Alina Putri adalah Gadis muda yang baru berusia 17 tahun dan di umur yang masih muda itu dirinya dijodohkan dengan pria bernama Hafiz Alwi. Pria yang berumur 12 tahun di atas Alina Putri.
Keduanya dijodohkan oleh orang tua masing-masing karena janji di masa lalu yang mengharuskan Alina dan Hafiz menikah.
Pernikahan itu tentu saja tidak berjalan mulus, dikarenakan Hafiz meminta Alina untuk tetap merahasiakan hubungan mereka dari orang lain dan ada batasan-batasan yang membuat keduanya tidak seperti suami istri pada umumnya.
Bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Simak terus kisah mereka berdua di “Istri Sah Mas Hafiz”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Pertemuan Dua Keluarga
Seusai menyantap makan siang bersama, mereka kembali berkumpul di ruang tamu. Ibu Desi mengajak Alina untuk pergi ke dapur, membuat minum dingin sembari melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
“Silakan dinikmati es blewah yang segar ini,” ucap Ibu Desi mempersilakan calon besan dan calon menantunya untuk menikmati es blewah segar tersebut.
Ayah Ismail mengambil segelas es blewah dan mengajak istri serta putranya untuk ikut mencicipi es blewah.
“Alina mau tidak menjadi menantu Ibu?” tanya Ibu Nur sambil memegang tangan Alina dengan lembut.
Alina kaget dengan pertanyaan tiba-tiba dari Ibu Nur padanya.
“Astaghfirullah, maafkan Bu Nur ya Alina. Sepertinya Ibu terlalu berterus terang,” terang Ibu Nur.
Alina seketika itu memandangi kedua orang tuanya secara bergantian dengan penuh tanda tanya.
“Maksudnya apa, Ayah?” tanya Alina pada Sang Ayah.
“Alina tenang dulu dan dengarkan dulu apa yang akan kami sampaikan,” jawab Ayah Bahri.
Sang Ayah kemudian meminta calon besannya untuk memberitahu alasan kedatangan mereka bertamu ke rumah.
Saat itu juga suasana ruang tamu menjadi hening menunggu penjelasan Ayah Ismail dan keluarga.
“Bismillahirrahmanirrahim, hari ini kedatangan kami adalah untuk meminang Alina putri menjadi istri dari putra Kami, bernama Hafiz Alwi. Sudi kiranya Nak Alina mau menerima itikad baik ini,” ungkap Ayah Ismail.
Alina terkejut bukan main mendengar bahwa alasan dari kedatangan mereka adalah meminang dirinya untuk dinikahkan dengan Hafiz.
“Apakah Ayah dan Ibu setuju?” tanya Alina dengan suara gemeteran.
“Kami sudah memutuskan menjodohkan kamu dan Hafiz saat kamu masih bayi, Alina,” jawab Ayah Bahri.
Alina menunduk lesu mendengar jawaban Sang Ayah yang rupanya telah menjodohkan dirinya dengan lelaki yang belum ia kenal, Hafiz namanya.
“Alina jangan sedih, Hafiz ini orang baik dan kami sangat sayang dengan Alina,” ucap Ibu Nur seraya memeluk Alina.
Sejak dulu Alina selalu menuruti apa yang orang tuanya katakan. Bahkan, ia tidak bisa menolak perjodohan yang ternyata sudah diputuskan ketika dirinya masih bayi.
“Ayah, Ibu. Alina bersedia menerima pinangan dari Mas Hafiz,” jawab Alina sambil meneteskan air mata.
Mereka dengan kompak mengucapkan syukur Alhamdulillah karena Alina bersedia menerima pinangan tersebut.
“Terima kasih ya sayang,” ucap Ibu Desi seraya memeluk Sang putri.
Karena Alina sudah setuju, para orang tua pun bermusyawarah untuk menentukan tanggal lamaran yang akan diadakan kurang dari seminggu.
Kedua keluarga begitu bahagia karena tak sabar ingin segera menikahkan Alina dan juga Hafiz. Sementara calon suami istri itu hanya diam membisu menyaksikan para orang tua yang nampak sangat antusias.
Detik demi detik telah berlalu, sudah waktunya bagi keluarga Hafiz untuk kembali ke rumah mereka.
“Bahri, kami pamit pulang. 5 hari lagi kami akan datang melamar Nak Alina sekalian menentukan tanggal pernikahan mereka,” ucap Ayah Ismail.
Ayah Bahri tersenyum bahagia seraya memeluk sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi besannya.
Alina dan Hafiz saling berjabat tangan, namun keduanya kompak buang muka. Yang mana hal itu membuat para orang tua tersenyum lucu melihat ekspresi keduanya.
Setelah mereka pergi, Alina berlari masuk ke dalam kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Ibu Desi hendak menyusul Sang putri, namun Ayah Bahri segera menahan istrinya dan meminta Ibu Desi untuk membiarkan Alina seorang diri di dalam kamarnya.
“Ayah, Alina pasti sangat kaget. Ibu harus segera mendatangi Alina di kamarnya,” ucap Ibu Desi pada Sang suami.
“Alina bukan lagi anak kecil, Ibu. Biarkan dia di kamarnya sendiri dan setelah Alina sudah tenang, anak itu pasti mendatangi kita,” tutur Ayah Bahri.
Alina menangis di kamarnya, ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menikah muda. Terlebih lagi, ia belum mengenal sosok Hafiz seperti apa.
Ya Allah, kalau memang ini sudah takdir dan jalanku. Semoga takdir ini adalah sesuatu yang indah dan bukan yang buruk untukku. (Batin Alina)
Alina menangis menumpahkan rasa sedih, kecewa dan kesal bercampur menjadi satu. Sampai akhirnya ia terlelap sambil memeluk guling kesayangannya.
Malam Hari.
Alina keluar dari kamarnya dan meminta izin untuk pergi ke taman bermain. Taman yang jaraknya jaraknya tidak sampai 5 menit jika ditempuh menggunakan kendaraan bermotor.
“Ibu temani Alina ke sana ya?” tanya Ibu Desi yang hendak menemani Alina pergi ke taman bermain.
“Alina pergi sendiri saja ya, Ibu. Lagipula, jaraknya tidak terlalu jauh,” balas Alina.
“Alina marah ya sama Ayah dan Ibu soal perjodohan kamu dan Hafiz?” tanya Ibu Desi sambil menggengam erat tangan putrinya.
“Alina sama sekali tidak marah dengan perjodohan ini, Ibu. Kalau Mas Hafiz adalah pilihan Ayah dan Ibu, kenapa Alina harus marah? Alina yakin kalau Mas Hafiz pilihan terbaik Ayah dan Ibu untuk Alina,” jawab Alina.
Alina akhirnya mendapatkan izin untuk pergi ke taman bermain seorang diri. Gadis cantik yang masih berumur 17 tahun itu pergi menggunakan sepeda berwarna hitam miliknya.
Alina menggowes sepeda dengan santai seraya melamunkan status dirinya yang ternyata sudah memiliki calon suami.
Apakah Mas Hafiz menyukaiku lebih dulu? Tentu saja tidak. Kami bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. (Batin Alina)
Tak terasa Alina sudah sampai di taman bermain dan cukup banyak anak-anak kecil yang sedang bermain di taman tersebut.
Alina turun dari sepeda miliknya dan memarkirkan sepeda tersebut di tempat khusus parkir sepeda.
“Mas, mie ayam 1 porsi sama es jeruknya 1 ya,” ucap Alina sambil memilih bangku kosong yang dekat dengan seorang Ibu.
“Siap, Mbak. Tunggu sebentar ya,” sahut penjual mie ayam.
Tak berselang lama, mie ayam dan es jeruk yang Alina pesan datang juga.
“Dewean cah ayu?” tanya wanita yang duduk disamping Alina.
“Iya Bu, saya sendirian,” jawab Alina.
Alina tersenyum seraya mengangguk kecil sebelum menikmati mie ayam miliknya.
Ibu yang duduk disamping Alina telah selesai menikmati mie ayam dan pamit pergi.
Tak berselang lama, Alina pun selesai dan hendak membayar mie ayam serta es jeruk.
“Mbak, mie ayam dan es jeruknya sudah dibayar,” terang penjual mie ayam manakala Alina hendak membayar makanannya.
“Haa? Siapa yang membayar nya?” tanya Alina terkejut.
Penjual mie ayam menjelaskan bahwa yang membayar makanan dan minuman Alina adalah wanita paruh baya yang sebelumnya duduk disamping Alina.
Alina hanya bisa mengucapkan terima kasih dan berharap Allah memberikan rezeki untuk Ibu yang telah mentraktir dirinya.
Ayah Bahri dan Ibu Desi memutuskan untuk mengawasi Alina dari kejauhan tanpa diketahui oleh Alina. Bagaimanapun, mereka tetap harus mengawasi Alina yang pergi seorang diri ke taman bermain. Meskipun, jarak antar rumah dan taman bermain tidaklah jauh.
kan anak ibu
kalau hafiz yang cari sama aja numbalin rumah tangga mereka.