Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitri
Pandangan mata Dewi telah meluluhlantakkan hati Hamdan.
Sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.
Ibnu Arabi pernah ditanya, "Siapa pencuri terkejam?"
Dia menjawab, "Yang kejam itu matanya wanita. Jika ia melihatmu dengan tatapan matanya, kau akan kehilangan segalanya dan kau hanya bisa tersenyum."
Kondisi Hamdan persis seperti yang digambarkan oleh Ibnu Arabi.
Karena kondisinya yang tak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar-mengajar, Hamdan memutuskan untuk pulang.
Tentu saja dia tidak berani pulang ke Panti.
Dia pasti akan diinterogasi dan diberi ceramah berjam-jam lamanya oleh Kak Yati.
Hamdan tidak siap untuk itu.
Oleh karena itu, dia menyeret langkahnya pergi ke suatu tempat yang tenang dan tidak terlalu banyak orang.
Di belakang sekolah ada sebuah hutan kecil, di sanalah Hamdan menuju.
Setelah dapat posisi yang nyaman, Hamdan mulai mengeluarkan obat mujarabnya yaitu balsem.
Dia langsung mengoles wajahnya yang bengkak hingga tidak dapat dikenali itu.
"Srek...!!!"
"Srek...!!!"
Hamdan langsung bersikap Waspada.
Pandangannya menatap tajam ke arah sumber suara tadi.
Saat itulah tampak seraut wajah yang tampak ragu berjalan ke arah Hamdan.
"Fitri, kenapa kamu ke sini?"
Fitri adalah teman sekelas Hamdan. Selain cantik, dia adalah sang juara kelas dan juga atlet panahan.
Walau pun tidak setenar Dewi, dia juga mempunyai banyak fans. Bahkan ada beberapa siswa yang kelas satu dan kelas tiga menyatakan perasaan kepadanya.
Namun setakat ini, tidak ada satu pun yang digubrisnya.
Fitri mendekati Hamdan. Dia menyodorkan salep yang berisi Heparin Sodium.
"Pakai salep yang ini saja, Hamdan! Mudah-mudahan bisa mengatasi memar dan juga bengkak."
Hamdan memandang Fitri dengan tatapan rumit.
"Terima kasih banyak, Fit."
Hamdan tahu ini adalah salep yang sangat manjur tapi harganya juga mahal.
Isi 20 gram saja dibanderol dengan harga seratus ribu. Itu adalah jumlah uang yang sangat banyak menurut Hamdan yang tak pernah mempunyai uang jajan sepeser pun setiap kali ke sekolah.
Hamdan mulai mengoleskan salep tersebut di area wajahnya. Sedangkan Fitri hanya melihat dalam diam.
"Kamu mengapa bolos, Fit? Pagi ini kan jam pelajaran penting."
"Aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja. Tapi jika kamu merasa terganggu dengan kehadiran aku, biar aku pergi saja."
Fitri berbalik.
"Tunggu dulu, Fit!"
Hamdan meraih tangan Fitri.
"Duduk dulu! Aku tidak bermaksud berkata begitu. Aku hanya tak ingin kamu bolos karena mengikuti jejak aku."
"Kamu tak perlu risau akan hal itu."
Fitri menarik tangannya.
"Maaf, Fit." Hamdan merasa bersalah.
"Bagai mana pun juga, terima kasih atas pertolongannya. Ini salepnya. Aku sudah selesai."
"Ambil saja, Hamdan."
"Aku sudah selesai, Fit. Aku tak memerlukannya lagi."
"Kalau begitu buang saja jika kamu memang tak ingin menggunakannya."
Fitri berdiri.
"Aku mau masuk kelas. Kamu lebih baik pulang. Istirahat."
Tanpa menunggu tanggapan dari Hamdan, Fitri segera berlalu dari sana.
Tak lama kemudian sosoknya pun hilang ditelan semak yang tumbuh setinggi kepala.
Hamdan hanya bisa mengela nafas seraya menggelengkan kepala.
"Andai saja Dewi sebaik dan seperhatian seumpama Fitri, betapa bahagianya hatiku." Gumam Hamdan.
Dia lalu memasukkan salep pemberian Fitri ke dalam saku.
...****************...
"Makan di kantin yuk, Dewi." Rika kawan sebangku Dewi menggamit tangan Dewi.
"Malas ah." Dewi sedang mengecat kukunya.
"Yuk lah, Dewi. Aku lapar sekali."
Dewi menghentikan gerakannya.
"Kamu pergi saja sendiri. Aku sedang diet."
Mata Rika terbelalak. "Kamu diet, Dewi? Sejak kapan?"
"Sudah seminggu. Kamu tak lihat lemak di perut aku sudah mulai kelihatan? Makanya aku harus menjaga tubuh aku agar tetap proporsional."
"Tubuh kamu ramping seperti ini dikatakan berlemak? Bagai mana mungkin?"
"Yuk lah." Rika menarik tangan tangan Dewi.
Mau tak mau Dewi terpaksa ikut walau pun enggan.
"Dewi! Sini!"
Rangga melambaikan tangannya.
Dewi acuh tak acuh. Dia memilih meja di dekat jendela.
Di mana pun bunga mekar maka disitu lah kumbang akan bergerombol.
Baru saja Dewi dan Rika duduk, mereka langsung dikelilingi oleh beberapa pejantan di sana.
Namun karena mereka tahu bahwa Dewi bagai kan bunga ros yang berduri sehingga mereka hanya berani karena ramai.
Jika sendirian nyali mereka jadi ciut.
"Hush hush! Pergi kalian dari sini!" Rangga datang dan langsung duduk di depan Dewi.
"Mau makan apa, Dewi? Kamu pesan saja. Hari ini aku yang traktir."
"Asyik....! Aku juga mau." Rika bersorak senang.
"Kamu bayar sendiri lah ya! Aku hanya akan mentraktir pacar seorang." Dengus Rangga.
"Siapa juga yang jadi pacar kamu, Rangga?" Dewi mencibir tak senang.
"Jangan bilang kamu lebih suka si culun Hamdan dibandingkan aku, Dewi."
"Aku lebih baik berjalan terbalik dari pada harus berpacaran dengan siswa miskin itu."
"Apa si Hamdan nembak kamu, Dewi? Kapan? Kok aku tidak dapat kabar ya." Rika penasaran.
Rangga pun dengan senang hati menceritakan kepada Rika.
Tentu saja dia akan melebih-lebihkan kontribusinya agar Dewi lebih terkesan.
"Ooo jadi itu sebabnya dia tidak masuk sekolah ya. Aku penasaran bagai mana rupanya setelah kamu beri dia pelajaran, Rangga."
Mereka tertawa terkekeh-kekeh.
Fitri baru saja masuk ke kantin dan melihat mereka tertawa dengan gembira mengejek Hamdan.
Dia datang menghampiri.
"Plak! Plak!"
Telapak tangan putihnya bersarang di kedua pipi Rika.
"Sekarang silahkan kamu bercermin! Seperti itu lah penampakan wajahmu yang jelek itu."
"Apa yang kamu lakukan, Fitri?"
Rangga langsung berdiri.
Rika meringis menahan sakit. Dia memandang Fitri penuh dendam.
"Apa kah kamu membela si bod*h itu, Fitri? Cemooh Dewi.
"Jadi dia adalah tipemu? Aku tidak menyangka kamu punya selera serendah itu."
Fitri tidak menggubrisnya. Dia langsung keluar.
Dia sudah tidak punya selera untuk makan.
...****************...
Dalam pada itu, Hamdan sedang berada di pasar. Dia sedang bekerja paruh waktu mengangkut barang-barang di toko.
Dia tentu saja tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Fitri untuk membelanya.
Hamdan bekerja dengan semangat.
Setiap kali dia merasa lelah, dia akan membayangkan wajah Dewi. Senyumannya dan pandangan matanya sehingga rasa lelah pun lesap tidak berbekas.
Hamdan mengelap keringat yang menetes diwajahnya.
"Kamu orang istirahat dulu. Ini minum kamu punya. Cepat minum selagi dingin."
"Siap, Nya."
Hamdan meraih botol mineral dingin itu. Membuka tutupnya dan langsung meneguk dalam satu kali nafas.
"Kalau minum hati-hati. Nanti kamu orang bisa tersedak. Bisa mamp*s. Baru kamu orang tau rasa."
Hamdan tidak memperdulikannya.
Demi si buah hati, dia harus kuat.
Tak lama lagi adalah acara ulang tahun si Dewi. Dia harus cepat-cepat mengumpulkan uang untuk memberikan kado terbaik untuk si buah hati.
Hamdan tersenyum.
Dia mulai mengangkut barang dengan semangat empat lima.
jcyt. m.p u jbh vg w. h. h Bu. BB ggh u Hb vvg HH GG t gggg g. CC CF ffff. fcf CC. f. c CC cccc'c CC. v CCd, cygggv C TTDC esx GG gy c Bu CC v CC CC CC CC Z zSezszesssS