Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 3 ~ Tinggal Bersama
Citra yang duduk di sampingnya mendengus pelan. Tidak ingin drama membuat drama kelanjutan dari kejadian kemarin, ia pun memilih tidak jujur kalau mereka pernah … dekat.
“Apa kabar, Mas Harsa. Sungguh sebuah kejutan kalau kita ternyata akan menjadi saudara.”
“Kalian sudah kenal?” tanya Surya.
Harsa yang tadinya tidak fokus, menatap Dara dan Citra bergantian bahkan wajahnya menunjukkan kebingungan. Tersadar karena pertanyaan Surya.
“Oh, iya. Dara ini ….”
“Teman lama Om, saya juga lupa kenal dimana karena udah lama banget. Kayak barang kalau udah lama juga suka lupa disimpan di mana,” ungkap Dara dan mendapat tatapan tajam dari Harsa. “Kalau kamu Citra, sudah kenal dengan Mas Harsa?” tanya Dara.
Citra melirik sebal.
“Tentu saja mereka sudah kenal, kita pernah makan malam sebelumnya. Kamu sih tidak ikut,” tutur Bunda. Dara hanya menganggukan kepala, padahal ia ingin melihat Citra akan menjawab apa.
Terlihat kalau Harsa tidak nyaman, entah karena takut kalau Dara membuka aibnya atau masih terkejut. Apalagi Dara juga terlihat baik-baik saja, pria itu menduga Dara akan berteriak dan memakinya. Hidangan sudah diantar, semua makan dengan tenang. Sesekali obrolan standar terjadi dan Surya lebih sering bertanya pada Dara dibandingkan Citra.
“Kita akan jadi keluarga dalam beberapa hari ke depan.”
“Om Surya, eh maksud aku Papa. Entah Mas Harsa sudah bilang atau belum, tapi kami sedang dekat.” Apa yang diungkapkan Citra tidak diduga-duga karena Surya langsung diam dan raut wajahnya datar.
“Apa?” tanya Bunda, berharap yang ia dengar itu salah.
Sepertinya seru, batin Dara meletakan sendoknya lalu menopang wajah menatap Citra yang kini bertatapan dengan Harsa. Bahkan pria itu sampai berdehem, jelas kalau dia terkejut dan tidak menyukai pengakuan Citra.
“Dekat bagaimana?” tanya Bunda lagi.
“Citra, Bunda bertanya padamu,” ujar Dara menepuk bahu Citra yang terus menatap Harsa sedangkan pria itu melirik Dara.
“Ya dekat Bun, pacaran.”
“Kamu kok tidak cerita. Mas Surya, lalu kita ….”
“Tetap pada rencana awal, belum tentu juga mereka berjodoh. Kadang mereka tidak dewasa dan hanya tahu bersenang-senang,” ungkap Surya menyela ucapan Kemala.
“Mas Harsa, jangan diam aja dong,” keluh Citra dengan wajah cemberut.
Dara tersenyum, paling tidak adegan ini cukup menghiburnya. Untuk apa dia harus bersedih, yang harus ia lakukan adalah menata hatinya. Poor Bunda, menasehati agar Dara tidak mengacaukan pertemuan dan membuat malu. Namun, Citra yang mengacaukannya. Putri sambung yang terus dibela ke sana kemarin, hanya karena ayahnya sempat ikut membiayai hidup Kemala dan Dara. Padahal umur Citra sudah dewasa, sudah bisa dilepas hidup sendiri bukan jadi benalu pada Kemala.
Rasanya Dara ingin tergelak dan bertepuk tangan serasa berada di tengah panggung sandiwara. Saat menghidangkan makanan penutup, Harsa sempat pamit ke belakang. Tidak lama Citra juga pamit. Sedangkan Dara, ia tidak peduli. Ponselnya bergetar dan di layar tertera kalau itu panggilan dari … hotel.
Mau tidak mau, ia harus menjawab. Ia pun pamit menjawab telepon di luar. Kepalanya rasanya berdenyut kala ada laporan untuk shift malam ada tiga karyawan yang berhalangan hadir. Segera ia mengatur pengganti lalu berniat ke toilet. Saat hendak berbelok dari koridor, langkahnya terhenti mendengar obrolan Harsa dan Citra.
“Kalian bersaudara dan kamu tidak cerita? Tidak mungkin kamu tidak tahu kalau Dara pacar aku, kamu lihat wallpaper ponsel aku ‘kan?”
“Sudah bukan hal penting lagi, karena yang penting sekarang. Aku tidak ingin kamu buang apalagi bernasib sama seperti Dara. Dikhianati,” ujar Citra penuh tekanan.
“Aku ingatkan khawatir kamu lupa, kita yang mengkhianatinya, ,” sahut Harsa.
“Ck, jangan bilang kamu juga tidak tahu kalau Dara akan jadi saudara tiri kamu?”
“Ya memang aku tidak tahu, kalau aku lihat Dara pun sama.”
“Hah, sudahlah. Terserah, yang jelas aku ingin kita segera menikah. Jangan mengelak dan jangan minta aku gugurkan kehamilan ini. Jadi laki-laki jangan pengecut, mau enaknya doang.”
“Aku sudah bilang, minum emergency pil kamu.”
Dara menutup mulutnya agar tidak bersuara mendengar kenyataan dari mulut Citra dan Harsa. Hah, ternyata sudah lama mereka berkencan.
“Satu minggu setelah mereka menikah, aku ingin kamu bicarakan masalah kita dengan Papa.” Harsa hanya berdecak mendengar permintaan Citra.
Tidak ingin mendengar hal memuakkan lebih lanjut, Dara memilih kembali ke ruangan. Entah drama apalagi yang akan pasangan itu lakukan. Harsa kembali lebih dulu, wajahnya seperti frustasi bahkan sempat menatap Dara sebelum ia duduk.
Tatapan menyesal dan mengiba seakan mengatakan, “Dara, tolong aku.” Sedangkan Dara hanya membalas dengan tatapan seakan menjawab. “Rasakan, karma dibayar tunai.”
Setelah Citra kembali bergabung, Surya kembali bicara dan menyarankan agar kami semua tinggal di rumahnya setelah pernikahan.
“Kamu Harsa, sesekali tinggal di rumah. Mulai minggu depan, tugasmu sudah fokus di Jakarta.”
“Aku usahakan, Pah.”
“Dara, Om dengar kamu tidak tinggal dengan Bundamu?
“Ah, iya, Om. Dekat dengan Hotel, kadang saat libur mendadak harus berangkat. Jadi, ya …begitulah.”
“Usahakan kita semua tinggal bersama!”
Dia pikir siapa, belum apa-apa sudah berani perintah aku. Tinggal bersama dan harus melihat drama Citra dan Harsa. Tidak mau, batin Dara sambil bersungut meski hanya di dalam hati.