Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 : Pamu
Ara tiba di basecamp Antara sepuluh menit sebelum kawanan itu berangkat. Antara adalah nama sanggar teater di kampusnya dulu. Walaupun Ara sudah lulus beberapa tahun yang lalu namun Ara selalu menyempatkan diri untuk datang ketika bantuannya diperlukan.
“Yooo! Araaa! Si Luwak!!”
“Jangan panggil nama Antara-ku lah, Kak Pamu.”
Pamungkas, kakak kelas Ara semasa kuliah, tertawa sambil menepuk kepala Ara.
“Manggil namaku yang bener lah, Ra!”
“Oo…mau dipanggil Lutung?”
“Lutung aja bagus tuh.” ejek Jiteng.
Pamungkas adalah mantan ketua Antara, sedangkan Jiteng adalah wakilnya. Ara tersenyum melihat legenda Antara bisa bertemu sekaligus seperti ini. Mereka berdua telah bekerja di perusahaan besar, tapi sama seperti Ara, ketika Antara ada kegiatan, mereka selalu menyempatkan diri untuk hadir.
“Pertemuan kalian berdua tuh langka banget. Kok bisa sempet dua-duanya?” tanya Ara.
“Mumpung masih hidup dan masih bisa berbagi. Bosku mau nyumbang buat panti di sana itu udah bagus banget, makanya aku sempetin dateng.” jawab Jiteng.
Ara manggut-manggut.
“Udah pamit sama Mama?” tanya Pamungkas.
“Udah.”
“Tumben dikasih izin. Dulu kamu disuruh berhenti gara-gara kegiatan Antara sampai malam.”
“Aku pamitnya survey lokasi camping buat diklat.”
“Kok nggak jujur aja kita mau baksos sekalian?”
Ara menggeleng sambil tersenyum kecut.
“Ya udah, nanti kita usahain nggak sampai jam sembilan udah kelar.”
“Berangkat sekarang?”
“Yuk.”
Pamungkas naik ke motor Ara, dia mengemudi sedangkan Ara membonceng. Jiteng dan beberapa orang lainnya naik mobil bersama logistik yang akan dibagikan.
“Gimana kerjaanmu?” tanya Pamungkas di sela-sela konsentrasinya mengendarai motor.
“Aman.”
“Masih freelance desain?”
“Yap.”
“Baguslah. Yang penting kamu ada kegiatan yang positif. Orang-orang seperti kita ini harus menyibukkan diri kalau ingin tetap waras, Ra.”
Pamungkas tertawa geli.
Ara tercenung. Ingin ikut tertawa tapi dia tidak bisa menemukan bagian lucunya ada di mana.
“Lihat tuh, Ra!” Pamungkas menunjuk seseorang di pinggir trotoar.
Ara mengikuti arah telunjuk Pamungkas. Dia terkesiap melihat seorang laki-laki bertelanjang dada yang sedang duduk santai sambil makan nasi bungkus.
“Dia-nya masih ada?! Ya ampun, panjang umur banget ya.”
“Kamu masih ingat, toh?”
“Masih lah, Kak! Gara-gara kakak tuh, aku jadi pemeran ODGJ di diklat kita.”
“Pas ketemu ODGJ beneran malah kamu ajak ngobrol! Hahaha! Kocak banget!”
“Bebas banget ya dia, nggak mikir apa-apa, nggak kena jerat hukum, nggak kena sanksi sosial.”
“Merdeka yang sesungguhnya?”
Pamungkas dan Ara tertawa bersama. Bukan karena menghina tapi karena salut, para penyintas ODGJ ini masih bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.
...* * * * *...
Sarah melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Adzan maghrib sudah berkumandang sejak tadi. Dia duduk di sofa ruang tamu sendirian.
“Assalamu'alaikum.”
“Waalaikumssalam.”
Sarah seketika bangkit berdiri, menyambut suaminya yang sedang melepas sepatu. Agung menyerahkan tas kerjanya ke tangan istrinya.
“Kok muka Mama kusut gitu?”
“Ara belum pulang.”
“Tadi sudah pamit mau ke mana?”
“Sudah.”
“Kenapa cemas gitu?”
“Ini sudah lewat maghrib.”
“Dia bilang mau pulang malam?”
“Iya sih…”
“Ini baru jam berapa, ngapain dicemasin?”
Sarah terlihat tidak puas dengan pembelaan suaminya terhadap Ara.
“Yuk, sholat bareng dulu. Biar tenang.”
Agung memeluk bahu istrinya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah. Setelah mandi, Agung memimpin sholat maghrib di mushola kecil yang berada dekat dengan ruang tengah.
Sarah menyiapkan teh hangat di meja makan setelah selesai sholat. Dua piring sudah siap untuk makan malam.
“Azka sudah pulang ke rumahnya?”
“Iya.”
“Alan jadi ikut pameran?”
“Jadi. Pulangnya besok.”
“Ooh…”
“Pa…” Sarah duduk di kursi berhadapan dengan suaminya. “Telpon Ara, gih.”
“Kenapa nggak Mama aja yang telpon?”
“Kalau tahu Mama yang nelpon, pasti nggak dia angkat.”
“Apalagi Papa.”
“Ara itu sedikit nurut kalau sama Papa.”
“Masa’ sih?”
“Mama cuma khawatir dia pergi ama orang yang nggak bener. Pulang malam-malam juga nggak bagus buat perempuan.”
“Ara pergi sama Pamungkas, kan?”
“Siapa itu?”
“Kakak kelasnya dulu.”
“Kok Papa bisa tahu?”
“Papa lihat postingan dia di Instagram.”
“Bukannya Ara udah nggak punya sosmed?”
“Papa liat akun teater kampusnya, Ma. Mereka lagi ngadain baksos tuh. Foto-fotonya di-upload ke IG buat dokumentasi.”
“Kok bilangnya sama Mama dia mau survey lokasi?”
“Ya sekalian kali’. Sekali jalan dua kegiatan terselesaikan. Makanya pulangnya malam.”
“Tuh kan, kalau sama Mama, Ara nggak pernah mau jujur.”
Agung menghela nafas pelan. Dia menyesap tehnya sebelum berbicara panjang.
“Kejujuran anak itu tergantung sama orangtuanya. Bagaimana kita bisa menciptakan suasana yang nyaman untuk tempat mereka cerita. Kadang kita sebagai orangtua sudah bikin anak-anak ketakutan dihakimi kalau mereka cerita apa adanya. Papa sering lihat Ara cerita ke Mama. Itu bagus, kan.”
“Iya, tapi dia ceritanya sama Mama nggak pernah yang serius. Masa’ cerita tentang kambingnya Mbok Siran melahirkan. Anaknya lucu-lucu. Trus ngajak Mama ngasih kado.”
Agung tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan Sarah.
“Malah bagus, kan. Cerita yang ringan-ringan gitu malah bisa menurunkan ketegangan. Mengurangi resiko penyakit stroke karena stres. Anggap saja kalau Ara cerita itu hiburan buat Mama. Ara nggak mau bikin Mamanya tegang.”
Sarah bersedekap sambil membuang mukanya tanda masih tidak terima.
“Anak kambingnya jantan atau betina? Barangkali kita bisa besanan sama Mbok Siran. Kambing kita yang dititipkan Mbok Siran juga lagi hamil, kan?”
“PAPA!”
...* * * * *...
“HATSYIII!!”
“Waduuuh! Udah mulai bersin-bersin nih. Pulang aja yuk.”
Pamungkas mendekati Ara yang baru saja mengelap ingus dengan tisu.
“Udah selesai, Kak?”
“Kita duluan aja. Biar Jiteng yang handle.”
“Tapi kalau belum selesai…”
“Udaah…gampang itu. Kamu udah kerja keras hari ini. Udah cukup. Terima kasih. Mari kita pulang. Aku nggak mau kena omel Mama Sarah.”
Pamungkas mengedipkan matanya menggoda Ara.
“Beneran nggak apa-apa?”
Pamungkas memasangkan helm ke kepala Ara tanpa menjawab pertanyaannya. Ara naik ke jok belakang motornya. Pamungkas tersenyum.
Mereka berpisah di markas Antara setelah satu jam perjalanan.
“Salam buat Kak Fani ya.” kata Ara sambil memutar motornya menuju pintu keluar.
“Oke.”
“Sebenarnya kalau Inara di sini pengen tak cubit pipinya. Dia gemesin banget. Anakmu itu mirip banget sama kamu, Kak.”
“Oh ya? Syukurlah. Aku tenang kalau gitu. Dia memang anakku.”
Ara tertawa jahil. Dering telepon menahan tangan Ara meghidupkan mesin motor. Dari Papanya.
“Halo, Pa? Iya, ni mau otw. Ya. Nggak ngebut, tenang aja.”
“Udah dicariin orang rumah?” tanya Pamungkas.
“Iya.” Ara tersenyum samar.
“Mereka perhatian banget sama kamu.”
Ara tak menanggapi kata-kata Pamungkas. Dalam hati Ara mengiyakan, namun di sisi lain ada rasa terbelenggu.
“Pulang dulu ya. Dadaaah!”
Ara melambaikan tangan sambil melajukan motornya.
“Hati-hati!”
Ara tertawa lebar sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Pamungkas. Pamungkas merasa ada yang hilang juga dari hatinya. Ara sudah dia anggap seperti adik sendiri. Melihatnya bisa tersenyum sekarang sudah cukup baginya untuk bisa melepaskannya pergi.