Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan Pagi Hari
"Kenapa kamu bisa seceroboh ini?"
Jantung Kimi berdegup kencang mendengar pria itu melontarkan kata-kata dengan nada marah.
Si pria tak ragu memanggil perempuan di depannya dengan sebutan 'kamu'. Ia yakin perempuan ber-niqab itu masih muda setelah mendengarnya memanggil seseorang di dalam rumah dengan sebutan 'mommy'.
"Maaf, tidak sengaja," ucap Kimi, berusaha tetap tenang meskipun wajahnya memerah di balik niqab.
"Kamu tahu, itu… itu…" ujar si pria, menggantungkan kalimatnya tanpa mampu melanjutkan. "Oh tidak, apa yang harus kukatakan pada Alessandro?" gumam si pria dengan nada sedih.
"Maafkan saya, Pak," ucap Kimi lagi, sambil membenamkan wajahnya semakin dalam.
“Tidak, tidak ada maaf,” kata si pria dengan nada yang mulai menunjukkan kemarahan. “Pokoknya kamu harus bertanggung jawab, kamu harus ikut saya mencari sepatu itu sampai ketemu, sekarang juga!”
Si pria menghampiri jalan kemudian melongok-longok. Tak ada satu pun gerobak sampah yang terlihat, kecuali hanya dua tukang becak yang sedang mengobrol santai.
“Kita harus susul gerobak itu!” teriak si pria dari pinggir jalan.
“Kita?” tanya Kimi.
“Ya iya lah!” katanya dengan marah. “Ayo ikut saya!”
“InsyaAllah saya akan tanggung jawab Pak, tapi tidak sekarang,” bujuk Kimi, merasa bingung.
“Tanggung jawab apa, hah?” kata si pria sambil menghampiri Kimi. “Tidak ada tanggung jawab yang bisa mengganti kerugian ini. Nggak bakalan ada yang sepadan! Kecuali hanya dengan membantu saya menemukan sepatu itu sampai ketemu. Sekarang juga!” tegas si pria.
“Pak… saya ada jadwal wawancara kerja…" ujar Kimi mencoba mengiba.
“Tidak, tidak! Kamu harus bantu saya mencari sepatu itu. Sekarang! Paham?”
“Tapi Pak…”
“Tapi apa? Sudah! Tidak ada tapi-tapi!”
Kimi ragu. Gadis itu mematung di teras rumahnya.
“Ayooo!” ajak si pria tak sabar sambil melangkah terburu-buru.
Dengan gemetar Kimi segera memakai sepatu flat-shoes-nya, kemudian menyusul di belakang sambil membenarkan tasnya yang tersampir di bahu.
“Tunggu Pak!”
Si pria melirik ke arah Kimi, “Ayooo! Bisa lebih cepat tidak sih? Haduuuh!” kemudian beralih ke tukang becak yang sedang mengobrol dan berteriak, “Pak, becak satu! Bisa ngebut kan?”
“Oh iya, bisa, bisa Pak.”
Si pria buru-buru naik ke becak.
“Ayo, naik,” ajak si pria sambil menyisakan tempat duduk di sampingnya.
“No!” jawab Kimi tegas.
Si pria menghembuskan napas, kemudian melirik ke tukang becak satu lagi. “Bang satu lagi, buat dia tuh,” si pria melirik ke arah kimi. “Sana naik!” suruhnya dengan ketus.
Dengan enggan Kimi naik ke becak yang satu lagi.
“Pak, tahu tidak ke mana biasanya gerobak sampah yang biasa lewat di sini perginya?” tanya si pria.
“Tahu, tahu Pak, biasanya ke penampungan.”
“Ya sudah, ayo ke sana Pak!”
Becak mulai bergerak dengan kecepatan tinggi. Kimi menyuruh tukang becaknya menyusul. Beberapa saat kemudian gadis itu berhasil menyusul, mensejajarkan diri, lalu bicara setengah berteriak kepada si pria.
“Pak, tolong Pak, saya ada wawancara kerja…”
“Tidak! Tidak ada! Tidak ada wawancara kerja! Pokoknya kamu harus tanggung jawab, titik. Jadi kamu harus ikut cari sepatu itu. Gimana kalau tidak ketemu? Terus siapa yang bantu saya?”
“Iya Pak, saya akan tanggung jawab.”
“Ya sudah, ayo ikut!”
“Saya akan ganti Pak, insyaAllah.”
“Tidak akan sanggup… tidak akan sanggup.”
“Sepatu Bapak mahal?”
“Ya iya lah, mahal,” jawab si pria, dengan kesal.
“Ya sudah, kalau saya tidak sanggup tanggung jawab, kan Bapak orang kaya, ya udah tingal beli lagi, gampang kan?” saran Kimi mulai jengkel.
“Duuuh, kamu tuh nggak ngerti ya…”
Becak bergerak dalam kecepatan tinggi.
“Apanya yang nggak ngerti sih Pak?”
“Nih denger ya, kamu itu sudah menghilangkan sepatu berharga saya. Memang kamu tidak bisa membedakan mana sepatu biasa, mana sepatu bagus, dan mana sepatu yang spesial?”
“Nggak bisa… Tapi bapak kan orang kaya, kan cuma sepatu doang… Lagi pula saya sudah bilang, saya tidak sengaja. Tuhan aja maafin kok, kesalahan hambanya yang tidak sengaja...”
“Tapi saya bukan Tuhan!”
Kimi menghembuskan nafas.
“Iya Pak, saya minta maaf...”
“Maaf, maaf! Maaf saja tidak cukup!”
“Terus saya harus bagaimana?”
“Bantu saya cari sepatu itu sampai ketemu. Ngerti?”
Mata kimi mulai berkaca-kaca “Duuuh, tapi saya ada wawancara kerja Pak… Ini sudah telat bangeeet! Ya ampuuun…”, Kimi menyeka genangan air matanya.
“Tidak peduli.”
Kimi diam, memijit kepalanya. Gadis itu mulai tertekan. “Paling harga sepatu berapa sih Pak? Lima ratus ribu, atau satu juta? Kayaknya meskipun sampai dua juta tidak masalah buat bapak,” teriak Kimi melawan gemuruh kendaraan lalu lalang. Kimi ingat rumah mewah tetangganya itu yang sepertinya berharga miliaran.
“Dua juta? Apa artinya uang dua juta?”
“Iya, makanya…”
“Makanya apa? Kamu tahu tidak berapa harga sepatu saya itu?” tanya si pria dengan gemas.
“Tidak! Berapa emang?”
“2500 euro.”
Kimi berkernyit.
“2500 euro?”
“Dan kamu tahu berapa kalau dirupiahkan?”
“Berapaaa?”
Si pria menghembuskan nafas.
“Itu setara dengan 46 juta rupiah, paham?”
Kimi terkejut. Begitu pula dua tukang becak, sama-sama terkejut. Mereka saling pandang dan hampir saja becak-becak yang mereka kemudikan oleng.
Kimi gemetar. Tapi gadis itu tak mau menyerah. “Ya udah, berarti Bapak hanya kehilangan 23 juta rupiah kan?” kata Kimi berusaha berargumen seraya mengendalikan kegugupannya.
“Lho kok gitu?”
“Kan yang hilang cuma sebelah...”
“Enak saja, terus apa artinya punya sepatu cuma sebelah doang? Lagi pula 23 juta juga duit gede!”
Kimi terdiam. Gadis itu memeluk tasnya semakin erat. Tubuh Kimi semakin gemetar membayangkan uang sebanyak 46 juta rupiah.
“Sudah, pokoknya kamu diam, ikut saya. Bantu saya cari sepatu itu sampai ketemu.”
Gadis itu sadar, ia tak akan mungkin sanggup untuk bertanggung jawab. Ia sadar pula bahwa ini memang juga salahnya. Meskipun ibunya yang membuang, tapi bukan sepenuhnya salah ibunya. Nyatanya Kimi begitu ceroboh telah menyimpan kresek berisi sepatu itu di dekat bungkusan sampah. Dan kini tak ada jalan baginya selain menurut.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di penampungan. Bau sampah mulai menyeruak memenuhi atmosfir sekeliling. Di sana tampak ada seorang pemulung yang sedang memilah sampah dengan telaten. Sebuah karung tergeletak di sebelahnya.
Begitu becak berhenti si pria langsung turun menemui si pemulung, lalu memanggilnya.
“Pak, maaf saya mau tanya!”
Si pemulung berdiri kemudian menghadap.
“Iya Pak, mau tanya apa ya?”
“Mmm… Bapak tadi lihat gerobak sampah yang datang dari arah sana?” tanya si pria.
“Eeee… nggak sih Pak. Barusan malah dari arah sana,” kata si pemulung seraya menunjuk arah sebaliknya. “Iya Pak, dari arah sana, bukan dari arah yang Bapak maksud,” lanjutnya.
“Haduuuh… Masa sih Pak?”
Kimi mendekat dengan wajah khawatir. Gadis itu menyisirkan pandang ke tumpukan sampah. Siapa tahu si pemulung tak melihat gerobak itu datang dan sampah-sampahnya sudah dibuang di penampungan.
Si pria mengikuti Kimi mengedarkan pandang ke sekitar area penampungan sampah itu.
“Pak, di sini Bapak nemuin sepatu kulit warna cokelat nggak Pak?” tanya Kimi. “Tapi hanya sebelah.”
“Emm… nggak Bu,” jawab si pemulung.
Beberapa detik kemudian si pemulung melongok-longok ke arah belakang si pria.
“Eh, tuh dia gerobaknya baru dateng!”
Kimi dan si pria terkejut lalu menengok ke belakang.
“Oh Tuhan!” gumam si pria. “Akhrinya, akhirnya…” si pria berbalik setengah berlari ke arah seorang pengepul sampah yang tampak melenggang santai mendorong gerobak.
Kimi menyusul di belakang dengan langkah cepat.
“Pak… Pak…!!” si pria berteriak-teriak ke arah si pendorong gerobak.
Si Pendorong gerobak berhenti karena terkejut. Ia terlihat panik dan seperti mau berbalik.
“Tungguuu…!!! Ada barang saya yang kebuang Pak! Tunggu!” teriak si pria.
Mendengar ucapan si pria, si pendorong gerobak menghembuskan napas, tak jadi berbalik.
“Pak, tadi Bapak ngambil sampah dari area sana ya?”
“Iya, Pak,” jawab si pendorong gerobak, waspada.
“Begini, Pak, tadi ada barang saya yang kebuang, boleh minta tolong diperiksa, Pak?” pinta si pria.
Si pendorong gerobak melihat ke dalam gerobaknya. Gerobak itu berisi bungkusan kresek sampah. Tidak penuh, tapi bungkusannya lumayan banyak.
“Waduuuh, repot dong, Pak, kalau cari sama-sama sih saya mau,” jawab si pendorong gerobak.
“Ya sudah, kita cari sama-sama,” kata si pria. Si pria melirik ke arah Kimi. “Kamu juga, jangan diem aja dong, bantu sini!” suruh si pria dengan ketus.
“Iya Pak,” sahut Kimi seraya mendekat.
Si pendorong gerobak mengeluarkan bungkusan sampah, sementara Kimi dan si pria membuka-buka bungkusan itu.
Kimi ingat bungkusan sepatu itu berwarna putih. Tapi gadis itu tidak tahu, mungkin saja bungkusan berisi sepatu itu dimasukan ke bungkusan lain yang lebih besar oleh ibunya. Maka tidak ada jalan lain selain memeriksa setiap bungkusan sampah.
Setelah mereka membuka hampir semua bungkusan sampah, mereka tak juga menemukan sepatu si pria. Cukup aneh. Tapi mereka tidak mau menyerah. Kimi dan si pria melihat ada satu bungkusan lagi yang belum dibuka. Si pria bergegas mengambilnya lalu memeriksa isi bungkusan terakhir itu. Namun hasilnya tetap sama, sepatu si pria tetap tak ditemukan.
Si pria panik. “Pak, Bapak beneran tadi membawa sampah dari area sana?”
“Iya Pak, beneran!” jawab si pendorong gerobak.
Kimi mencoba membantu, gadis itu pun bicara :
“Maksudnya, dari sekitar rumah-rumah di sana Pak, dari sekitar… rumah-rumah yang salah satu rumahnya itu ada rumah gedong tiga lantai warna putih itu loh Pak. Beneran dari sana Pak?”
“Iya…” jawab si pendorong gerobak sampah.
“Terus? Mana?” tanya si pria sambil melirik ke arah Kimi. “Sepatu saya mana?” tanyanya lagi, panik.
“Sebentar Pak, saya pikir…” kata si pendorong gerobak seraya menggantungkan kata-katanya.
“Saya pikir apa?” tanya si pria, tak sabar.
“Kalau sampah-sampah ini, tadi saya bawa dari area gang di sana Pak,” kata si pendorong gerobak sambil menunjuk ke belakang.
“Gang mana?” tanya si pria tak mengerti, walaupun sebenarnya ia cukup menyadari bahwa pertanyaannya mulai tidak penting.
“Gang di sana Pak. Gini, saya jelasin ya… Di samping rumah gedong putih itu kan ada rumah kecil yang ada pohon-pohon rindangnya itu… Pohon apa itu ya? Mmm… pohon ketapang kencana kalau tidak salah. Terus… di samping rumah itu ada gang, nah… saya masuk ke sana Pak, ngambil sampah-sampah ini dari rumah-rumah warga.”
“Terus?” tanya si pria semakin tak mengerti, seraya melirik ke arah Kimi.
Kimi sadar gang yang dimaskud si pendorong gerobak adalah gang samping rumahnya. Di gang itu memang ada beberapa rumah warga.
“Tapi Bapak ngambil sampah di rumah yang di samping rumah gedong putih itu kan, Pak? Rumah yang sebelum jalur masuk gang?”
“Nggak Bu, nggak ngambil,” kilah si pendorong sampah terlihat ketakutan.
Kimi berkernyit heran.
“Saya cuma dikasih kok. Kalau di rumah itu tadi ada ibu-ibu keluar membawa beberapa kantong kresek, terus ditaruh di gerobak saya, ya saya bawa saja,” jawab si pendorong gerobak membela diri.
“Sama aja kali Pak,” ujar Kimi, gemas.
“Tapi kan saya nggak ngambil.”
“Sudah-sudah! Kami nggak nyalahin Bapak. Oke?” ucap si pria. “Kami cuma mau tanya…”
“Saya dikasih loh Pak, saya nggak ngambil.”
“Iya, Paaak!” tegas si pria.
“Terus sampah-sampah dari rumah itu, rumah yang ada pohon-pohon ketapang kencananya itu, Bapak bawa kan pake gerobak ini?” tanya Kimi.
“Emmm… tadi sih saya bawa…”
“Tadi? Maksud Bapak apa?” tanya si pria terkejut.
“Eeee… jadi ceritanya gini Pak… tadi kan setelah saya menerima sampah dari rumah itu, rumah yang di samping rumah gedong itu, ada mobil truk sampah mampir. Truk itu berhenti di dekat saya. Ya sudah, daripada capek-capek saya kasih aja semua sampah dari gerobak saya ke truk itu.”
“Ya ampuuun, Pak, kenapa nggak ngomong dari tadi?” protes si pria, panik.
“Aduh maaf Pak, Bu, saya pikir….”
“Saya pikir, saya pikir,” ujar si pria, naik darah.
“Yaaa… mana saya tahu Pak. Saya pikir…”
“Saya pikir terus, haduuuh…”
“Terus gimana dong Pak?” tanya si pendorong gerobak. “Saya nggak disalahin kan?”
“Aman Pak, tenang saja,” kata si pria berusaha lapang dada meskipun kepanikannya mulai memuncak. “Ya sudah! Terus kemana truk sampah itu pergi?”
“Ya saya nggak tahu Pak,” jawab si pendorong gerobak sambil mengangkat bahu.
“Masa nggak tahu sih Pak? Bapak kan sehari-hari ngurusin sampah, masa nggak tahu sih Pak?” protes si pria, berharap si pendorong gerobak memberi keterangan lebih lanjut.
Si pendorong gerobak berpikir.
“Kalau saya lihat sih tadi muatannya sudah penuh…” gumam si pendorong gerobak, lalu berpikir lagi.
“Ya terus kalau sudah penuh memangnya kenapa?” tanya si pria tak sabar.
“Kalau sudah penuh biasanya sih langsung ke Bantar Gebang, Pak,” jawab si pendorong gerobak.
“Apa? Bantar Gebang?”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.