Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengagum Zaira
"Kau serius?" Tanya Andre yang terkejut karena tahu bagaimana kisah mereka sebelumnya.
Brian mengangguk. "Kami hanya mengobrol dan entah bagaimana dia bisa tahu kalau aku belum dikaruniai anak."
"Kenapa dia bisa ada di sini?" Tanya Revan. "Bukannya dari ceritamu, dia jauh dari kota ini dan tidak akan dekat denganmu lagi?"
"Dia cuma bilang ada urusan disini dan hanya beberapa hari. Setelah urusannya selesai, dia akan kembali lagi." Brian menjelaskan kepada temannya.
"Jangan ketemu lagi, Yan. Ingat, bahkan Zaira sendiri tidak pernah mau tahu masa lalumu. Istrimu itu benar-benar percaya padamu." Kata Andre mengingatkan Brian. Andre yang teman Brian dari masa sekolah tahu benar kisah Brian. Dia benar-benar mewanti-wanti agar Brian selalu berhati-hati. Apalagi saat tadi Brian berjumpa dengan Rina, mantan calon istrinya dulu. Menurut Andre, bertemunya Brian dan Rina bukanlah suatu kebetulan belaka.
"Iya aku tahu kok". Brian terlihat sedikit agak tidak suka dengan pernyataan Andre. Entah bagaimana, walau ia tahu bahwa yang dikatakan Andre benar adanya.
"Jadi apa yang dia katakan? Kenapa kau sampai berubah pikiran tentang keturunan?" Tanya Andre penasaran. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi.
Brian sejenak diam. "Tidak ada".
Andre melongos. "Kau benar-benar, ya. Bisa-bisanya hanya karena seseorang kau merubah pikiranmu yang sudah 7 tahun itu. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Rina, tapi yang pasti, itulah yang mengubah cara pikirmu saat ini. Iya, kan?" Andre tidak percaya, bahkan setelah bertahun-tahun bersama Zaira, sebentar saja bertemu Rina ternyata masih bisa merubah pikiran Brian.
"Sudahlah. Aku pun hanya tidak sengaja bertemu tadi pagi. Tidak akan ada pertemuan selanjutnya." Ucap Brian sambil beranjak dari duduknya.
"Aku hanya mewanti-wanti supaya kau berhati-hati. Zaira, istrimu itu wanita yang cantik, bertubuh langsing, karirnya bagus, kau juga tahu sampai sekarang dia masih di lirik orang. Dia wanita sempurna. Kau, kan yang selalu memuji istrimu seperti itu?" Ucap Andre lagi.
"Sempurna". Kata itu di ulang Brian. Matanya menunduk. "Iya, aku sangat tahu itu. Terimakasih, Ndre". Brian pun melangkah keluar ruangan. Sebenarnya Brian agak kesal. Tapi ia sendiri bingung apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
"Aku penasaran, seperti apa mantannya itu sampai bisa merubah pikirannya". Tanya Revan penasaran. Ia juga tahu bahwa hampir setiap hari Brian memuji istrinya yang begini, begitu, hingga ia kadang bosan mendengarnya. Tapi melihat perubahan Brian harini, membuat tanda tanya besar.
"Dia perempuan yang biasa-biasa saja. Masih kalah dari Zaira. Tapi memang, dia punya lidah yang bagus". Ucap Andre sambil menyusun berkas-berkasnya yang menumpuk di ujung meja.
"Apa itu maksudnya?" Pikiran Revan mulai tidak stabil.
Andre pun enggan menjawab.
****
Zaira memutar-mutar pena di tangannya. Layar laptop di depannya menampilkan dua insan yang berpelukan mesra. Zaira memandang ke wajah Brian di layar yang tersenyum lebar. Dia mengingat-ingat kejadian tadi pagi saat suaminya pulang setelah olahraga pagi.
Pagi tadi, wajah Brian agak tegang. Padahal biasanya setelah olahraga tubuhnya berpeluh. Tapi tadi pagi, baju yang ia kenakan hampir tidak basah. Hanya titik-titik keringat kecil di dahi.
"Sudah selesai, Mas? Mandi dulu ya, sudah aku siapkan semuanya." Kata Zaira sambil menata piring di atas meja makan.
Suaminya hanya berdiam diri sambil memandang Zaira.
"Kamu kenapa, Mas?" Tanya Zaira mendekat.
"Ah.. tidak apa-apa, sayang. Aku mandi dulu ya. Jangan di sentuh, aku berkeringat." Kata Brian tersenyum sambil mengelak saat Zaira akan menyentuh dahinya. Ia langsung beranjak ke kamar mandi.
Zaira memandang suaminya sampai menghilang dari pandangan.
Saat sarapan pun begitu. Zaira melihat Brian makan dengan tenang. Biasanya Brian mengunyah sambil cerita apa yang akan ia hadapi hari ini. Pekerjaan yang membuatnya kadang semangat, sebal, atau sedih dengan hasilnya.
"Mas..."
"Ah sayang, aku hari ini buru-buru. Apa kamu mau aku antar?" Tanya Brian menyudahi sarapannya.
"Tidak, Mas. Aku berangkat sebentar lagi".
"Baiklah". Brian beranjak. Kemudian mengecup kening istrinya seperti biasa.
"Aku pergi dulu, sayang".
"Hati-hati, Mas". kata Zaira setengah berteriak.
Kenapa ya? Ah mungkin hari ini ada kasus berat, batinnya.
Zaira mengambil Hp nya yang berada di saku jas dokter yang menggantung di kursinya.
Mengetik-ngetik...
'Mas, lagi sibuk? Mau makan siang bareng?'
.....
Lama menunggu balasan, Zaira meletakkan hp nya. Ia mulai berpikir, apa mungkin karena hasil tes? Ah tidak mungkin. Tadi malam bahkan Brian benar-benar menunjukkan kasih sayangnya saat Zaira menangis di pekukannya. Ia menepis prasangka buruknya.
Biarlah, mungkin benar-benar sibuk. Zaira mengerakkan batinnya dengan positif. Padahal balasan Brian selalu kurang dari 2 menit.
Ah, Zaira menepuk dahinya. Bisa-bisanya dia lupa. Tadi suster jaga bilang, bahwa ia di panggil Kepala Rumah Sakit. Zaira beranjak sambil memakai jas dokternya dan menutup pintu. Ia berjalan agak cepat ke ruangan kepala.
Setelah mengetuk pintu, ia di persilahkan masuk.
"Dokter Zaira, silakan duduk."
Dokter Winda. Wanita yang baru saja menginjak usia 60 tahun, berprestasi di bidangnya. Dokter spesialis yang mirip dengan Zaira. Dipilih menjadi kepala rumah sakit dua tahun lalu karena prestasinya. Bahkan banyak yang menyebut-nyebut Zaira juga mungkin akan menjadi kepala Rumah sakit setelah dokter Winda yang sama-sama berprestasi sejak usia muda.
"Terimakasih, dok." Zaira duduk tersenyum menghadap dokter Winda yang terkenal kurang ramah. Zaira termasuk orang yang beruntung karena sering bertegur sapa dengannya. Itu karena Zaira sendiri banyak mendapatkan perhatian dari pasien-pasien kalangan atas.
"Zaira, mohon maaf ya kalau saya mengganggu. saya memanggil karena anak saya, dia ingin berkenalan dengan dokter."
"Tidak apa-apa, dok, saya sedang senggang".
"Sebentar ya". Dokter Winda meraih Hp nya, menelfon. "Dia baru saja keluar tadi". Kemudian pintu ruangannya terbuka. "Ah ini dia" katanya sambil melihat ke arah pintu. Zaira mengikuti, melihat ke arah pintu.
Seorang wanita bertubuh kurus tinggi, berkulit bersih, rambut sepunggungnya yang sedikit bergelombang. Ia memakai rok maroon selutut dan blouse putih lengan panjang berbunga-bunga kecil berwarna senada dengan roknya. Manisnya, batin Zaira.
Zaira berdiri. Wanita itu mendekat dan menjulurkan tangannya memberi salam.
"Kenalkan, saya Nada." Kata wanita itu penuh senyum.
"Zaira". Ia menyambut tangan mulus Nada.
"Duduklah" ucap dokter Winda.
Mereka duduk di sofa coklat.
"Ini anak saya, dia ingin sekali berkenalan dengan dokter Zaira. Tapi mohon maaf ya, saya tinggal dulu. Karena saya ada urusan sebentar. Apakah tidak apa-apa, dok?" Tanya dokter Winda sambil berdiri mengambil tasnya.
"Ah iya, tidak apa-apa dok, silakan". Jawab Zaira sambil berdiri mempersilahkan dokter Winda pergi.
Setelah ibunya menutup pintu, Nada mulai berbicara.
"Dokter Zaira. Saya sangat mengagumi dokter". Katanya penuh senyuman.
"Benarkah?" Tanya Zaira sambil duduk kembali.
"Benar, dok. Saya akan menjadi ahli kardiovaskular dan melanjutkannya di Amerika". Katanya tersenyum lebar. "Makanya saya ingin sekali ketemu dokter".
"Ah. Kenapa saya? Saya belum apa-apa." Zaira merendah. Ia bahkan tahu yang ia capai belum sebanding dengan dokter Winda, ibunda Nada sendiri.
"Saya dengar dokterlah yang terbaik disini. Bahkan dokter sudah senior dan banyak dari kalangan tertentu yang meminta dokter untuk meriksa mereka, dokter VIP". Kata Nada sambil tertawa dengan julukan yang ia berikan.
Zaira hanya tersenyum.
"Dokter pasti banyak yang naksir, kan? Hahaa. Sudah pasti. Karena dokter, kan, cantik dan pintar pula". Nada tertawa lepas. "Atau jangan-jangan dokter sudah punya pacar ya? Yah.. sayang sekali, padahal saya mau kenalkan dengan kakak saya yang seorang direktur di rumah sakit kota B". Celoteh Nada. Terlihat sangat bersemangat.
"Saya sudah menikah". Zaira menjawab santai sambil tersenyum.
"Ah.. sayang sekali". Nada terlihat kecewa
"Saya ingin belajar banyak dari dokter. Mohon bantuannya."
"Ah..iya". Zaira terlihat bingung. Belajar apa ya? Kan, Nada sedang tidak koas disini. Batinnya.
"Dokter sudah lama menikah?" Nada benar-benar seperti reporter.
"Sekitar 7 tahun". Jawab Zaira singkat mulai tidak nyaman.
"Wah, sudah lama sekali. Padahal dokter masih seperti anak gadis. Hahaha. Ah dokter, pasti suaminya tampan, kan? Saya yakin anaknya juga pasti cantik-cantik". Nada tersenyum lebar. Kalimat pujian yang ia berikan pasti sangat bernilai di mata dokter yang ia kagumi, batinnya.
Zaira hanya tersenyum. 'Ah anak ini...' batinnya. "Baiklah, Nada. Saya permisi dulu karena sebentar lagi ada jadwal dengan pasien". Zaira berdiri. Ia sengaja mencari alasan agar bisa keluar dari ruangan ini.
"Ah, iya. Maaf mengganggu, dokter. Kalau ada waktu boleh saya berjumpa dokter lagi, kan? Mohon tulis nomor dokter disini". Nada menyerahkan Hp nya sambil tersenyum senang.
Zaira mengetik nomornya dan menyerahkannya ke Nada.
'Hah.. kalau saja kau bukan anak kepala rumah sakit..' batinnya.
"Terimakasih, dok". Nada tersenyum lebar.
Zaira berjalan dan membuka pintu. Saat akan menutupnya, Ia melihat sebentar ke arah Nada yang menyandarkan kepalanya ke sofa dan mengangkat Hp nya ke depan wajanya. Sambil tertawa kecil melihat ke layar Hp nya, dia mengatakan "ah.. Lucunya.. haha ini juga lucu sekali".
Zaira langsung menutup pintu dan berjalan meninggalkan ruangan kepala.
Bersambung...
Jangan Lupa Like, masukan, Komentar membangunnya ya..
cow gk tahu diuntung