Dia hanya harus menjadi istri boneka.
Bagaimana jika Merilin, gadis yang sudah memendam cintanya pada seseorang selama bertahun-tahun mendapatkan tawaran pernikahan? Dari seseorang yang diam-diam ia cintai.
Hatinya yang awalnya berbunga menjadi porak-poranda saat tahu, siapa laki-laki yang akan menikahinya.
Dia adalah bos dari laki-laki yang ia sukai dalam kesunyian, yang menawarinya pernikahan itu.
Rionald, seorang CEO berhati dingin, yang telah dikhianati dan ditingal menikah oleh kekasihnya, mencari wanita untuk ia nikahi, namun bukan menjadi istri yang ia cintai, karena yang ia butuhkan hanya sebatas boneka yang bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.
Akankah Merilin menerima tawaran itu, sebuah kontrak pernikahan yang bisa membantunya melunasi hutang warisan ayahnya, yang bisa membantu pengobatan jangka panjang ibunya, dan memastikan adik laki-lakinya mendapatkan pendidikan terbaik sampai ke universitas.
Bisakah gadis itu mengubur cintanya dan menjadi istri boneka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Kesalahpahaman
Merilin masih belum mempercayai apa yang dia dengar. Kenapa sampai Kak Serge menyebutkan nama CEO mereka.
“Tuan Rion Kak? Rionald Fernandez, CEO kita?” Merilin menunjukan wajah kebingungan. Apalagi saat melihat seniornya yang tampak biasa saja, berarti dia memang tidak salah bicara gumam Merilin.
Bisa-bisanya aku tidak tahu malu, berfikir Kak Gege juga menyukaiku.
Hati Merilin kembali terdampar di kenyataan. Dia bersyukur dalam hati, tidak ada sepatah kata pun keluar pengakuan cinta tadi. Kalau saja terucap isi hati dan perasaannya yang selama ini ia simpan rapat, akan semalu apa ia sekarang. Dia pasti memilih menggali pasir dan membenamkan wajahnya di sana.
Untung saja, aku tidak bicara apa pun.
“Apa aku belum mengatakan dengan siapa kau akan menikah Mei?”
Merilin menggeleng, menunggu penjelasan. Namun wajah sedih Merilin memunculkan sesal di hati Serge. Kenapa dia sampai menawarkan pernikahan ini pada Merilin pikirnya. Padahal rasa sedih Merilin hanya bermuara pada fakta kalau Serge sama sekali tidak menyukainya. Kalau Kak Serge yang ia sukai tidak menyukainya. Itulah yang membuat gadis itu bersedih.
“Kakak…”
Suara Merilin terdengar getir. Namun dia meraih gelasnya, menghabiskan sisa kopinya. Batuk-batuk kecil mempertahankan intonasi suara. Mengoyangkan batu es yang membentur pinggiran gelas.
Serge belum meneruskan kalimatnya. Dia masih saja terlihat bimbang. Apa mau melanjutkan tawaran atau menyudahi semuanya.
Sementara Serge sedang kebingungan, Merilin menyusuri masa lalu di wajah laki-laki yang ia sukai.
Dari gaya rambut dan caranya menyisir rambut, sampai kaca mata yang sangat pas di wajahnya itu. Membuat Serge terlihat semakin tampan dan mempesona. Wajah hangat yang memiliki senyum ramah dan jenaka. Rambut serge yang sedikit berombak. Kacamata minus yang selalu bertengger di hidungnya. Laki-laki di hadapannya bukan hanya memiliki paras fisik yang sempurna. Semua hal yang berupa tampilan luar itu di tunjang dengan hatinya yang hangat juga.
Benih bernama simpati itu muncul sejak pertama kali dia bertemu dengan Serge di kampus. Serge yang popular dikalangan para mahasiswa, baik laki-laki dan perempuan. Hanya dengan mencuri-curi pandang setiap kali bertemu, sebatas itulah benih simpati terpupuk menjadi suka dan cinta dengan sendirinya. Bahkan saat dia melihat Serge dengan kakak laki-lakinya yang juga berteman akrab, dia tidak pernah berani melewati batas untuk lebih dari sekedar menyukainya dalam diam.
Cinta dalam keheningan, yang akan ia jaga sampai ia memiliki keberanian mengutarakannya nanti.
Walaupun semenjak meninggalnya ayah dan perginya kakak laki-lakinya mereka menjadi lebih dekat, dia pun tak pernah menunjukan rasa suka itu. Serge adalah malaikat baginya. Merelakan pundaknya mengantikan kakak laki-lakinya yang memilih lari mengejar kebahagiaannya sendiri. Merilin semakin menyimpan perasaannya jauh ke dalam labirin hatinya, karena merasa tak pantas untuk Serge hari ini.
Kelak, suatu hari nanti, dia akan menyatakan perasaannya, kalau hidupnya sudah menjadi lebih baik.
“Ehm.” Keduanya kembali dari lamunan ketika suara deheman menyadarkan pikiran mereka berdua.
Serge batuk kecil, kembali mengumpulkan konsentrasi. Memandang Merilin, gadis yang sudah ia anggap lebih dari teman, bahkan sudah seperti adik sendiri. Gejolak batinnya sebenarnya menolak keras. Apa dia akan menjerumuskan seseorang yang sudah seperti adiknya dalam pernikahan yang dari awal saja sudah seperti pernikahan kontrak yang penuh dengan penderitaan. Namun dilain sisi dia merasa dengan pernikahan ini semua masalah keuangan yang mengejar Merilin bisa selesai dalam sekali kerjapan mata saja.
Baiklah, ayo lanjutkan, ini demi kebaikan Merilin. Siapa tahu, kebaikan hati Merilin bisa meluluhkan hati yang sudah membatu milik Rion. Serge sedang berusaha meyakinkan hati, kalau keputusannya bicara begini tidak salah. Ini semua demi Merilin gumamnya.
“Kakak, ada apa dengan Tuan Rion?” Merilin mengulangi pertanyaannya lagi.
Ahhh, terserahlah dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Ayo katakan saja sekarang! keyakinan memenuhi dada Serge. Semua demi Merilin pekiknya dalam hati.
“Sebenarnya aku sedang mencari wanita yang mau menikah dengan Tuan Rion.” Setelah terucap, nafasnya lebih plong. Ruangan tempat mereka duduk sudah mulai terasa sejuk dan nyaman. Para pelayan yang lewat pun tak terlalu mengganggu pandangan, padahal tadi rasanya dia sesak dan bingung.
Namun sebaliknya untuk gadis yang ada di depannya. Perasaan sakit yang langsung menjalar di seluruh tubuh Merilin, bukan hanya karena fakta menyedihkannya hidupnya. Namun inilah jawaban yang akan ia terima kalau sampai dia menyatakan perasaannya. Serge yang baik hati namun tidak menyimpan sedikitpun rasa suka padanya dan menggangapnya wanita.
Dia baik, karena memang hatinya yang baik. Dan itu terasa sangat menyayat hati.
“Kenapa Kak sampai Tuan Rion harus mencari istri dengan cara seperti ini?”
“Ah, kau pasti aneh ya mendengarnya karena ini tentang Tuan Rion.”
Tentu saja ini terdengar aneh, Merilin tahu siapa Rionald Fernandez , laki-laki sempurna yang dilihat dari kaca mata manapun hanya tertulis sempurna. Keturunan keluarga konglomerat. Kekayaan yang berlimpah, statusnya sebagai satu-satunya penerus keluarga, menjadi buah bibir di kantor. Wajah yang rupawan bak pahatan, tingginya yang semampai, kulit bersihnya yang dipadukan dengan wajah dingin dan jarangnya dia tersenyum. Semakin membuatnya elegan dalam balutan jas kantor.
Huaaa, aku seperti membaca chat orang kantor kalau sedang membahas Tuan Rion.
Tapi kenapa, laki-laki seperti Tuan Rion, harus pusing memikirkan pendamping gumam Merilin. Putri-putri konglomerat yang lain pasti sudah antri mendapatkannya. Dia pun bisa menikah dengan selebriti cantik dan terkenal kalau dia mau.
Bahkan teman-teman kantorku saja bisa seharian membahasnya. Baik tentang wajah, gaya berpakaian. Sampai foto yang diam-diam mereka ambil.
“Dia kan Tuan Rion Kak, Kakak tahu kan kami di kantor punya fans club Tuan Rion.”
Serge tertawa. Ya, tentu saja dia tahu. Para karyawan yang terkadang memotret CEO mereka dari kejauhan. Yang selalu berbisik setiap kali mereka lewat. Grup chat fans club pengusir lelah dan gilanya rutinitas pekerjaan, membuat petinggi kantor membiarkan. Sebatas mereka tidak memunculkan gosip yang memperburuk citra perusahaan atau CEO mereka. Toh Rion juga tidak perduli, sebatas mereka membicarakannya di kejauhan dan tidak mendekat ke arahnya.
Merilin malu sendiri, walaupun dia bergabung dalam grup untuk diam-diam mendapatkan foto laki-laki yang selalu ada di samping Tuan Rion. Tapi entah kenapa dia seperti ketahuan mencuri.
“Walaupun banyak yang mengidolakan Tuan Rion dan selalu bermimpi menikah dengannya, tapi semua juga cukup tahu diri Kak, membicarakan Tuan Rion sudah cukup memenuhi fantasi romantisme memiliki pasangan yang sempurna. Itu saja.”
Merilin sampai menutup wajahnya karena merasa malu dengan apa yang dia katakan.
“Dan tidak ada yang benar-benar berani melewati batas untuk benar-benar mengejarnya.” Penjelasan selanjutnya gadis itu malah membuat Serge tertawa.
“Haha, kau juga rupanya diam-diam suka padanya ya. Tipemu yang dingin, dingin angkuh begitu ya.”
Wajah Merilin langsung merah karena kaget dengan prediksi Serge.
“Tidak Kak! Bukan begitu.”
“Haha, sudahlah, tidak apa-apa.” Tersenyum riang ketika melihat gadis di depannya salah tingkah dan berusaha menjelaskan. “Siapa pun akan suka padanya, dia tampan dan punya segalanya, mungkin cuma senyum saja yang tidak punya. Haha.”
Dan aku lebih suka laki-laki yang hangat dan selalu menebarkan senyum pada semua orang. Gumam-gumam di bibir Merilin, sambil menggoyangkan gelas. Batu es mulai mencair habis.
Ingin sekali kata itu ia ucapkan, namun hanya bisa ia telan kembali dalam pikirannya.
Aku menyukaimu Kak, aku menyukai Kak Serge, sekretaris Tuan Rion.
Bersambung