NovelToon NovelToon
TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Pita Selina

Sebuah pembangun rumah sakit besar dibangun depan rumah Gea, Via dan Radit. Tiga orang sahabat yang kini baru saja menyelesaikan sekolah Menengah Kejuruan. Dalam upaya mencari pekerjaan, tak disangka akhirnya mereka bekerja di rumah sakit itu.

Sayangnya, banyak hal yang mengganjal di dalamnya yang membuat Gea, Via dan Radit sangat penasaran.

Apakah yang terjadi? Rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan para author? Penuh ketegangan. Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pita Selina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selamat Jalan

Tubuhku seketika lemas mendengarnya.

Suara cekikikan itu semakin menggema di telingaku. Tubuhku semakin tenggelam dalam rasa takut.

"Bagaimana ini? Bagaimana agar Ibu mengetahui ini?" pikiranku terus berkelahi dengan rasa takutku. "Ibu! Tolong aku Ibu!"

"Ibu tolong aku Ibu ... Ibu tolong aku Ibu."

JRENGG

Sosok itu mengejekku, dia terus mengulang-ulang perkataan itu.

'Dia mendengarku!'.

Rasanya, aku ingin sekali meninggalkan tubuhku. Aku ingin berlari terbirit-birit. Aku ingin bersembunyi.

Suara cekikikan itu perlahan menjauh dan menghilang. Sekejap keadaan kembali hening dan normal. Tetap saja, masih tak ada keberanian untukku membuka mata.

"Dia menghilang secepat itu?" pikirku.

'Sepertinya akan kulanjutkan kepura-puraan ini sampai esok pagi'.

Sayangnya, tubuhku sangat pegal dan rasanya panas sekali. Ingin sesekali kumembuka selimut dan mengganti posisi tubuhku.

Aku membuka mataku dengan perlahan. Sosok itu telah pergi. Pintu kamar sudah tertutup rapat. Dengan cepat kusingkirkan selimut tebal itu. Kumengganti posisi tubuhku menyerong ke sebelah kiri menghadap tembok.

Rasanya aku sudah merasa aman. Meski rasa takut itu masih terus mengikuti.

Tubuhku mulai terlelap dan hanyut dalam mimpi. Namun lagi-lagi aku menghirup aroma gosong.

Sontak aku membuka mataku.

Sosok itu sudah berbaring di hadapanku.

"Ketahuan ...." Wajahnya tinggal separuh dan penuh koreng dari luka bakar. Tatapannya menatap tajam. Senyumnya begitu menyeringai.

Sontak kuberteriak kencang. Hingga aku terbangun dari tidurku karena mendengar pengumuman dari balai desa.

"Turut berduka cita atas berpulangnya Bapak Suryo ...."

Mataku terbelalak tak lagi mengantuk. Aku menggisik mataku. Menatap jam saat itu pukul tiga pagi.

Aku mengamati sekitar. Semuanya terlihat baik-baik saja. Hanya ada aku, sosok itu pun tidak ada. "Huh ... ternyata hanya mimpi." Jantungku berdegup kencang. "Tidak mungkin ... sepertinya aku salah mendengar." Aku langsung bergegas bangun dari tempat tidur. Kulangkahkan kaki untuk pergi ke kamar Ibuku, Sera.

Saat kumembuka pintu kamarku, Ibu sudah mengintip di jendela.

"Bu," panggilku. "Apa benar Pak Mulyo telah berpulang?" tanyaku dengan panik.

"Ibu juga tidak percaya. Sedari tadi Ibu terus mengintip."

Seperti biasa, Ibu pasti sudah terbangun karena harus menyelesaikan pesanan catering dan risoles.

Kini aku mengintip bersama Ibu di jendela ruang tamu.

"Sepertinya benar Ibu. Memangnya Pak Suryo kenapa, Bu?" tanyaku lagi. "Apa sesuatu hal buruk terjadi padanya?"

"Ah semua itu sudah ajalnya saja. Sudah ... nanti pagi kita melayat. Sekarang, bantu Ibu menyelesaikan beberapa pesanan."

"Baik Ibu."

****

"Baru kemarin malam aku mengobrol dengan Pak Suryo. Katanya, kita harus berhati-hati pada gedung tua di jalan depan sana," ucapku seraya membuat adonan kulit risoles.

"Maksud Pak Suryo ... kita tidak boleh main ke sana karena memang berbahaya, karena sudah pasti banyak patah-patahan bangunan dan keroposnya kayu. Takutnya, bangunan itu roboh," pesan Ibu. "Kau tahu kan? Pak Suryo memang memiliki sifat humor."

"Memangnya untuk apa membangun gedung di wilayah kecil seperti desa ini. Lebih baik membangun perumahan saja," sahutku. "Sepertinya dari aku kecil bangunan itu tidak pernah berubah. Tetap jelek dan kumuh."

"Tadinya gedung itu tempat penyimpanan beras, tetapi kebakaran, lalu dilakukan renovasi, tetapi tidak ada biaya ...."

Ucapan Ibu mengingatkanku pada sesuatu. Seketika aku berhenti mengaduk. "Apa ada korban atas kebakaran itu Bu?"

"Ada ... Mak Piah. Dulunya, Ia suka membantu menanam padi, terkadang Ia mencari beras-beras yang berjatuhan untuk makan. Kasihan," ucap Ibu seraya membuat kulit risoles.

"Korbannya hanya satu?"

"Iya ... tak banyak orang-orang saat itu. Itu pun, Mak Piah ditemukan ketika hampir tiga hari lamanya."

"Tidak mungkin ... semalam pasti hanya mimpi," batinku.

"Teruskan membuat adonannya. Kenapa kau melamun?" tanya Ibuku. "Tampaknya pikiranmu sedang rumit ya? Bolehkah berbagi cerita bersama Ibu?" tanya Ibuku dengan lembut.

"Tidak Bu ... aku hanya sedikit mengantuk."

"Memangnya tidak cukup tidur? Kau tidur pukul berapa? Jangan-jangan kau tidur larut malam sekali ya?"

"Iya ... semalam aku tidak bisa tidur. Entahlah ...." Kulanjutkan membuat adonan kulit risolesnya.

"Ya sudah ... tidurlah. Besok kau harus beraktivitas kembali," ucap Ibu.

"Ah tidak ... aku ingin membantu Ibu," sergahku.

"Tidak, simpan saja adonan itu di sana. Lanjutkanlah istirahatmu. Kau harus beristirahat dengan cukup. Pagi pukul tujuh Ibu akan membangunkanmu, kau harus pergi ke sekolah, kan?

"Iya ... aku, Via dan Radit harus membenarkan beberapa nilai yang kosong."

"Ya sudah ... pergi istirahat saja. Lagi pula, pesanan hari ini tidak terlalu banyak. Dan Ibu bisa menyelesaikannya sendiri."

"Tidak."

"Sudah, tidurlah Gea ... cepat. Mumpung masih ada waktu, esok Ibu bangunkan kembali."

"Tidak ... aku merasa takut akhir-akhir ini."

"Kenapa?" Ibu menoleh ke arahku.

"Sepertinya ... penunggu di gedung tua itu menggangguku Ibu."

"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Ibu.

"Nenek tua yang Ibu ceritakan tadi, Ia mendatangiku tadi malam Ibu. Wajahnya separuh penuh luka bakar. Ia mengenakan baju kebaya kutu baru namun sudah setengah terbakar juga." Aku menatap Ibu dengan serius. "Tolong Ibu, aku takut."

"Memangnya kau sudah melakukan apa?" Ibu menatapku dengan serius.

"Aku tidak melakukan apa-apa Ibu." Aku berusaha menceritakan semuanya dengan detail. "Semalam aku membeli nasi goreng Pak Suryo, lalu Pak Suryo menyuruh aku, Via dan Radit untuk berhati-hati. Itu saja ...."

****

"Gea ...." Via dan Radit sudah di halaman rumah memanggilku.

"Gea ... kami datang, cepatlah keluar," seru mereka lagi.

Aku mengintip di jendela. Mereka sudah mengenakan pakaian sekolah dengan rapi. Hari ini hari terakhir untuk mengurus beberapa nilai yang buruk.

"Pagi sahabatku," sapaku, di pagi itu.

"Wih ... mukamu masam sekali. Apa hal buruk telah terjadi?" tanya Radit.

"Tidak." Kusergah pertanyaan Radit dengan cepat. "Apa kalian sudah melayat Pak Suryo."

"Belum ... sebelum kita berangkat sekolah, kita pergi melayat terlebih dahulu," sahut Via.

Jaraknya tak jauh. Kami bertiga berjalan seraya berbincang-bincang tentang kematian Pak Suryo.

"Pak Suryo meninggal mendadak. Menurut keluarganya, Ia mengalami serangan jantung," ucap Radit.

"Ya, benar sekali. Ibuku bilang, Pak Suryo meninggal karena jatuh saat berdagang. Kemungkinan mengalami serangan jantung."

"Aku tidak percaya Pak Suryo telah meninggal. Baru saja aku melihat semalam Ia pulang berdagang."

"Memangnya kau melihat pukul berapa?" tanyaku.

"Pukul satu malam. Saat itu aku harus membetulkan antenaku diluar, signal televisiku begitu buruk. Kulihat Pak Suryo sedang mendorong rodanya. Bahkan saat itu aku menyapanya," ucap Radit.

"Ya ... takdir tidak ada yang tahu," sahutku.

"Kasihan Deni ... bukankah Ia juga mengalami sakit keras?" tanya Via.

"Iya. Sekarang Ia sedang kembali ke kampung asalnya. Pasti rasanya sangat menyakitkan mendengar kabar ini di kampungnya."

"Kalau bukan dari Pak Suryo, mereka harus mengandalkan siapa lagi ya? Kasihan ... mungkin Ibunya Deni juga akan kembali ke kampungnya," balas Radit.

"Kuharap Deni kembali pulih agar bisa membantu Ibunya," harapku. "Aku tak bisa membayangkan kejadian ini."

Kami sampai di rumah Pak Suryo. Melihat Pak Suryo sudah dimasukkan ke dalam keranda suasana menjadi sangat haru.

1
Rena Ryuuguu
Sempat lupa waktu sampai lupa mandi, duh padahal butuh banget idung dipapah😂
Hafizahaina
Ngakak sampe perut sakit!
sweet_ice_cream
🌟Saya sering membawa cerita ini ke kantor untuk membacanya saat waktu istirahat. Sangat menghibur.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!