Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Kami pulang ke rumah selesai makan siang di restoran Sunda dekat komplek perumahan. Sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu di luar bersama Mas Dirga, mengingat kami selalu pergi setiap weekend seperti ini. Tapi karna di rumah masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikan agar nanti malam kami bisa tidur dengan nyenyak dan tenang, jadi terpaksa hanya makan siang saja dan langsung pulang.
Saat mobil memasuki cluster rumah kami, aku jadi ingat dengan tetangga sebelah yang baru saja bertengkar hebat. Jiwa kepo ku bergejolak, tak bermaksud ingin mengurusi rumah tangga orang lain, tapi penasaran saja kenapa pasangan yang terlihat sangat serasi itu bisa sampai bertengkar.
Padahal terakhir kali aku mengunjungi rumah ini, mereka berdua kedapatan sedang duduk di teras rumah dan sedang bercanda. Kami juga sempat bertegur sapa, meski mereka berdua tak banyak bicara. Suaminya hanya basa-basi saja pada Mas Dirga, sekedar bertanya kapan akan menempati rumah.
"Ngeliatin apaan sih Dek.? Jangan kepo, anggap aja tadi nggak dengar apa-apa." Teguran Mas Dirga membuatku tak lagi menatap ke rumah tetangga.
"Tapi kalau tiap hari bertengkar terus, bisa-bisa aku makin kepo Mas." Jawabku.
"Tapi semoga aja mereka nggak sering berantem. Lumayan juga teriakan mereka sampai kedengeran ke luar. Untung saja cuma ada kita, rumah yang lain masih kosong. Jadi aman dari pergosipan para tetangga." Celoteh ku yang panjang lebar hanya di tanggapi gelengan kepala oleh Mas Dirga.
"Kamu jangan sampai jadi penyebar gosip Dek, nggak baik. Urusan orang lain biar jadi urusan mereka. Kalaupun kita tau, cukup diam dan simpan untuk diri sendiri saja." Mas Dirga menasehati sembari mengusap pucuk kepalaku.
"Iya Mas, aku tau kok. Lagipula mana tega aku menyebarkan aib orang lain, paling juga cuma cerita sama Mas aja." Jawabku yang kemudian menyengir kuda. Aku memang selalu menceritakan apapun pada Mas Dirga, cuma dia satu-satunya orang yang menjadi tempat keluh kesah dan berbagi cerita. Lagipula menceritakan sesuatu pada Mas Dirga pasti aman, karna tak akan bocor kemana-mana. Beda lagi kalau menceritakannya pada orang lain, apa lagi perempuan, pasti akan langsung menyebar dengan cepat. Secepat jalannya kereta ekspres.
Beberapa saat berada di dalam mobil yang sudah terparkir di carport rumah, kami kemudian bergegas keluar mobil dan masuk ke dalam rumah.
...****...
Saat ini sudah pukul 9 malam, aku dan Mas Dirga masih masih sibuk bebenah rumah. Barang-barang di kamar utama sudah seluruhnya masuk dan tertata di tempat yang semestinya. Tirai dan seprei juga sudah terpasang rapi. Kami memang memprioritaskan kamar yang di benahi lebih dulu agar bisa digunakan untuk istirahat dengan nyaman. Dan sekarang kami sedang fokus menata ruang tamu. Menata perintilan dekorasi ruang tamu.
"Foto yang ini mau di pasang di mana Dek.?" Mas Dirga bertanya seraya menunjukan bingkai foto berukuran 20R di tangannya. Itu adalah foto saat resepsi pernikahan kami 3 tahun lalu. Resepi yang di gelar di salah satu gedung besar di kota Jakarta. Karna kami merantau sejak masih kuliah, jadi kebanyakan teman-temanku dan Mas Dirga berada di Jakarta. Itu sebabnya kami menggelar resepsi di Jakarta setelah sebelumnya melakukan prosesi pernikahan di Manado.
"Di dinding sebelah sana saja Mas." Aku menunjuk salah satu sudut ruang tamu, meminta Mas Dirga untuk memasang figura itu di sana.
Mas Dirga langsung sigap dan mulai mengarahkan alat bor untuk di pasangkan baut agar foto kami bisa terpasang di dinding ruang tamu.
Suara dering ponsel milik Mas Dirga membuatku menoleh ke meja. Aku buru-buru meletakkan lampu hias di sudut ruang tamu yang tadi sedang aku pegang, lalu bergegas mengambil ponsel untuk di berikan pada suamiku itu. Karna aku sudah tau kalau panggilan telfon di ponsel Mas Dirga selalu penting, mengingat jabatan baru Mas Dirga sebagai manajer.
"Siapa Dek.?" Mas Dirga spontan bertanya, tapi dia masih melanjutkan pekerjaannya.
"Marissa Mas,," Jawabku setelah membaca nama kontak yang tertera di layar ponsel.
"Kamu saja yang angkat, bilangin Mas lagi sibuk, nanti di telfon balik." Perintah dari Mas Dirga langsung segera aku laksanakan.
Ku geser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan dari patner kerja Mas Dirga di kantornya.
"Hallo Mas Dirga,,," Suara lembut nan hangat itu menyapa di seberang sana. Mbak Marissa memang seramah dan sehumble itu pada siapapun. Aku sering bertemu dan mengobrol dengannya setiap kali ada event yang di adakan oleh kantor tempat Mas Dirga bekerja.
"Maaf Mbak Icha, ini Bia,," Kataku yang memanggil sapaan akrab Mbak Marissa.
"Ohh,,, Bianca." Suara Mbak Marissa tak bersemangat lagi seperti sebelumnya.
"Mas Dirganya lagi sibuk, katanya nanti di telfon balik kalau sudah selesai." Aku bicara sembari menatap Mas Dirga yang sedang fokus mengebor dinding.
"Ya sudah, tolong sampaiin ke Mas Dirga jangan lama-lama telfon baliknya. Urgent, ada yang harus di bahas untuk meeting hari senin nanti." Ucap Mbak Marissa panjang lebar. Aku mengiyakan kemudian memutuskan panggilan telfonnya.
Mbak Marissa juga di pindah tugaskan di Bandung. Bukan hanya Mas Dirga dan Mbak Marissa saja, tapi beberapa rekan kerja mereka juga sebagian di mutasi ke kantor cabang agar bisa mengembangkan perusahaan baru itu.
Kebanyakan dari mereka yang sudah lama bekerja di kantor pusat, jadi di beri kepercayaan untuk menghandle kantor cabang agar lebih maju.
"Marissa bilang apa Dek.?" Tanya Mas Dirga. Dia turun dari tangga selesai memasang foto.
"Katanya jangan lama-lama telfon baliknya, ada hal penting yang mau di bahas." Jawabku seraya meletakkan ponsel itu kembali di atas meja.
"Kebiasaan si Marissa kalau telfon pas udah malem." Mas Dirga menggerutu.
"Besok aja aku telfon balik. Udah cape bahas kerjaan malem-malem." Mas Dirga menyambar ponselnya. Aku melihat dia menonaktifkan mode datanya. Kalau sudah seperti itu, artinya Mas Dirga memang tidak mau di ganggu dan tidak mau membahas masalah pekerjaan.
"Mbak Marissa beneran batal nikah ya Mas.?" Tanyaku penasaran. Lama bergaul dengan ibu-ibu komplek, aku jadi mudah kepo dengan urusan orang lain. Hanya sekedar penasaran saja, tanpa berniat untuk ikut campur.
"Jiwa keponya mulai lagi ya kamu,," Kata Mas Dirga sambil mencubit gemas hidungku.
"Daripada bahas yang nggak penting, mendingan adu bakat aja." Katanya seraya mengedipkan sebelah mata. Mas Dirga langsung mengangkat ku tanpa aba-aba dan membawaku ke kamar.
Ah,, urusan yang satu ini memang lebih penting dari segalanya. Bukan hanya dalam rumah tangga kami saja, tapi pasti untuk semua pasangan suami istri di luar sana.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong