggak pernah pergi gitu? Jalan-jalan?" tanya Mira.
"Pernah sih, tapi nggak pernah jauh-jauh dan nggak pernah ke pantai. Ayahku biasanya ngajak ke gunung-gunung, kayak Burangrang, Ciwidey, Puntang, Ciater, Tangkuban Perahu. Yaa... yang begitu-begitu aja," timpalku santai.
"Oh gitu... Biasanya nih ya, kalau ada anak yang dilarang ke pantai atau laut, pasti ortunya ngelmu," ucap Mira pelan.
Reflek, aku langsung menepuk kepalanya. "Astagfirullah! Amit-amit! Ih, kamu ngomongnya ngaco! Maksud kamu ortu aku dukun gitu? Sembarangan!" ucapku kesal.
"Aaawww, sakit tau," ucap Mira sambil mengelus kepalanya.
"Ya kamu ngomongnya kemana-mana," jawabku.
Kami terus mengobrol, tanpa sadar aku jadi kepikiran dengan ucapan Mira. "Apa iya ya? Apa mungkin ayah ibuku belajar ilmu gituan? Kalau iya, buat apa? Apa untungnya? Ih, si Mira bikin aku kepikiran aja..." gumamku dalam hati.
Singkat cerita, tibalah kami di terminal Pangandaran.
"Dari sini naik angkot apa?" tanya ayahku pada Mira.
"Bisa naik yang itu, atau jalan kaki juga bisa, Om. Kalau jalan kaki juga nggak sampai 10 menit kok, tuh rumah sakitnya udah kelihatan," ucap Mira sambil menunjuk arah.
"Yaudah yah, mending jalan aja. Lagian pantat Nura pegel duduk terus," ucapku cuek.
Ayahku hanya tertawa mendengar jawabanku.
Kami pun berjalan kaki menuju rumah sakit. Tak jauh dari rumah sakit, ayahku berkata, "Sayang, ajak Mira beli roti atau cemilan. Ini uangnya..."
"Ayah mau apa? Kopi?" tanyaku.
"Air putih aja," jawabnya.
"Yaudah, ayah tunggu di sini, jangan kemana-mana," ucapku.
"Iya, itu rumah sakitnya juga udah kelihatan. Ayah tunggu di sana," jawabnya.
Setelah belanja, aku dan Mira keluar dan melihat ayahku tidak ada di tempat.
"Ih kebiasaan, dibilangin suruh tunggu!" ucapku kesal.
Mira pun kemudian berkata, "Coba kesana yuk, tadi kan bilangnya nunggu di depan rumah sakit."
"Yaudah yuk," jawabku singkat.
Wajah Mira terlihat sedikit panik, meski berusaha tenang, aku yakin Mira ingin cepat-cepat menemui ibunya.
Benar saja, kami melihat ayahku sedang berdiri di depan rumah sakit dan berbincang dengan seorang pria. Karena penasaran, kami pun menghampirinya.
Saat aku dan Mira menyebrang, tiba-tiba Mira berlari dan langsung memeluk pria tersebut yang ternyata adalah bapaknya.
"Pakkk... Huhuhu," Mira menangis sambil memeluk bapaknya.
"Kamu ke sini sama siapa? Kenapa nggak minta jemput si Aa?" tanya bapaknya.
"Mira bareng ini, Pak," jawab Mira sambil menunjuk ke arahku dan ayahku.
"Ini bapak kamu?" tanya ayahku kaget.
"Iya, Om, ini bapak aku," jawab Mira.
"Ya Allah, tahu gitu kamu nggak usah ngekos. Udah aja tinggal bareng, sekalian nemenin Nura," ucap ayahku.
"Yah, emangnya ayah kenal?" tanyaku memotong pembicaraan.
"Ini mah teman lama ayah. Eh, salim dulu," ucap ayahku.
Aku pun salim sambil memperkenalkan diri. "Nura, Om."
"Siapa? Yura?" tanya ayah Mira.
"Nura, Om, pakai N. Lengkapnya Ridha Nurazahra. Mau panggil Ridha juga boleh," jawabku.
Mendengar ucapanku, tiba-tiba ayahnya Mira terdiam. Dia menatap ayahku, seperti ada sesuatu yang tidak dikatakan. Tatapan mereka seperti menyimpan rahasia.
Mira pun membuyarkan suasana dengan berkata, "Ih, malah ngobrol. Cepetan anterin Mira dulu."
Mira dan ayahnya langsung pergi meninggalkan kami.
"Ini yah minumannya," ucapku sambil menyodorkan sebotol air.
Aku dan ayahku pun berjalan mengikuti mereka.
"Kita tunggu di sini aja, gpp kan? Soalnya bukan jam besuk jadi nggak boleh masuk," ucap ayahku.
"Ayah, kok pas Nura kasih tahu nama lengkap Nura, ayahnya Mira langsung diem sih? Terus tatapannya kayak melototin ayah. Kenapa ya?" tanyaku penasaran.
"Ah, masa sih? Nggak ada apa-apa kok. Kamu tadi beli apa aja?" jawab ayahku mengalihkan pembicaraan.
"Ih, main rahasia-rahasiaan," ucapku kesal.
"Udah ah, ayah lapar. Kamu juga lapar kan? Mending makan dulu," ucap ayahku sambil membuka sebungkus roti.
"Ayah, mumpung di sini, ajak Nura ke pantai dong. Nura belum pernah loh main ke pantai seumur hidup."
Dengan wajah manja, aku berkata, "Coba ayah inget-inget, pernah nggak ajak Nura ke pantai? Nggak pernah kan? Yaah, pleaseee..."
Dengan polosnya ayahku menjawab, "Ngapain ke pantai, di pantai itu nggak ada apa-apa. Cuma pasir, terus depannya laut. Udah, gitu doang. Kalau mau lihat ikan, kamu harus nyelam dulu."
Aku yang nggak mau kalah pun terus memaksa, "Gpp atu yah, hitung-hitung jalan-jalan."
"Yaudah, abisin ini dulu yah, sekalian nunggu Mira. Nggak enak kan kalau nggak pamit dulu," jawab ayahku santai.
"Hah? Beneran yah? Ih, makasih ya yah!" jawabku kegirangan sambil memeluknya.
"Iya," jawab ayahku sambil membelai rambutku.
Beberapa saat kemudian, Mira dan ayahnya keluar dari IGD dan berjalan ke arah kami.
"Gimana Mir?" tanyaku.
"Ya gitu, masih lemes. Tapi gpp, yang penting aku udah di sini," jawab Mira berusaha tegar.
Ayahku lalu berdiri dan mengajak ayahnya Mira menjauh sedikit. Kulihat mereka seperti mengobrol serius, entah apa yang mereka bicarakan, aku pun penasaran.
Terlihat ayahku mengeluarkan handphone, mungkin sedang menelepon seseorang. Tak lama kemudian, ayahku kembali ke arahku.
"Yuk," ajaknya.
"Sekarang? Kenapa nggak besok pagi aja?" tanyaku.
Ayah Mira berkata, "Gpp, masih ada waktu. Besok juga masih bisa."
Dengan perasaan sedikit lega, aku pun tersenyum.