Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Semenjak tahu Nihaya hamil, Angga menjadi pendiam. Angga yang memang seorang intovert jadi lebih pendiam dari sebelumnya bahkan ia terkesan menarik diri dari lingkungan.
Tinggal satu tempat beramai-ramai dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja membuat Angga ingin memisahkan diri. Perubahan sikapnya terasa oleh orang disekitarnya. Sampai suatu kesempatan, Angga mengutarakan keinginannya keluar dari sana. Bukan keluar kerja, melainkan pindah tempat berteduh ke gubug yang ia bangun sendiri di belakang dengan bahan seadanya. Kawan-kawan menyetujui asalkan perasaan Angga membaik.
Drt.. drt...
Disaat beberes perabotan, Hp Angga bergetar ada yang memanggil. Ia angkat panggilan tersebut yang datangnya dari sang bibi--istri dari pamannya yang datang kemarin. Orang tua Angga tidak bisa mengoperasikan ponsel. Jadi kalau ada kabar apa-apa, adik, paman, dan bibi nya lah yang menjadi penghubung komunikasi.
"Assalamualaikum," salam datangnya dari seberang sana. Suaranya milik sang ibu.
"Wa'alaikumsalam Bu."
"Le, kamu baik-baik saja disana?"
"Baik bu, ibu sehat-sehat aja kan? bapak bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah ibu sehat. Bapak juga baik-baik saja seperti biasanya. Tapi adik dan paman mu tidak le. Mereka kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit."
"Kecelakaan?"
"Iya, waktu kembali dari Jakarta. Le.. ibu mau tanya," suara ibu mulai bergetar. Angga menarik nafas dalam-dalam.
"Tanya apa bu?"
"Kamu.. apakah marah sama Nihaya?"
Angga membuang nafas kasar. Dia sesungguhnya tidak mau membahas ini.
"Tidak bu. Ah iya, bagaimana keadaan paman?Angga atur waktu buat jenguk ke sana." Tanya Angga sambil mengepalkan tangan. Di lubuk hatinya yang paling dalam terselip rasa khawatir kepada adiknya. Namun kekecewaan kembali menyelimuti hingga ia kuasa untuk tidak menanyakan keadaan Nihaya.
"Syukurlah kalau begitu. Ibu takut persaudaraan kalian retak gara-gara masalah tersebut. Paman mu kakinya patah, dan sudah ditangani. Nihaya baru saja sadar. Ia langsung minta minum habis itu manggil-manggil kamu le. Ibu juga kecewa dengan apa yang terjadi pada Nihaya, ibu lebih kecewa kenapa ibu tidak dibagi masalah yang Nihaya pendam selama ini. Tapi sekarang--"
Sepertinya ibu belum tahu situasi antara aku dan Nihaya.
"Hallo bu, hallo.. hallo.. " Angga melakukan gerakan mencari-cari sinyal sambil terus mengatakan hallo. Lelaki itu kemudian mematikan sambungan telepon, dan mengucapkan salam di dalam hatinya. Dia juga mematikan hp, serta mecopot kartunya.
Maafkan Angga bu, Angga gak mau bahas dia lagi.
Jeratan marah mematikan rasa empati. Angga merasa masih membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan, hingga menghindar sementara baginya merupakan jalan terbaik.
Angga menyugar kasar rambutnya. Perabot di atas meja berserakan diterjang kegalauan laki-laki itu. Gara-gara galau, sampai hati Angga memutus telepon sang ibu yang masih ingin bicara. Pantang sekali seorang anak berlaku demikian kepada orang tua. Tanpa laki-laki itu sadari, hal tersebut seperti berbuntut panjang hingga ia mendapatkan hukumannya setelah tiga puluh delapan hari.
Di mulai dari sekarang.
...****...
Beberapa hari kemudian, di gubuk derita Angga.
Tok.. tok.. tok..
Siapa yang mengetuk pintu, batin Angga. Dia menyudahi kegiatan gambarnya yang dia santroni sejak pulang bekerja. Angga beranjak membuka pintu, dimana tidak ada bunyi 'ceklek' dari handle lantaran kuncinya hanya sebuah kawat yang dililitkan pada paku menancap separuh.
"Ngapain kamu kesini?!"
Yang bertamu adalah Nihaya. Ia datang sendirian dengan kepalanya terbalut perban. Mulut boleh berkata sinis, tapi jauh di bagian ruang hatinya, ada kelegaan di hati Angga mendapati adiknya baik-baik saja.
"Mau ketemu Mas Angga."
"Mau ngapain?"
"Minta maaf."
Bruk.
Pintu dari triplek tipis menutup, memisahkan pandangan Angga dan Nihaya. Tapi tidak lama dari itu, pintu yang baru saja ditutup Angga engselnya copot sebelah. Mengakibatkan pintu tidak berfungsi sepenuhnya hingga menimbulkan celah. Nihaya mengintip dari celah itu.
"Kenapa Mas?"
Angga hanya melirik sekilas pada Nihaya sambil tangannya sibuk membetulkan engsel. Dia berdecak dalam hati, kenapa pintu segala copot pas lagi ngambek-ngambeknya. Angga tidak menjawab basa-basi Nihaya. Tanpa di tanya pun semua orang yang melihatnya bakal tahu kalau pintunya sedang roboh.
"Aku bantuin ya?"
"Gak usah. Kamu benar-benar gak denger omongan saya ya?! Jangan pernah datang kesini lagi eh malah nekat datang lagi. Mending kamu pulang saja sana!"
"Aku nggak mau pulang. Aku mau disini sama Mas Angga."
Angga mendengus, benar-benar meninggalkan Nihaya di luar sana padahal langit kelabu menandakan hujan segera turun. Guruh sudah terdengar. Lelaki itu gelisah di pembaringan. Dia bangun, mengintip keadaan luar lewat celah pintu.
Batu banget tuh anak! makinya karena masih mendapati Nihaya di luar.
Angga membuka lilitan kawat pintu lalu kepalanya menyembul keluar.
"Masuk."
Nihaya tersenyum lebar.
...****...
Di lain tempat.
"Muka mu galau banget Ji? kaya orang lagi putus cinta."
"Emang lagi putus, tapi cintaku gak akan terputus." Aji menjawab tanpa minat.
"Wess, maksudnya kamu putus sama-- siapa Ji namanya? Ni.. Ni apa?"
"Nihaya Mbak, kekasih pujaan hatiku entah mengapa malah memintaku untuk menjauh. Padahal aku gak ngelakuin kesalahan apa-apa. Aku tahu kakak laki-lakinya kurang setuju kalau adiknya sampai pacaran. Katanya bisa mengganggu fokus kuliahnya. Tapi kan Mbak, setelah kami berjuang meyakinkan, akhirnya Mas Angga memberi ijin asal kami bisa menjaga kepercayaannya. Dan di antara kami juga gak terjadi apapun. Lagi anteng, tau-tau Nihaya pengen aku pergi dari kehidupannya. Aneh kan ya?!"
Mbak Nuri manggut-manggut mendengar curahan hati sepupunya, Aji Prasetyo.
"Iya sih aneh. Kamu benar-benar gak tahu apa yang terjadi?"
Aji menggelengkan kepala.
"Daripada galau mending kamu cari tahu informasi mengenai Nihaya. Siapa tahu dia dalam situasi yang sulit sampai-sampai membuat keputusan seperti itu. Selidiki aja dulu, galaunya belakangan."
"Benar juga ya Mbak. Tapi bagaimana caranya, sedangkan Nihaya orang yang tertutup? Temannya sedikit, itu pun solid semua. Kalau dimintai keterangan tentang Nihaya, mereka pasti menghubungi Nihaya terlebih dahulu."
"Kamu ke rumahnya Ji."
"Yah itu lagi, gak bakal dapet apa-apa Mbak. Malah aku nanti di suruh pulang."
"Semenjak di suruh menjauh, kamu sudah berapa kali ke rumahnya?" Nuri menyeruput teh nya.
"Belum sih." Jawaban Aji hampir membuat Nuri tersedak.
"Nah itu. Coba aja kamu ke rumahnya, atau nggak kamu ke rumah saudaranya Ji. Bawa santai aja, jangan bersikap mencolok seperti mencari informasi."
"Gitu ya Mbak. Aku akan coba sarannya. Lama-lama aku berasa jadi intel kaya Mbak Nuri hehe. Btw, lagi sibuk apa nih kak?"
.
.
.
Bersambung.
seriusss??? end?????
btw.. nanya dong kak Zenun,, tas gemblok apaaan?? ransel bukan?
miris amat si dirimu.. gabung ma Jeff aja sana😅😅😅
Alan bakal jadi bapak asuh sembara si putra manusia dan Setengahnya jin....
Semangat berkarya akak Ze ayank....🫶🫶🫶🫶🫶