"Hidup aja, ikutin kemana arus bawa lo. Teruskan aja, sampe capek sama semua dan tiba-tiba lo bangun dirumah mewah. Ucap gue yang waktu itu ga tau kalo gue bakalan bener-bener bangun dirumah mewah yang ngerubah semua alur hidup gue "- Lilac
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Razella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Water
Hal pertama yang Lilac rasakan saat membuka mata ialah kepalanya yang terasa berputar. Wanita itu melenguh pelan saat merasa lehernya begitu nyeri. Mungkin kah itu efek pukulan orang tak dikenal semalam?
"Anjir kepala gue berat banget. Aduh...ini dimana?"
Lilac pandangi semua bentar yang tertangkap radar penglihatannya. Ruangan yang kini ia tempati terasa begitu asing. Sofa abu-abu disudut ruangan, rak buku yang terisi dengan penuh didekat lemari, jendela besar yang kini tertutup gorden putih. Lilac mengernyitkan kening saat merasa semuanya begitu asing. Yang ia ingat semalam hanya dirinya yang diserang orang asing saat ingin membeli eskrim. Lalu semuanya hilang begitu saja.
"Ngga mungkin gue diculik kan? Atau...jadi kaya dalam semalem? Aneh banget anjir plis deh."
Segera gadis itu turun dari kasur dan melangkah menuju jendela. Membukai tirainya lebar-lebar dan terkejut saat sinar matahari langsung menyerang penglihatannya. Lilac diam sejenak saat melihat begitu banyak bunga yang tumbuh dibawah jendela kamar. Kini gadis itu sadar jika ia berada ditempat yang tak ia kenali sama sekali. Dalam sekejap pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan dalam benaknya.
"Ngga mungkin gue diculik. Anjir." Umpatnya sambil berlari kecil kearah pintu. Berharap pintu dengan chat berwarna abu-abu yang menjulang itu tidak terkunci. Namun belum sempat ia sentuh gagang pintunya, dorongan dari luar membuat Lilac kembali melangkah mundur. Lilac lagi-lagi terdiam saat melihat seorang wanita paruh baya yang kini tersenyum lembut kearahnya.
"Selamat pagi nona Isadora. Bagaimana tidur anda semalam?" Tanyanya dengan tangan terulur. Saat ia membuka tangannya yang terganggam, bisa Lilac lihat jika wanita itu memberinya sebungkus kecil permen yupi. Permen kesukaannya dan sang adik saat masih kecil.
"A-anda siapa? kenapa saya bisa disini?"
"Nona tidak perlu khawatir. Saya disini untuk membantu nona bersiap diri. Nona juga tidak perlu takut akan terjadi hal buruk, karena semua orang yang ada disini akan menjaga nona dan merawat nona dengan baik."
"Kasi saya alasan kenapa saya bisa ada disini. Saya ngga mau disini." Sahut Lilac dengan suara bergetar. Dia memang sudah sering tersesat saat dalam perjalanan jauh. Dia memang suka menghabiskan waktu dengan berjalan tanpa arah dan tujuan, tapi tak pernah sekalipun ia merasa setakut ini saat tau ia sendirian. Ah, atau mungkin ia saja yang baru sadar kalau sendiri itu memang menakutkan.
"Nona jangan khawatir. Saya berbicara jujur dan nona bisa percaya pada ucapan saya. Untuk saat ini, saya tidak bisa memberi tahukan siapa yang memerintahkan kami untuk merawat nona. Tolong nona tenang. Percaya pada saya ya?" Wanita itu berjalan kearah Lilac dan menggenggam tangan yang lebih muda. Seakan memberi keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.
Karna bingung dengan keadaan dan lain sebagainya, yang bisa Lilac lakukan hanya menganggukkan kepala. Wanita yang berdiri didepannya itu kini tersenyum teduh sambil menatap Lilac dengan tulus.
"Sekarang mari nona bersiap dulu. Lalu setelah itu, nona bisa langsung sarapan jika ingin. Mari nona."
Wanita yang bahkan belum ia ketahui namanya itu menuntun Lilac untuk masuk kekamar mandi. Rupanya didalam sudah ada bathup yang terisi dengan air hangat. Handuk berwarna putih yang tentu saja begitu halus dan juga peralatan mandi yang Lilac sendiri tau merk-merk ternama itu. Sungguh kalau sampai ia masuk kedalam dunia novel dan harus memerankan tokoh seseorang untuk bertahan hidup, maka Lilac benar-benar ingin pulang.
"Apa nona berkenan mengizinkan saya untuk membantu nona membasuh diri?" Lilac seketika menoleh saat mendengar suara wanita itu. Terpikir lagi dibenaknya kalau wanita itu begitu sopan. Tutur katanya pun begitu lembut dan membuat Lilac nyaman. Setidaknya untuk saat ini.
"Eum...sebelum itu boleh saya tau nama ibu siapa? Saya merasa kurang nyaman jika dipanggil nona seperti itu."
"Nama saya Aini, nona. Nona boleh memanggil saya dengan panggilan yang membuat nona nyaman."
"Kalau panggil ibu ngga papa?" Tanya Lilac ragu. Seketika wanita itu tersenyum lebar hingga matanya ikut menyipit. Cantik sekali wanita itu walau sudar berumur.
"Tentu saja nona manis. Anda bisa memanggil saya dengan sebutan ibu."
"Ibu juga ngga perlu manggil saya nona. Saya...saya ngga terlalu suka. Panggil saya Lilac aja." Ucap Lilac sambil melepas cardigan navy yang ia pakai semalam juga dengan pakaiannya yang lain.
"Tentu saja nak Lilac. Anda sopan sekali. Bukankah wanita sopan berhak mendapatkan pria yang baik juga?"
"Eum...ibu udah lama tinggal disini? Dirumah ini ada siapa aja?" Tanya Lilac mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia benci mendengar dirinya harus bersanding dengan seorang pria, walau pada kenyataannya begitu. Ia membutuhkan seseorang yang bisa menjaga dan membimbingnya sebagai pasangan hidup. Dengan perlahan Lilac memasukkan tubuh kedalam bathup yang sudah berisi air hangat dan sabun aromaterapi itu.
"Sudah lama, manis. Ibu disini sejak rumah ini pertama kali dibangun. Untuk sekarang, Lilac cukup tau kalau semua orang yang ada disini akan menjaga Lilac dengan baik. Percaya sama ibu, mereka pasti akan senang melihat Lilac ada dirumah ini. Mendengar ucapan bu Aini, Lilac hanya bisa menghela napas kecil. Dulu saat masih sekolah dasar, Lilac adalah anak yang paling kecil dikelasnya. Tubuhnya bahkan tak sampai jendela kelas. Hal itulah yang membuat Lilac kecil sering ditindas dan diperlakukan dengan buruk.
Jika ada yang bilang masa kecilnya sangat seru karena dijaga oleh kedua saudara sepupu laki-lakinya, maka akan dengan lantang Lilac jawab bahwa ia membenci mereka. Betapa semena-menanya mereka pada keluarga Lilac yang bahkan saat itu hanya tersisa ayah, ibu dan Lilac kecil. Alva belum lahir dan tak tahu seberapa menderitanya keluarga mereka saat harus meminjam motor hanya untuk pergi kedokter. Sampai Lilac kecil harus demam berminggu-minggu hanya karna sang ayah yang tak bisa segera mendapat pinjaman motor.
Lilac mendongakkan kepala saat dirasa air matanya hampir jatuh. Ia biarkan bu Aini memijat pelan bahunya yang lama memikul beban anak pertama. Jika diingat lagi, Lilac kembali menyalahkan diri saat hubungan keluarganya tak mampu ia selamatkan. Bukankah anak pertama harusnya berani mengambil resiko? Bukankah anak pertaman harus bisa bersikap tegas? Bukankah anak pertama juga bisa menjadi pelindung saat kepala keluarga yang ia harapkan bisa membawa kebahagiaan bagi keluarga justru membuangnya serta sang ibu dan adik?
"Ibu, boleh saya minta tolong ibu untuk keluar? Biar saya selesain in mandinya sendiri aja?" Ucap Lilac saat ia rasa butuh waktu sendiri ketika moodnya sedang tidak baik-baik saja seperti saat ini.
"Iya manis. Ibu keluar ya? Kalau butuh sesuatu panggil ibu ya?"
Lilac hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepala saat merasakan usapan halus dirambutnya. Ah, iya jadi rindu ibunya dirumah. Yang bisa ia harapkan saat ini hanyalah, semoga semua kejadian diluar nalar ini cepat berakhir. Ia benar-benar hanya ingin hidup dengan tenang. Dann saat pintu kamar mandi kembali tertutup, Lilac meloloskan isakan kecil dan berharap kamar mandi itu kedap suara. Ia semakin muak dengan hidupnya.