Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 20
Pintu kamar Rania terbuka dengan kasar di tengah keheningan malam yang larut. Rania yang baru saja hendak memejamkan mata tersentak, jantungnya berdegup kencang saat melihat siluet tegap Airon berdiri di ambang pintu.
"Tuan Airon, ada apa?" tanya Rania, suaranya bergetar.
Airon tidak menjawab. Ia melangkah masuk dengan limbung, aroma alkohol yang sangat tajam menyengat indra penciuman Rania. Sebelum Rania sempat bereaksi, Airon sudah menariknya ke dalam pelukan yang menuntut dan melumat bibirnya dengan ganas.
"Tuan, Anda mabuk..." rintih Rania di sela-sela ciuman paksa itu.
Airon seolah tuli. Rasa frustrasi dan gairah yang sempat tertahan di klub tadi malam meledak di sini, di kamar istrinya. Rania sempat ingin meronta, namun kesadarannya kembali, ini adalah suaminya. Ia memiliki kewajiban untuk melayani, tak peduli betapa kasarnya perlakuan itu bermula. Akhirnya, Rania hanya bisa pasrah, membiarkan suaminya mengklaim dirinya hingga fajar menyapa.
Pagi harinya, Airon terbangun dengan rasa pening yang menghantam kepalanya. Ia duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya, berusaha merangkai kembali pecahan ingatan semalam.
Ingatannya melayang kembali ke satu jam sebelum ia pulang ke vila. Di sebuah ruangan privat di klub malam, Julia sedang mendesah nikmat di bawah sentuhannya.
"Arkkk... Airon..." desis Julia, tangannya meremas sprei, menuntut lebih banyak kenikmatan dari pria yang selama ini ia incar.
Namun, di tengah gairah yang membara itu, wajah Rania tiba-tiba muncul di benak Airon. Wajah Rania yang polos, matanya yang basah oleh air mata, dan statusnya sebagai istri sah, meski tersembunyi, menghantam nurani Airon. Ada rasa bersalah yang begitu tajam menyusup ke ulu hatinya.
Airon mendadak berhenti. Ia melepaskan Julia begitu saja.
"Kenapa, Sayang? Kenapa berhenti? Ayo, Airon... lanjutkan. Aku sudah tidak tahan," rengek Julia dengan napas memburu.
Tanpa sepatah kata pun, Airon merapikan pakaiannya dan berdiri.
"Airon! Kamu mau ke mana?" teriak Julia frustrasi, ditinggalkan begitu saja saat gairahnya berada di puncak.
Airon melangkah keluar ruangan, mengabaikan teriakan teman-temannya di bar. "Ron! Mau ke mana kamu?" seru si gondrong.
Airon tak menoleh. Ia terus berjalan menuju parkiran.
"Kenapa tuh orang?" tanya teman Airon yang lain, bingung.
Ergan, yang duduk tenang sambil menyesap wine-nya, menyunggingkan senyum penuh arti. "Dia sedang bergegas menemui pawangnya," sahut Ergan santai, membuat teman-teman Airon saling bertatapan dengan wajah tidak mengerti.
Kembali ke realita pagi ini di vila, Airon menatap Rania yang baru saja keluar dari kamar mandi. Gadis itu hanya terbalut handuk putih, tetesan air dari rambutnya membasahi bahunya yang mulus.
"Kamu sudah mandi?" tanya Airon, suaranya terdengar lebih jernih.
"Iya, Tuan," jawab Rania singkat, kepalanya menunduk.
"Tuan mau mandi juga?" tanyanya kemudian.
"Iya, tapi setelah aku dan kamu 'main' lagi," sahut Airon dengan tatapan yang membuat Rania mengerti bahwa ia tak akan bisa melarikan diri pagi ini.
Satu jam kemudian, Rania kembali berdiri di depan meja rias, mencoba mengeringkan rambutnya yang basah untuk kedua kalinya. Tubuhnya terasa lemas akibat ulah Airon yang seolah tak punya rasa lelah.
Tiba-tiba, Airon menghampirinya. Ia mengambil handuk dari tangan Rania. "Sini, saya bantu," ucapnya lembut. Ia mulai mengusap rambut Rania dengan gerakan yang sangat hati-hati, sebuah perhatian yang sangat jarang ia tunjukkan.
"Biar saya saja, Tuan," Rania mencoba mengambil kembali handuk itu, merasa tidak pantas dilayani oleh suaminya.
"Kamu tidak suka saya yang mengeringkan rambutmu?" tanya Airon, menatap wajah Rania dari pantulan cermin.
"Bukan begitu, Tuan. Saya hanya... takut," sahut Rania lirih.
Airon menghentikan gerakannya. "Takut? Kenapa?"
"Saya takut nanti Tuan akan berubah lagi. Seperti sebelumnya," Rania memberanikan diri menatap mata Airon. "Sebelumnya Tuan sangat jahat pada saya, suka membentak. Lalu tiba-tiba Tuan menjadi sangat baik. Saya sempat berpikir Tuan sudah menerima saya sebagai istri, tapi kemarin pagi Tuan kembali dingin. Saya bingung, Tuan. Saya tidak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Anda."
Airon tertegun. Ia meletakkan handuk itu, lalu berjongkok di hadapan Rania yang duduk di sisi kasur. Ia meraih kedua tangan Rania.
"Saya tahu. Dan kamu juga tahu bahwa pernikahan kita adalah sesuatu yang tidak terduga bagi kita berdua," ucap Airon panjang lebar, matanya menatap lekat netra Rania. "Tapi jujur, hati saya mulai goyah karena kamu. Jadi, tunggulah sampai saya benar-benar bisa memastikan perasaan saya. Untuk saat ini, saya hanya minta kamu mengerti saya."
Rania terpaku. Degup jantungnya tak terkendali saat bertatapan sedekat itu dengan suaminya. Wajah Airon yang tampan layaknya pahatan seniman agung, hidungnya yang mancung sempurna, dan alis tebalnya seolah menghipnotis Rania. Di balik sikap kejamnya, Rania menyadari bahwa ia beruntung memiliki pria ini, meski jalannya sangat berliku.
Airon mendekat, mengecup lembut bibir Rania. Sebuah kecupan yang tidak lagi didasari nafsu kasar, melainkan sepercik kasih sayang yang mulai tumbuh.
"Mmm... Tuan," Rania melepaskan tautan itu untuk menghirup udara. "Tuan, pagi ini saya sudah mandi dua kali."
Airon terdiam sejenak, lalu tawa renyah pecah dari bibirnya. Ini adalah pertama kalinya Rania melihat Airon tertawa lepas tanpa beban. Suara tawa itu terdengar begitu merdu di telinga Rania.
"Baiklah, saya tidak akan membuatmu mandi tiga kali pagi ini," kata Airon sambil melanjutkan tugasnya mengeringkan rambut Rania dengan senyum yang masih tersisa di wajahnya.
Kehangatan dari vila rupanya terbawa hingga ke gedung perkantoran milik Airon. Saat ia melangkah memasuki lobi, aura dingin yang biasanya membekukan ruangan seolah mencair.
"Selamat pagi, Pak," sapa para karyawan dengan kepala menunduk takut seperti biasa.
"Pagi," sahut Airon singkat namun jelas.
Langkah kaki Airon terus berlalu, meninggalkan para karyawan yang saling bertatapan dengan wajah melongo. Dalam sejarah perusahaan, baru kali ini sapaan mereka mendapatkan jawaban.
"Apa Pak Airon baru menang lotre?" bisik salah satu pegawai.
"Mungkin beliau baru saja mendapatkan 'jatah' yang luar biasa," timpal yang lain sambil terkikik. Mereka tak habis pikir, mimpi indah macam apa yang bisa mengubah gunung es menjadi mata air yang jernih.
Di dalam ruangan kerja, Ergan masuk dengan membawa berkas. "Selamat pagi, Tuan."
"Selamat pagi, Ergan," sahut Airon dengan nada yang terdengar sangat ceria.
Ergan meletakkan berkas di meja, matanya menyipit penuh selidik. "Apa ada sesuatu yang sangat baik terjadi semalam? Raut wajah dan nada suara Anda, ini tidak wajar. Terakhir kali saya melihat Anda seceria ini adalah tujuh tahun yang lalu."
Airon bersandar di kursinya. "Benarkah?"
"Sangat benar, Tuan. Jadi, apa penyebabnya?" tanya Ergan penasaran.
Airon kembali ke ekspresi profesionalnya. "Ergan, posisimu saat ini adalah karyawan. Dan seorang karyawan tidak memiliki hak untuk bertanya tentang urusan pribadi bosnya."
Ergan tersenyum tipis, ia mengerti kode itu. "Maaf, Tuan." Ia kemudian teringat sesuatu. "Tuan, Nona Julia terus menelpon saya. Beliau bertanya tentang Anda, terutama tentang alasan Anda pergi begitu saja semalam."
Airon mendengus. "Katakan saja kamu tidak tahu."
"Anda seharusnya memuaskan dia dulu semalam sebelum pergi, Tuan. Sekarang dia jadi sangat penasaran dengan... 'kemampuan' Anda," goda Ergan berani.
"Jika aku memuaskan dia malam tadi, maka dia tidak akan pernah berhenti mengejarku untuk meminta lebih," jawab Airon dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Ergan terdiam, tak bisa membantah. Ia tahu betul bahwa Airon bukan hanya dominan di ruang rapat, tapi juga di ranjang. Namun dalam hati Ergan berdoa, semoga kebahagiaan Airon saat ini bukan hanya karena gairah sesaat, melainkan karena Rania benar-benar telah menemukan kunci untuk membuka hati sang singa.
*****
Jangan lupa untuk dukung terus kisah Airon dan Rania dengan klik VOTE/BINTANG, berikan LIKE, dan tinggalkan KOMENTAR kalian yang paling seru di bawah! Dukungan kalian adalah energi buat Author untuk terus lanjut. Salam sayang, Author! 🌹✨
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦