NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MULAI MENGENAL

Dengan senyum simpul yang terbentuk di wajahnya, Azkan menggandeng tangan Laina masuk ke dalam ruang makan yang terletak di ujung lorong kamar tidurnya. 

“Tenang saja, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” Azkan berbicara sambil terus berjalan, lalu sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya, Azkan menoleh ke sisinya, menatap Laina yang wajahnya masih dipenuhi keterkejutan, “Aku hanya mengganti pakaianmu yang basah dengan pakaian baru. Hanya itu.” 

“Bagaimana aku bisa percaya padamu? Aku tidak mengingat apa pun. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa datang ke tempat ini. Aku …” kalimat Laina terhenti karena Azkan tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu berbalik tanpa melepaskan gandengan tangannya. “Kenapa?” Laina merasa semakin berani untuk mengatakan langsung isi pikirannya pada Azkan. Meski baru bertemu beberapa menit yang lalu, Laina merasa kalau dia bisa bicara dengan bebas pada Azkan. Benar kan?

“Aku akan menjawab semua pertanyaanmu sambil sarapan. Ayo, silahkan masuk.” Azkan membuka pintu ruang makan di sisinya dengan tangannya yang lain, lalu menuntun Laina masuk bersamanya. 

Laina disambut oleh sebuah ruangan besar lainnya setelah kamar Azkan tempatnya bangun pagi ini. Kali ini, ruangan yang dia masuki didesain menggunakan warna putih dan biru laut yang menenangkan. Tidak banyak perabotan di dalam ruangan ini. Di tengah ruangan, terdapat satu meja makan berbentuk persegi panjang dengan delapan kursi di mengelilinginya. Satu sisi dinding di seberang pintu masuk, diubah menjadi jendela kaca seluruhnya, sehingga Laina bisa melihat pemandangan menakjubkan di luar kastil dari dalam sini. Ada sebuah taman yang begitu indah dengan beragam bunga yang sedang bermekaran di balik jendela kaca itu. Lalu, jika mengarahkan pandangan lebih jauh, Laina bisa melihat hamparan laut luas yang begitu tenang, tanpa ombak. Garis pantainya, dilukis dengan pantai lembut berwarna cokelat muda yang menggodanya untuk menginjakkan kaki kedalam kelembutannya. 

Sedangkan di sisi lain dinding, terdapat sebuah kitchen set dengan desain minimalis tapi dipenuhi oleh semua peralatan memasak yang dibutuhkan. Di samping kitchen set berwarna biru laut tersebut, berdiri sebuah kulkas empat pintu berwarna abu-abu lembut. Kemudian, ada sebuah pintu lagi di dalam ruang makan itu, yang ternyata terhubung dengan dapur besar tempat para pelayan Azkan bekerja mengolah seluruh bahan makanan untuk kastil. Dari balik pintu itulah, dua orang pelayan berseragam hitam, membawa nampan berisi makanan ke meja makan, di bawah arahan Armana, sang kepala pelayan.

“Laina, perkenalkan, ini adalah Armana. Dia adalah kepala pelayanku di kastil ini. Segala urusan kastil, adalah tanggung jawab Armana. Dia yang mengatur semua pelayan agar segala sesuatu di dalam kastil berjalan dengan lancar.”

Armana, yang ditunjuk oleh Azkan, menundukkan kepalanya sambil mengucapkan salam kepada Laina. “Selamat pagi, Armana, aku Laina.” Jujur saja, mendapat sikap penghormatan dari orang yang jauh lebih tua darinya, membuat Laina merasa tak nyaman. Namun kehadiran Azkan di sisinya, membuatnya merasa tak bisa mengatakan pada Armana agar bersikap biasa saja padanya.

“Mulai hari ini, Armana yang akan melayanimu secara langsung. Katakan padanya jika kau membutuhkan apa pun. Armana adalah orang yang sangat pintar. Aku yakin dia bisa membantumu dalam berbagai macam hal.” Azkan terus berbicara, tak menyadari kecanggungan Laina dengan perlakuan yang dia terima. 

“Terima kasih, tapi aku tidak mau merepotkan orang lain. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Akhirnya Laina mengatakannya. Armana yang selalu lebih peka dibanding orang lain, bisa melihat sebuah senyuman canggung di wajah Laina dan dia pun tersenyum maklum. 

“Tentu saja, Nona Laina. Anda bisa melakukan apa pun yang anda inginkan di sini. Namun, jika suatu saat anda membutuhkan bantuan saya, silahkan memanggil saya. Tidak perlu sungkan.” senyuman Armana berhasil membuat Laina merasa lebih tenang. Setidaknya, sekarang, ada satu orang yang bisa memahaminya.

“Nah, sekarang, ayo makan.” Azkan akhirnya melepaskan gandengannya, dan menarik sebuah kursi untuk Laina. 

“Terima kasih,” ucap Laina sebelum duduk di kursi yang disiapkan Azkan. 

“Apa kau punya alergi terhadap makanan tertentu?” Laina menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sedangkan kedua matanya sibuk memindai makanan yang disajikan di hadapannya. Ada pancake hangat bertumpuk di piring besar dan berbagai macam pilihan toping yang bisa dia pilih. Selain itu, ada roti tawar, sosis, telur mata sapi, dan semangkuk salad sayuran yang begitu segar. Untuk pilihan minuman, ada kopi, teh, susu dan jus jeruk berwarna orange pekat yang menunjukkan betapa murninya jus itu.

“Silahkan makan makanan yang kau suka. Atau kalau kau ingin makanan yang lain, katakan saja. Pelayan akan langsung menyiapkannya.”

“Tidak, tidak. Aku bisa makan apa yang ada di meja. Bahkan ini terlalu banyak.” Laina tak menyangka kalau dia begitu lapar hingga melihat makanan di hadapannya. 

“Kalau begitu, silahkan makan. Ambillah sebanyak yang kau mau. Kau harus kenyang untuk punya tenga mengelilingi pulau hari ini.” Azkan menunggu Laina mengambil makanan lebih dulu dengan tatapan bersemangat. 

“Mengelilingi pulau?” Laina mengambil satu pancake, lalu menyiramnya dengan sirup.

“Iya. Aku akan membawamu berkeliling, memperkenalkanmu pada penduduk di sini dan para prajurit penjaga. Kau harus mengenal tempat ini dengan baik karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersama kami.” Azkan pun mengambil beberapa potong pancake dan menuang sirup di atasnya.

“Mau minum apa?” tawar Azkan yang tangannya sudah siap meraih minuman manapun yang akan disebutkan Laina.

“Hmm, aku mau teh.” 

Azkan menuang teh hangat ke cangkir kosong Laina lalu menuangnya juga untuk dirinya sendiri.

“Jadi, seperti yang kau katakan tadi, sekarang ini, aku sudah mati?” Laina memulai pertanyaannya setelah menyuap sepotong pancake yang ternyata rasanya luar biasa enak. Dia sampai takut tak bisa berhenti memakannya.

“Iya. Di dunia luar, tempatmu hidup sebelumnya, kau sudah mati. Sekarang, adalah dunia di antara kehidupan dan kematian kekal. Tidak semua orang bisa yang sudah mati bisa datang ke sini. Hanya mereka yang terpilih. Tepatnya, hanya mereka, yang semasa hidup, jiwanya terluka terlalu dalam hingga mengakhiri hidup sendiri.”

“Hmmm, seperti yang kualami.” Laina meneguk teh hangat yang aromanya menyegarkan.

“Iya. Tapi kau berbeda, Laina.” Azkan meletakkan satu pancake lagi ke piring Laina yang hampir kosong. “Terima kasih,” ucap Laina sepenuh hati. Perutnya bersorak senang melihat tambahan pancake di piringnya.

“Laina, kau adalah Perempuan Pilihan ke-8.” jelas Azkan.

“Maksudnya?”

“Jadi, sejak Pulau Asa ini ada dan sejak aku ditugaskan Sang Dewa menjaga pulau ini serta seluruh penduduknya, Dewa membuat perjanjian denganku. Salah satunya adalah tentang kehadiran Perempuan Pilihan setiap masa seratus tahun. Perempuan Pilihan itu, adalah manusia pilihan Dewa, yang dianggap spesial, dengan kemampuan khusus untuk membantuku mengurus pulau ini. Bisa dibilang seperti pendamping hidupku? Atau partner kerja? Sepertinya sebutan partner kerja lebih tepat.”

“Jadi, sekarang, aku juga akan menjadi pendamping hidupmu?” Laina masih berusaha memahami konsep Perempuan Pilihan ini.

“Iya, sesuai aturan Sang Dewa, iya. Kau sekarang menjadi salah satu perempuan yang akan mendampingiku memimpin serta mengurus pulau.”

“Tapi aku tidak punya kemampuan untuk melakukan hal itu.”

“Tenang saja, kita akan mengetahuinya seiring berjalannya waktu nanti.”

“Lalu, apakah sebagai pendampingmu, aku harus menikah dneganmu?”

“Tidak. Aku tidak pernah mengikat Perempuan Pilihan menggunakan pernikahan denganku.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak mencintai mereka. Tapi aku menghargai kehadiran mereka. Aku menyayangi mereka sebagai anggota keluargaku.”

“Apa mereka tinggal di kastil ini?”

“Tidak.”

“Di mana mereka tinggal?”

“Aku membangun rumah untuk mereka di sekitar kastilku.”

“Jadi, aku juga akan memiliki rumah di dekat kastil?”

“Hmm, sepertinya tidak.”

“Kenapa?” 

“Kau akan tinggal bersamaku di sini.” Azkan meletakkan sepotong sosis dengan saus berbumbu di piring Laina yang sudah kosong. 

“Kenapa?” Laina tak ingat mengucapkan terima kasih untuk makanan yang ditambahkan ke piringnya. Dia lebih penasaran pada bagaimana hidupnya selama berada di sini.

“Karena aku menginginkannya.”

“Ha?”

“Aku juga tidak mengerti. Aku sendiri terkejut dengan keadaan kita sekarang ini.”

“Kalau kau bingung, lalu bagaimana denganku? Bukankah seharusnya kau menjelaskan semuanya dan membuatku mengerti?”

“Baiklah. Dengarkan aku baik-baik.” Laina mengangguk sambil menusuk sosis dengan garpu lalu melahapnya.

“Selama ini, Perempuan Pilihan yang datang, tidak membuatku tertarik. Aku menyambut kedatangan mereka, membiarkan mereka tinggal di kamar kosong di kastil ini sampai rumah mereka selesai dibangun. Lalu, mereka mendampingiku mengurus seluruh pulau sesuai kemampuan mereka masing-masing, seperti yang kujelaskan tadi. Seperti itulah yang terjadi selama ini. Sampai kau datang semalam, dengan dibawa sepasang sayap malaikat. Saat melihatmu, aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Aku tertarik padamu, aku penasaran dengan dirimu, aku ingin tahu lebih banyak hal tentangmu dan aku ingin kau berada sedekat mungkin denganku. Seperti sekarang ini, sarapan berdua denganmu, adalah hal yang tak pernah kulakukan dengan Perempuan Pilihan lainnya. Sebenarnya, tak pernah ada orang lain yang tidur di kamarku dan makan di ruang makan pribadiku seperti kau sekarang.”

“Kenapa?”

“Entahlah. Mungkin aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu terbaring tak sadarkan diri di halaman kastilku.” Azkan mendorong piring salad ke dekat Laina sehingga dia bisa mengambilnya dengan mudah.

Laina terpaku menatap Azkan. 

“Kenapa?” tanya Azkan, menyadari Laina berhenti makan.

“Kau menyukaiku?” ulang Laina ragu.

“Iya. Aku yakin kalau aku menyukaimu sejak kali pertama melihatmu.” Azkan menyendokkan setumpuk salad sayur ke piring kosong Laina.

“Tapi katamu, kau tidak pernah menyukai Perempuan Pilihan yang dikirim Dewa untukmu.”

“Iya. Makanya kukatakan kalau kau berbeda dari mereka semua. Nanti, kau akan bertemu dengan mereka semua dan akan bekerja sama dengan mereka. Kau akan melihat langsung, kalau kata-kataku benar. Aku memperlakukan mereka sebagai anggota keluargaku, bukan pasanganku.”

“Kau mau menjadikanku pasanganmu?” hati Laina berdebar. Wajahnya memerah. Nafsu makannya hilang.

“Apa kau tidak suka padaku?” Azkan memiringkan kepalanya menatap Laina lekat-lekat.

“Bukan, bukan itu maksudku. Aku …” Laina terbata, tak bisa melanjutkan kalimatnya.

“Tenanglah, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau sukai. Aku akan menghargai keinginan dan keputusanmu. Tapi untuk tempatmu tinggal, kau akan tinggal di sini, bersamaku. Kau tidak bisa menolak hal itu. Untuk hal lainnya, kita bisa mendiskusikannya.” senyuman Azkan membuat Laina tak bisa protes.

“Tunggu, tolong jelaskan dulu mengenai kedatanganku ke sini. Apa Perempuan Pilihan memang diantar oleh sayap malaikat?”

Azkan menggeleng tegas. “Hanya kau.”

“Bagaimana perempuan lainnya datang ke sini?”

“Perempuan pertama diantar ombak di tengah badai, perempuan kedua dibawa paus hitam besar yang sekarang kupelihara di laut itu,” Azkan menunjuk hamparan laut di balik dinding kaca ruang makan. “Perempuan ketiga mengapung di atas batang pohon yang sangat besar, perempuan keempat diantar pusaran badai, perempuan kelima digendong beruang besar entah dari mana, peremppuan keenam dengan kapal kayu yang hampir hancur ketika sampai di pantai, dan perempuan ketujuh, dibawa oleh seekor elang raksasa.”

“Wah …” Laina melongo mendengar cerita Azkan. Bukankah ini seperti cerita dongeng untuk anak-anak? 

“Kau pasti tidak bisa langsung menerima semua hal yang kuceritakan. Tapi, memang itulah kenyataannya. Nantinya, kau juga akan bisa menerima kalau segala hal yang terjadi di pulau ini, adalah kenyataan.”

“Lalu, bagaimana dengan penduduk pulau ini?”

“Mereka biasanya datang ke pulau ini dalam keadaan tak sadarkan diri setelah digiring ombak ke pinggir pantai di sekeliling pulau. Penduduk atau prajurit yang menemukan mereka, akan langsung membawa mereka ke rumah sakit dan merawat mereka hingga kondisi mereka cukup baik untuk memulai kehidupan baru di pulau ini. Kemudian, setelah luka jiwa mereka disembuhkan, mereka akan diberi pilihan untuk tetap tinggal sebagai penduduk pulau atau memulai kehidupan baru di dunia luar, dengan kesempatan hidup yang jauh lebih baik. Yang pasti, mereka tidak akan mengalami hal buruk yang bisa membuat mereka memutuskan mengakhiri hidup mereka lagi.” 

“Bagaimana denganku?”

“Sebagai Perempuan Pilihan, kau juga memiliki hak yang sama. Tapi, sampai saat ini, belum ada Perempuan Pilihan yang ingin memulai hidup baru di dunia luar.”

“Kapan aku bisa memilih?”

“Kalau jiwamu sudah sembuh.”

“Apa aku akan ingat tentang kehidupanku di sini setelah memulai hidup baru?”

“Tentu saja tidak.”

“Lalu kenapa aku tidak boleh memilih sekarang? Toh, aku akan lupa dengan semuanya kan? Termasuk alasan aku mati kan?”

“Iya, kau akan lupa semuanya. Tidak ada kenangan dari kehidupan sebelumnya yang akan kau ingat. Tapi, jiwa yang terluka dan belum sembuh, tidak akan sanggup menjalani kehidupan yang baru. Lukanya, akan tetap ada. Meski kau tidak mengingatnya.”

“...”

“Apa yang kau pikirkan?” Azkan menyandarkan punggungnya sambil bersedekap, berusaha memahami ekspresi wajah Laina yang berubah muram.

“Aku teringat alasanku ada di sini.”

Azkan beranjak dari tempat duduknya. Hanya butuh beberapa langkah baginya untuk sampai di sisi Laina, lalu dengan tangannya yang terbiasa berlatih fisik setiap hari, dia membelai lembut kepala Laina. “Tidak apa-apa. Semua sudah berakhir. Ingatanmu, adalah masa lalumu. Selama tinggal di sini, kau akan pulih perlahan. Kau hanya perlu mengijinkan dirimu sendiri, untuk memulai lagi.”

“Lagipula,” Azkan membelai wajah Laina yang menengadah, menatapnya.

“Sekarang, kau memilikiku. Kau sudah mendengar pengakuanku kan? Kalau aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu? Aku berjanji akan mendampingimu selama kau berada di sini. Kau bisa mengandalkanku sepenuhnya, bersandar padaku, bergantung padaku, dan meminta apa pun padaku. Aku akan melakukan apa pun yang kubisa untukmu. Dan perlu kau tahu, aku bukanlah manusia biasa. Aku sudah hidup di sini selama delapan ratus tahun. Kemampuanku, tak bisa dibandingkan dengan pria biasa lainnya. Jadi, kau bisa merasa tenang bersamaku.” 

Laina tersenyum, hatinya terasa hangat. Meski belum bisa menerima atau memahami seluruhnya, tapi dia mempercayai Azkan.

“Apa sekarang ini aku sedang menerima ajakan berkencan dari pria yang usianya tujuh ratus tujuh puluh lima tahun lebih tua dariku?” Laina tertawa kecil, merasa konyol dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Sedangkan Azkan, yang mendengarnya dengan serius, tertawa terbahak-bahak. 

“Sudah kubilang kan, aku bukan pria biasa. Kau tidak akan bisa menemukan pria sepertiku dimanapun di dunia ini. Aku punya banyak sekali nilai tambah dibanding mereka. Kujamin, kau tidak akan pernah menyesal jika menerima ajakanku untuk berkencan. Bagaimana?” Azkan menundukkan tubuhnya yang tinggi besar, meraih tangan Laina dengan lembut, lalu mengecup punggung tangannya sambil menatap Laina yang wajahnya semakin merah. 

“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang. Aku baru saja mengenalmu. Beri aku waktu.”

“Tentu saja. Aku akan menghargai pendapatmu.” Azkan mengecup kening Laina dan teriakan kecil Laina langsung terdengar.

“Aku kan belum mengatakan iya, Azkan?!” 

Azkan tersenyum lebar sambil berdiri tegak kembali. Menjulang begitu tinggi di sisi Laina yang sedang duduk dengan berdebar. 

“Aku akan selalu menghargai pendapatmu, tapi aku juga akan melakukan segala hal yang kuinginkan untuk menunjukkan perasaanku padamu.” 

“Ha?” Laina merasa ada maksud lain dari kata-kata Azkan padanya. Dia pun beranjak dari tempat duduknya, berusaha menyamakan posisinya dengan Azkan yang ternyata sia-sia. Meski sudah berdiri tegak, tingginya hanya mencapai pundak Azkan. Dia tetap harus mendongakkan kepala untuk menatap wajah Azkan secara langsung.

“Jadi kau akan menciumku walaupun aku belum mengatakan iya untuk berkencan denganmu?” 

“Aku juga akan memelukmu,” jawab Azkan sambil melingkarkan tangannnya di pinggang Laina. Tubuh Laina langsung tenggelam dalam pelukannya.

“Azkan!” Laina ingin marah, tapi hatinya bersorak senang.

“Az. Panggil aku Az. Semua orang di pulau ini, memanggilku Azkan.”

“Lalu kenapa aku harus memanggilmu Az?”

“Karena kau spesial.” Azkan menelusuri rambut panjang Laina dengan jemarinya.

“Aku suka rambutmu. Kau sangat cantik, Laina.” Bagaimana mungkin kau tidak pernah menyukai perempuan lain selama delapan ratus tahun? Kau bisa bersikap seperti ini padaku dengan sangat alami. Kau seperti sudah terbiasa melakukannya. Sedangkan aku sekarang berdebar dan hampir kehilangan akal sehatku. Rasanya mulutku ingin sekali mengatakan iya pada ajakan kencamu. Tapi aku harus menahan diri kan?

“Apa lagi yang kau pikirkan, Lai?” telunjuk Azkan menyentil lembut kening Laina.

“Lai?” ulang Laina dengan tuntutan sebuah penjelasan.

“Aku ingin memanggilmu Lai. Hanya aku yang boleh. Orang lain harus memanggilmu Laina.”

“Apa kau terobsesi pada nama panggilan”

“Tidak pernah sebelumnya. Hanya denganmu.”

“Dasar playboy.”

“Hei!”

“Apa?”

Keduanya saling tatap sambil terus berbalas ucapan.

“Kau memang playboy kan, Az?”

“Tidak.”

“Kau sudah sering melakukan hal ini kan? Menggoda perempuan dengan kata-kata dan sikapmu.”

“Tidak.”

“Bohong.”

“Aku tidak pernah berbohong. Aku tidak bisa berbohong.”

“Tidak mungkin.”

“Dewa membuatku tidak bisa berkata bohong. Sejak ada di sini, yang keluar dari mulutku, adalah kebenaran.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Jadi, aku benar-benar perempuan pertama yang kau sukai?”

“Iya.”

“Selama delapan ratus tahun?”

“Iya.”

“Bagaimana dengan sebelum kau ada di sini?”

“Ada. Satu orang. Tapi berakhir tragis.”

“...”

“Kenapa diam?”

“Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lamamu.”

“Aku sudah tidak terluka.”

“...”

“Apa kau mau mandi bersamaku?”

“Ha?!”

“Hahahahaha!!!”

“AZKAN!!!”

“Kau memukulku?”

“Awalnya. Tapi ternyata tubuhmu terlalu kuat untuk merasa sakit karena pukulanku. Malah tanganku yang sakit.”

“Dasar,” Azkan memeluk Laina erat-erat, menenggelamkan wajahnya ke leher Laina, menghirup aroma tubuhnya tanpa bisa merasa puas. 

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!