Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cara.
Di bawah langit senja yang mulai memudar, Karie dan Hani berdiri di tepi amfiteater kuno yang megah. Batu-batu besar membentuk struktur oval dengan tiang-tiang yang berdiri tegak. Daun-daun yang tersisa berwarna merah dan kuning, menciptakan karpet alami di tanah yang berderak di bawah kaki mereka.
“Bukannya kamu bilang akan mentraktirku makan sesuatu, kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Hani.
“Kita ke sini karena…” Karie menyerahkan sebuah surat kepada Hani.
Setelah melihat sekilas, Hani sedikit terkejut. “Karie, aku tidak percaya kamu sudah sampai di tahap akhir kualifikasi ini. Tapi, sejak kapan? Dan apakah kamu benar-benar yakin bisa menghadapi duel terakhir di amfiteater?”
Hani, dengan rambut panjangnya yang terurai dan mata yang penuh kekhawatiran, menatap Karie dengan cemas. Dia mengenakan jubah panjang berwarna biru tua yang berkibar pelan di tiup angin. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak khawatir.
Karie, dengan postur tubuh yang tegap dan mata yang penuh ambisi, menjawab, “Setiap tahun aku mengirim, tapi tahun ini baru bisa lolos sampai sini. Kenapa kamu bertanya begitu, Hani? Wajahmu terlihat aneh.”
Hani menghentikan langkahnya, mengingatkan kembali, “Karie, aku tahu kamu sudah berjuang keras untuk sampai di sini. Tapi, apakah kamu benar-benar yakin bisa menghadapi duel terakhir di amfiteater? Kamu belum membuka sifat maya-mu, dan itu seperti membaca kartu tarot hanya dengan menggunakan kartu Minor Arcana. Lawanmu memiliki seluruh dek, termasuk Major Arcana yang kuat dan penuh makna.”
Karie mengerutkan kening, mencoba memahami maksud Hani. “Minor Arcana? Major Arcana?” tanyanya kebingungan.
Hani mengangguk, mengeluarkan sejumlah kartu. “Ya, dalam tarot, Minor Arcana adalah kartu-kartu yang mewakili kejadian sehari-hari dan tantangan kecil, sementara Major Arcana mewakili pelajaran hidup yang besar dan kekuatan yang lebih mendalam. Tanpa sifat maya-mu, kamu seperti hanya memiliki sebagian kecil dari kekuatan yang sebenarnya kamu butuhkan.”
Karie tahu kartu tersebut sering digunakan untuk meramal, namun itu tidak mengurungkan niatnya. “Aku tahu, Hani. Tapi aku percaya pada kemampuan dan tekadku. Mungkin aku hanya punya satu jenis kartu, tapi aku akan memainkannya dengan sebaik mungkin.”
Hani menghela napas panjang, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya. “Karie, setiap festival musim dingin, duel ini disaksikan oleh seluruh kota. Petarung yang kalah sering kali tidak bisa kembali normal, dan kematian bukanlah hal yang jarang terjadi. Aku mengerti tekadmu, tapi ini bukan hanya tentang menang. Ini tentang bertahan hidup. Aku tidak ingin melihatmu terluka karena…”
Karie tiba-tiba merasa marah. “Hani, kamu sama saja seperti kakakku. Selalu meremehkanku!” katanya dengan suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban, Karie berbalik dan meninggalkan Hani, membuang kertas kecil yang diremasnya ke tanah.
Hani memungut kertas itu dan mendapati sebuah tiket amfiteater festival musim dingin. Dia hanya ingin memahami kekhawatirannya dan mencoba memanggil Karie. “Karie, jangan marah seperti itu. Setidaknya belikan aku dulu cumi bakarnya!”
***
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah dedaunan. Karie berdiri di depan pintu rumah Hagetz dengan sepasang sarapan di tangan, merasakan kehangatan sinar pagi yang menenangkan.
“Tidak ada yang perlu kuajarkan padamu, Karie.” Nada suara Hagetz terdengar lembut namun tegas.
“Eh! Kenapa tiba-tiba seperti ini, Kak Hagetz? Apakah kakakku mengatakan sesuatu?” tanya Karie dengan nada sedikit khawatir, matanya mencari-cari tanda di wajah Hagetz.
Hagetz tersenyum tipis. “Ini tidak ada kaitannya dengan Erin. Hanya saja kamu sudah menguasai dasar apa yang aku ajarkan sebelumnya. Kamu tinggal mengembangkannya saja, Karie. Hingga takdir itu datang.” Ia mengusap kepala Karie sembari berjalan meninggalkannya. “Maaf, tapi masih ada hal yang harus aku lakukan.”
“Tapi aku tidak terlalu mengerti, Kak Hagetz, tunggu…” Melihat sikap Hagetz yang menjadi dingin, Karie berpikir ini pasti ulah kakaknya, Erin. Pada akhirnya, ia berlatih sendiri menuju bukit di balik hutan desa Aetra, mengulang semua kemampuan Maya yang ia kuasai dalam seni Elementalis.
Saat Karie beristirahat sejenak di bawah pohon yang telah rontok daunnya, ia teringat saat pertama kali datang ke bukit ini di musim semi, ketika pohon plum berbunga putih bersih. Hal itu membuat Karie sadar cara kerja Maya.
“Kenapa aku terlalu memikirkan sifat Maya? Yang terpenting seberapa jauh aku bisa memvisualisasikan seni Maya yang aku kuasai saat ini…” Karie terlihat dilema dengan pemikirannya sendiri.
“Meskipun aku tahu katalisnya—menggambar, menulis, berucap, dan gerakan tubuh untuk membantu memvisualkan Maya—aku masih bingung.” Dengan ranting di tangan yang terus menggores tanah, Karie berpikir keras untuk memperbesar peluang kemenangannya di ujian terakhir menjadi Sikerei.
“Aku tidak bisa menggambarkan, menulis aku malas, gerakan sih keren tapi pose apa yang harus aku lakukan?” pikirnya. Ia sempat terpikir membuat gerakan seperti air yang mengalir, namun mengurungkannya setelah melihat refleksi dirinya di air. “Ah, ini memalukan. Memang yang terbaik membuat syair, tapi saat gambaran di kepalaku dan syair sudah selaras, kenapa masih tidak wujud?”
Karie mencoba mengingat kembali ucapan yang selalu Hagetz katakan saat berlatih seni Maya bersama, “Yang selalu ia katakan, ‘Ingat, Karie, aku sukanya medium, tidak terlalu besar atau kecil, yang penting pas di tangan!’ Bukan yang ini…” Karie mengerutkan keningnya dalam ingatan yang kabur. “Ini terjadi setiap kali mencoba melewati batas. Apa mungkin ingatan kabur gara-gara terlalu banyak mengorbankan perasaan? Sekarang aku paham, perasaanku harus sesuai dengan isi syair yang kubawakan.”
Karie membuka telapak tangannya, mencoba mengumpulkan air yang terdapat di udara, sembari mengingat perpisahan dengan ibunya. “Hai, perantara kehidupan yang tercerai, berkumpullah.” Terkumpul bulir air sebesar kelereng. Seketika, Karie melemparnya ke dahan pohon dan mengingat orang yang meremehkannya. Bulir air itu melesat menembus batang kayu yang tebal. “Jadi begitu ya! Harus mengorbankan perasaan yang sesuai.”
“ Sepertinya cukup untuk hari ini.” Sesuatu menetes di pundak Karie. “Keringat?” pikirnya, mengernyitkan kening. Tetesan selanjutnya terasa dingin. “Ah!?Salju…” Karie menatap langit, melihat butiran salju pertama turun perlahan. “Ini memang takdirku,” bisiknya, rona kebagian terlukis dari senyum nya. Karie bergegas pergi ke ladang gandum untuk panen, bagiannya telah tiba.
***
“Kenapa aku harus turun tangan, apa yang dipikirkannya, Senna? Setiap tahun juga aku biasa duduk di kursi hangat,” keluh Eon, pemimpin yang biasanya mengatur dari balik layar.
Gadis berambut coklat panjang itu menatapnya dengan tegas. “Ia telah melihatnya, saatnya telah tiba.”
Eon menghela napas panjang. “Seperti itu ya… Saat menagih bayaran!”
“Sebelum itu, lakukan dengan rapi dan sesuai rencana pilihan salah satu dari mereka. Panen ini sangat penting,” tambah Elara, ahli strategi mereka, dengan nada serius.
“Iya, iya aku tahu,” jawab Eon dengan nada malas. “Kemana aku pergi?”
“Aisir, Elinalis cahaya pertama,” jawab Senna sambil menunjuk peta besar di meja mereka.