(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasar Gelap dan Ramalan Buta
Pintu masuk ke Pasar Gelap bukanlah sebuah gerbang megah, melainkan sebuah pintu besi berkarat di belakang sebuah rumah jagal yang bau.
Salju di sekitar sini berwarna merah muda, bercampur dengan darah hewan—atau mungkin manusia—yang dibuang sembarangan. Chen Kai mengetuk pintu besi itu dengan pola ritmis: tiga kali keras, dua kali pelan.
Sebuah celah kecil di pintu terbuka. Sepasang mata kuning keruh mengintip keluar.
"Tutup," suara serak terdengar dari dalam.
"Si Tua Botak mengirimku," kata Chen Kai datar.
Hening sejenak. Lalu terdengar suara grendel berat ditarik. Pintu besi itu terbuka perlahan, memperlihatkan lorong batu yang menurun ke dalam kegelapan bumi, diterangi oleh obor-obor yang berkelip lemah.
"Masuk. Jangan buat masalah. Dan jangan tanya asal barang," kata penjaga pintu itu, seorang pria raksasa yang memegang kapak berlumuran darah kering.
Chen Kai melangkah masuk.
Udara di bawah sana lembap dan hangat, berbau dupa murah, keringat, dan logam. Pasar Gelap Kota Batu Hitam ternyata adalah sebuah gua alami raksasa yang telah dimodifikasi menjadi labirin kios dan toko.
Berbeda dengan pasar di atas tanah, di sini tidak ada teriakan pedagang. Transaksi dilakukan dengan bisikan. Orang-orang berjalan dengan mata waspada.
Chen Kai melihat barang-barang yang dijual di kios-kios terbuka: racun dalam botol-botol indah, budak-budak dari berbagai ras yang dirantai, senjata yang jelas-jelas hasil curian dari mayat kultivator, dan bahkan organ tubuh binatang buas langka.
"Tempat ini busuk," komentar Kaisar Yao. "Tapi di tempat busuk inilah informasi paling jujur berada."
Chen Kai mengabaikan tawaran dari pedagang racun dan berjalan lurus menuju pusat pasar. Di sana, terhimpit di antara toko budak dan toko senjata ilegal, berdiri sebuah tenda tua yang terbuat dari kain perca berwarna ungu gelap.
Di atas tenda itu, tergantung sebuah papan kayu lapuk dengan gambar sebuah mata yang terbuka lebar.
"Mata Seribu."
Chen Kai menyibakkan tirai tenda dan masuk.
Bagian dalam tenda itu jauh lebih luas daripada yang terlihat dari luar—jelas menggunakan teknik perluasan ruang. Rak-rak buku yang tinggi memenuhi dinding, berisi ribuan gulungan peta dan dokumen. Di tengah ruangan, duduk seorang pria tua kerdil di balik meja bundar yang penuh dengan bola kristal berbagai ukuran.
Pria tua itu mengenakan penutup mata hitam yang menutupi kedua matanya. Dia buta.
"Selamat datang, Tuan Pengembara," suara pria tua itu terdengar seperti gesekan kertas amplas. Dia tidak menoleh, tapi dia tahu Chen Kai ada di sana. "Bau darah di jubahmu masih segar. Darah... anggota Sekte Darah?"
Chen Kai tidak terkejut. "Kau punya hidung yang tajam untuk orang buta, Mata Seribu."
"Mata hanyalah hiasan," kekeh pria tua itu, memperlihatkan gigi emasnya. "Aku melihat dengan getaran. Jadi, apa yang membawa pembunuh Sekte Darah ke gubuk humas ini? Kau ingin menjual informasi? Atau membelinya?"
"Aku butuh peta," kata Chen Kai, duduk di kursi di depan meja itu. "Peta Reruntuhan Kuno Utara. Yang paling detail. Yang menunjukkan lokasi 'Segel Agung'."
Senyum di wajah Mata Seribu menghilang seketika.
Suasana di dalam tenda itu berubah dingin.
"Segel Agung..." bisik Mata Seribu. Dia mengetukkan jari-jarinya yang kurus di atas meja. "Banyak orang mencari tempat itu akhir-akhir ini. Klan Jian... Sekte Darah... dan sekarang kau."
"Kau tahu tempatnya?"
"Tentu saja aku tahu. Aku tahu setiap inci dari Reruntuhan Utara. Tapi informasi tentang Segel Agung... itu mahal. Sangat mahal."
"Sebutkan hargamu," kata Chen Kai.
"Lima ribu Batu Roh," kata Mata Seribu.
Itu harga yang gila untuk selembar peta. Tapi Chen Kai tidak berkedip. Dia melempar sebuah kantong berat ke atas meja.
"Lima ribu. Pas."
Mata Seribu mengambil kantong itu, menimbangnya, lalu tersenyum lebar lagi. "Senang berbisnis dengan orang yang tegas."
Dia merogoh laci mejanya dan mengeluarkan sebuah gulungan peta yang terbuat dari kulit binatang purba. Dia melemparkannya ke Chen Kai.
"Peta ini menandai rute aman, sarang binatang buas, dan lokasi reruntuhan istana. Lokasi Segel Agung ditandai dengan tinta merah di sektor terdalam: Lembah Tulang Naga."
Chen Kai membuka peta itu. Detailnya luar biasa. Dia melihat tanda merah di bagian paling utara peta.
"Tapi," lanjut Mata Seribu, nadanya merendah. "Karena kau membayar dengan tunai, aku akan memberimu satu bonus informasi gratis."
"Apa?"
"Jangan pergi ke sana sekarang."
"Kenapa?"
"Karena tempat itu sudah dikepung," kata Mata Seribu. "Klan Jian mengirimkan pasukan elit mereka, 'Penjaga Bayangan', dipimpin oleh seorang Tetua Pembangunan Fondasi. Mereka bekerja sama dengan Sekte Darah. Mereka sedang membangun altar pengorbanan di sana."
"Mereka menunggu sesuatu," Mata Seribu mencondongkan tubuh ke depan, seolah menatap Chen Kai dari balik penutup matanya. "Mereka menunggu 'Kunci' untuk datang. Jika kau pergi ke sana, kau hanya akan mengantar nyawa."
Jantung Chen Kai berdegup kencang. 'Kunci' itu adalah dia. Darahnya.
"Terima kasih atas peringatannya," kata Chen Kai, berdiri. Dia menyimpan peta itu.
"Tunggu," kata Mata Seribu tiba-tiba. "Bolehkah aku... 'melihat'mu sebentar? Hanya rasa penasaran orang tua."
Sebelum Chen Kai bisa menolak, Mata Seribu meletakkan tangannya di atas bola kristal terbesar di meja. Bola itu bersinar.
"Aku melihat takdirmu... kabut tebal... ada naga yang terikat rantai... dan..."
Tiba-tiba, bola kristal itu retak.
PYAR!
Bola itu meledak menjadi debu kaca.
"ARGHHH!" Mata Seribu terlempar ke belakang, jatuh dari kursinya. Darah hitam mengalir dari balik penutup matanya.
"Apa yang kau lakukan?" Chen Kai menyipitkan mata, tangannya siap di gagang pedang.
"P-Panas...!" Mata Seribu menggeliat di lantai, napasnya memburu ketakutan. "Apa... apa yang ada di dalam dirimu?! Itu bukan naga biasa! Itu... itu Kaisar...!"
Dia menunjuk Chen Kai dengan tangan gemetar. "Pergi! Pergi dari sini! Kau... kau adalah bencana berjalan!"
Chen Kai mengerutkan kening. Tampaknya Mutiara Hitam atau Sutra Hati Naga bereaksi terhadap upaya ramalan itu.
"Anggap saja kau tidak melihat apa-apa," kata Chen Kai dingin.
Dia berbalik dan berjalan keluar dari tenda, meninggalkan peramal buta yang ketakutan itu sendirian di kegelapan.
Saat dia kembali ke lorong pasar gelap yang bising, Chen Kai merasa lebih berat.
"Lembah Tulang Naga," batinnya. "Dan pasukan elit Klan Jian sudah menunggu di sana."
"Ini jebakan," kata Kaisar Yao. "Tapi kau harus masuk ke dalamnya. Karena satu-satunya cara untuk mengetahui masa lalumu adalah dengan membuka segel itu sebelum mereka melakukannya."
"Kita tidak akan masuk lewat pintu depan," kata Chen Kai, menyentuh peta di balik jubahnya. "Mata Seribu bilang ada rute aman. Tapi peta ini juga menunjukkan 'Jalan Kematian'—rute bawah tanah yang penuh dengan gas beracun dan binatang buas."
"Kau mau lewat sana?"
"Mereka tidak akan menjaga jalan yang mereka pikir mustahil dilewati," Chen Kai menyeringai tipis di balik tudungnya. "Kita akan menyusup tepat di bawah hidung mereka."
Chen Kai berjalan menuju pintu keluar, siap meninggalkan peradaban terakhir dan melangkah ke alam liar yang mematikan.