Nindya seorang sekertaris yang sangat amat sabar dalam menghadapi sikap sabar bosnya yang sering berubah suasana hati. Hingga tiba-tiba saja, tidak ada angin atau hujan bosnya dan keluarganya datang ke rumahnya dengan rombongan kecil.
Nindya kaget bukan main saat membuka pintu sudah ada wajah dingin bosnya di depan rumahnya. Sebenarnya apa yang membuat bos Nindya nekat datang ke rumah Nindya malam itu, dan kenapa bosnya membawa orang tuanya dan rombongan?
Ayo simak kelanjutan ceritanya disini🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon VivianaRV, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Bisa Nindya denger dari luar ruangan, suara didalam ruangan bosnya itu hanya suara bantingan barang. Entah siapa yang membanting barang-barang itu, yang Nindya dengar hanya suara barang yang berjatuhan dan tidak mendengar suara jeritan sama sekali. Hingga tidak lama kemudian wanita itu keluar dengan keadaan yang acak-acakan.
Nindya yang melihatnya pun melongo tidak percaya, wanita itu hanya melihat Nindya sekilas lalu pergi. Nindya jadi takut untuk masuk ke dalam ruangan bosnya itu.
"Nindya segera masuk ke dalam ruangan saya!" teriak Kai dari dalam ruangannya.
Nindya dengan takut masuk ke dalam ruangan berjalan pelan. Saat sudah masuk ke dalam aura di dalamnya kurang mengenakkan.
"Mana laporannya!" Nindya maju memberikan map hijau kepada Kai. Kai langsung dengan cepat mengambil map itu dan membacanya dengan raut wajah serius.
Brak(suara gebrakan meja)
Nindya yang sedang menunduk pun terlonjak kaget. Dia mendongakkan kepalanya melihat ekspresi bosnya. Wajah Kai mengetat penuh dengan amarah yang meluap-luap.
"Kamu itu memang bisa kerja tau tidak sih! Masa hanya untuk mengecek berkas seperti ini kamu tidak bisa dan masih ada kesalahan!"
"Bagian mana pak yang salah? Perasaan saya sudah melihatnya berkali-kali aman tidak ada masalah apapun" kali ini Nindya akan berani bertanya, dia tidak mau disalahkan dan dihina terus menerus.
"Mata kamu itu dipakai! ini terlalu rancu laporannya, kalau kamu enggak niat kerja lebih baik enggak usah kerja!" Kai melampiaskan amarahnya ke Nindya.
Mendengar perkataan yang seperti itu membuat hati Nindya langsung mencelos sakit. Enak sekali bosnya itu bilang bahwa dia tidak niat bekerja, lalu selama ini dia dianggap apa? Masa lembur selama sebulan full itu hanya main-main saja.
"Pak kalau anda ada masalah dengan orang lain jangan lampiaskan ke saya, profesional dong pak jadi bos itu!"
"Tahu apa kamu tentang saya!" bentak Kai dengan mata yang melototi Nindya.
Sudah cukup, pertahanan yang dibuat Nindya sudah runtuh saat ini. Perlahan air mata yang Nindya tahan sedari tadi sudah turun ke pipinya.
"Ya saya memang tidak tahu semua tentang anda selama ini!" Kai yang semula tidak melihat ke arah Nindya pun saat melihat ke arah Nindya kaget tapi dia dengan segera menormalkan raut wajahnya agar terlihat biasa saja.
Nafas Nindya terengah, "kalau anda tadi bilang saya tidak niat kerja, jadi saya memutuskan untuk segera resign dari sini. Besok anda akan melihat surat pengunduran diri diatas meja anda, saya pamit pak."
Dengan rasa marah didada, Nindya pergi dari ruangan Kai. Dia terus mengelap air matanya karena terus menerus keluar tidak mau berhenti. Nindya berpikir mungkin ini lah akhir dari masa perjuangannya selama tujuh tahun bekerja di sini.
Nindya mengambil tas serta laptopnya lalu menuju lift. Saat sudah sampai lantai dasar dia bertemu dengan Adel yang ada di meja resepsionis. Adel kaget melihat keadaan Nindya yang menangis sambil tangannya membawa tas kerjanya.
"Nin kamu mau kemana jam segini?" tanya Adel dengan alis mengkerut.
"Aku mau pulang."
"Kamu pasti bercanda kan? Mana ada pegawai kantor jam segini pulang apalagi kamu seorang sekertaris dari bos paling sibuk pasti pulangnya malam terus."
"Aku saat ini sampai seterusnya sudah tidak menjadi sekertarisnya pak Kai lagi."
"Nindya kamu itu kalau bercanda jangan berlebihan dong."
"Aku tidak bercanda, apa yang aku ucapkan itu akan menjadi kenyataan. Besok aku akan memberikan surat pengunduran diri dan akan membereskan meja kerja ku."
"Ya ampun kamu kenapa kok bisa mengundurkan diri? Ada masalah apa sih?"
"Ceritanya panjang tapi yang pasti aku sudah tidak kuat lagi berada di sini."
"Kamu beneran mau keluar dari perusahaan ini? Enggak kamu pikirkan lagi?"
"Keputusanku sudah bulat tidak bisa diganggu gugat lagi."
"Ya sudah kalau memang itu keputusan kamu, sudah sekarang kamu pulang dan tenangkan dirimu agar lebih rileks."
"Hmm...aku pulang duluan ya" Adel mengangguk dan tersenyum lalu mengelus pundak Nindya.
Nindya keluar dari perusahaan dengan langkah lunglai tidak semangat sama sekali. Adel masih berada di tempatnya semula melihat Nindya hingga tidak terlihat lagi.
Lima belas menit kemudian Nindya telah sampai di rumahnya. Ibu Nindya yang saat ini tengah membersihkan teras rumah pun kaget melihat anaknya sudah pulang jam 11.30 karena biasanya Nindya pulang diatas jam sembilan.
"Nak kenapa kamu pulang jam segini?" Leli ibu Nindya pun menghampiri anaknya yang terlihat lesu.
"Nak kamu pulang bukan karena sakit kan?" Nindya menggeleng.
"Ya sudah ayo kita masuk dulu agar enak ngobrolnya" Leli menuntut Nindya masuk ke dalam rumah lalu mendudukkan di sofa.
"Ada apa nak? kamu jangan hanya diam seperti itu dong? Ibu jadi khawatir."
"Bu aku mau berhenti kerja" Nindya berucap pelan.
"Kenapa kamu mau berhenti kerja nak?"
"Aku sudah enggak kuat kerja disana bu, aku sudah tidak kuat lagi kerja disana."
"Kamu sudah memikirkan dengan matang keputusanmu itu?"
"Aku sudah memikirkannya bu, mungkin memang yang terbaik aku harus keluar dari perusahaan itu."
"Ibu terserah kamu saja, tapi alangkah baiknya kamu memikirkannya saat amarah kamu sudah mereda, coba pikirkan dengan kepala dingin."
"Iya bu, tapi kalau aku tetap ingin keluar dari perusahaan apakah tidak papa bu?"
"Tidak papa nak, ibu tidak akan memaksa karena kan kamu yang menjalaninya."
"Terima kasih ya buk" Nindya memeluk tubuh ibunya dengan sayang.
"Iya nak sama-sama, sudah sana mending kamu mandi agar badanmu lebih segar" Nindya mengangguk lalu beranjak menuju ke kamarnya.
Nindya hidup dengan ibu dan ayahnya yang sangat menyayanginya. Dia tidak memiliki adik karena ada masalah dengan kandunga ibunya makanya hingga saat ini dia tidak bisa memiliki adik. Walaupun anak tunggal Nindya tetap didik untuk mandiri.
Bahkan saat kuliah dulu, Nindya kuliah sambil bekerja itu pun atas keinginannya sendiri tanpa paksaan dari orang tuanya. Ayahnya seorang pedagang besar disebuah pasar yang ada di kota. Sebenarnya kalau hanya untuk kebutuhan Nindya, dia tidak akan kekurangan.
Saat Nindya akan masuk kamar mandi ada suara notifikasi dari teleponnya. Ternyata yang mengirimkan pesan adalah Adel.
Adel
kamu tahu tidak Nin pak Kai
langsung pulang dari perusahaan
sesudah kamu pulang
^^^Nindya^^^
^^^Lalu apa urusannya^^^
^^^denganku?^^^
Setelah balasan dari Nindya itu, Adel tidak membalas lagi. Merasa Adel tidak akan membalas pesannya, Nindya pun kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk kedalam kamar mandi.
Sekitar pukul 21.30, Kai terus menelpon Nindya hingga Nindya sendiri merasa jengah. Nindya tidak menjawab sama sekali telepon dari Kai karena malas berurusan dengan bos yang gampang marah itu.